Mongabay.co.id

Investigasi EoF Sebut Perusahaan-perusahaan Sawit Ini Turut Hancurkan Taman Nasional

Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah 'keterlanjuran' ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto:

Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Bagaimana moratorium perkebunan sawit atasi masalah macam ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

Empat perusahaan sawit besar dituding berada di balik kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo (Tesso Nilo) Riau dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Melalui pabrik-pabrik sawit di sekitar taman nasional, tandan buah segar sawit (TBS) ilegal diproses dan dijual kepada perusahaan konsumen global. Demikian laporan investigasi terbaru Eyes on the Forest (EoF) yang rilis, pekan lalu.

Dalam laporan berjudul “Cukup Sudah” ini mengungkapkan,  bagaimana perusahaan sawit raksasa melanggar komitmen bebas deforestasi yang mereka dengungkan dalam beberapa tahun terakhir.

Empat perusahaan itu adalah Wilmar, Royal Golden Eagle (RGE) Apical, Musim Mas dan Golden Agri Resources (GAR).

EoF menginvestigasi,  aliran perjalanan TBS dari dua taman nasional di Sumatera sejak 2011 hingga 2017. Setidaknya,  21 dari 22 pabrik sawit terlibat baik langsung maupun tidak dalam pembelian dan penjualan TBS dari Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh ke sejumlah perusahaan pedagang sawit besar itu.

Beberapa perusahaan ini adalah “pelanggar berulang” dan sifat pemeriksaan acak dan berskala kecil ini menunjukkan “puncak dari gunung es.” EoF sendiri sudah sekitar empat kali mengeluarkan laporan terkait dengan aliran buah sawit ilegal dari taman nasional.

“Sering kita (keluarkan laporan) dari 2013, 2014, 2016 dan sekarang, 2018. Bayangkan, sudah lima tahun komitmen mereka tak ada juga kemajuan. Kita imbau perusahaan konsumen global untuk tak lagi membeli (minyak sawit) dari mereka,” kata Afdhal Mahyudin, dari Eyes on the Forest kepada Mongabay.

Dalam investigasi antara Januari dan Juni 2017, penyelidik EoF mengambil data bagaimana TBS ilegal itu panen di taman nasional hingga masuk ke gerbang pabrik sawit  (PKS). EoF menyebut,  PT Citra Riau Sarana, kelompok Wilmar yang memiliki pabrik sawit di Tesso Nilo, didapati berulangkali membeli sawit dari taman nasional. Tiga PKS ini membeli TBS dari Tesso Nilo pada 2011, 2012 dan 2015. Pada 2017, dua pabrik mereka menerima pasokan terpisah dari Tesso Nilo antara 11-13 Juni 2017.

 

Sumber: Laporan EoF

 

Begitu juga dengan PT Inti Indosawit Subur, kelompok Raja Garuda Emas (RGE). PKS Ukui 1, PKS Ukui 2 kepergok membeli TBS ilegal Tesso Nilo pada 2011, 2012 dan 2015.

Menariknya dalam laporan itu disebutkan RGE memastikan, PKS Ukui 1 memiliki keterlacakan 100% atas semua pasokan TBS antara Januari 2014 dan September 2015. Investigasi acak EoF justru membuktikan sebaliknya.  TBS ilegal Tesso Nilo dua kali masuk ke pabrik antara 22-23 Januari dan 14 April 2015.

Keempat grup sawit itu tengah berusaha membuktikan pencapaian 100% keterlacakan mintak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada fasilitas hilir mulai penyulingan, stasiun pengumpul dan lain-lain. Mereka juga memutakhirkan data rantai pasok mereka reguler termasuk daftar pemasok CPO di laman situs mereka.

Namun EoF mendapati tujuh PKS menerima TBS ilegal pada Januari hingga Juni 2017 yang menyuplai CPO kepada tujuh fasilitas empat perusahaan besar itu. Pada Juli-Agustus 2017, fasilitas Wilmar dan RGE/Apical didapati membeli CPO di tiga dari tujuh PKS.

Analisa satelit EoF, Sumatera kehilangan 56% dari 25 juta hektar hutan alam selama 30 tahun. Pada 2016,  hanya tinggal 11 juta hektar. Padahal hutan hujan Sumatera merupakan habitat penting bagi satwa dilindungi yang hampir punah seperti harimau, gajah, orangutan dan badak.

Laporan setebal 49 halaman itu juga memutarkhirkan luas tutupan hutan Tesso Nilo per 2017, di mana hutan alam tinggal sekitar 12.000 hektar atau 16% dari luas taman nasional,  sekitar 82.000 hektar. Angka ini jauh berkurang dari informasi Balai Taman Nasional akhir tahun lalu kepada Mongabay, sekitar 20.000 –an hektar. Artinya,  pembukaan hutan di Tesso Nilo terus berlangsung hingga kini.

 

Sumber: Laporan EoF

 

Akhir 2017, Mongabay datang ke Dusun Toro Jaya, Kecamatan Bukit Kesuma. Dusun di kawasan inti Tesso Nilo ini, awalnya hutan alam kini jadi kebun sawit. Usia sawit antara delapan hingga baru pembibitan.

Toro juga disebut dalam laporan EoF,  hasil panen sawit dijual ke PT Citra Riau Nusantara. Masuknya,  TBS dari kebun ilegal ini dipastikan pada 11-12 Juni 2017.

Bukan saja Toro berubah jadi kebun-kebun sawit, pertumbuhan penduduk dan pemukiman terus bertambah. Saat di Toro, tampak sejumlah bangunan baru, seperti baru bangun tempat ibadah dan renovasi rumah.

Seorang agen pengumpul di RW 03 atau Toro Regar, Dusun Toro Jaya waktu itu mengatakan, petani sawit di Toro,  sadar ada surat edaran kepada seluruh PKS di sekitar Tesso Nilo. Surat pelarangan itu diperlihatkan kepada Mongabay.

Surat pelarangan menerima TBS ilegal tercampur awalnya diterbitkan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 15 Juli 2016. Surat itu ditujukan kepada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Surat itu mensyaratkan agar anggota organisasi pengusaha itu tidak membeli TBS ilegal atau CPO campuran.

Pada 16 November 2016, KLHK dan tim Restorasi Ekosistem Tesso Nilo bertemu empat perusahaan sawit raksasa ini. Kepada mereka, KLHK meminta mereka tak membeli TBS dari kebun sawit ilegal Tesso Nilo atau CPO tercampur. Dalam pertemuan itu, KLHK menyatakan,  akan ada sanksi jika terbukti empat perusahaan itu menerima dari taman nasional.

Pada 17 Februari 2017, Kapolda Riau,  edarkan surat imbauan kepada 58 PKS di sekitar eksosistem Tesso Nilo soal larangan ini,  memperkuat surat KLHK.

“PKS aja melarang kita masukkan buah. Kalau diterima didenda. Kita sering disuruh buat pernyataan, kami tidak terlibatlah begitu (menjual buah dari Toro). Biasanya ini muncul kalau ada pemilihan politik. Habis itu hening lagi,” kata Sitorus, pengumpul TBS di Toro Regar, pertengahan November 2017.

Dampak surat edaran itu, menurut Sitorus, awalnya memang kesulitan menjual sawit dari Toro. Namun, tetap bisa menjual habis seluruh hasil panen sawit Toro ke PKS meski para agen harus mengubah strategi.

 

Sumber: Laporan EoF

 

Menurut EoF, agen-agen dan PKS pihak ketiga merupakan titik terlemah dalam sistem keterlacakan. Meski mengetahui aturan pelarangan itu, EoF menemukan strategi para agen terus menjual TBS ilegal antara lain, menyembunyikan asal sebenarnya TBS itu. Membawa dengan rute-rute berjarak lebih jauh sebelum mengantarkan atau mengganti nomor plat truk dengan nomor lain.

Dalam laporan EoF, aliran TBS dari Toro ini sangat memungkinkan ditampung bukan saja empat perusahaan besar Indonesia juga pedagang sawit global seperti Cargill, IOI, Sime Derby serta perusahaan konsumen besar seperti Nestlé, Kellogg’s, PepsiCo, Procter & Gamble, Reckitt Benchkiser dan Unilever, Mars, Colgate-Palmolive, General Mills dan Mondelez.

Menurut Afdhal, investigasi mereka mengungkapkan hubungan minyak sawit ilegal dari 21 PKS itu dibeli langsung maupun tak langsung dengan pedagang sawit global dan perusahaan konsumen besar itu.

“Mereka peduli dengan nama baik, hingga laporan ini harus ditanggapi serius karena mereka telah berkomitmen.”

Elizabeth Clarke, Palm Oil Leader WWF Global mengatakan, perusahaan-perusahaan global telah menanggapi pengungkapan hubungan PKS ini dengan perusahaan penyuplainya. EoF dan WWF memuji atas keterbukaan perusahaan global ini yang mengambil langkah krusial pertama terhadap keterlacakan TBS dan meminta perusahaan melakukan hal sama.

“Sangat mengecewakan, meskipun mereka berkomitmen menghentikan deforestasi, pedagang besar ditemukan menerima sawit tumbuh dengan mengorbankan hutan berharga, bahkan di dalam taman nasional, hingga mencemari rantai pasokan global,” katanya.

Kalau tak ada tekanan keras kepada perusahaan-perusahaan besar itu, katanya,  banyak perusahaan global turut andil menghancurkan Tesso Nilo dan taman nasional lain seperti Bukit Tigapuluh, Hutan Lindung Betabuh dan lain-lain.

 

 

 

Apa kata perusahaan?

Menanggapi laporan ini, Bernard A Riedo, Director of Sustainability and Stackholders Relations Asian Agri mengatakan, telah merespon laporan EoF dengan mengecek langsung ke lapangan. Dalam laporan EoF menemukan, fasilitas pabrik pengolah sawit PT Inti Indosawit Subur (Ukui 1) menerima TBS 1,5 ton dari Tesso Nilo pada 17 Juni 2017.

“Kami telah mengambil langkah tegas untuk ini  yaitu menangguhkan pemegang order pengiriman (OD) yang dilaporkan pada 24 Mei 2018,” katanya kepada Mongabay, Selasa (24/7/18).

Asian Agri, menurut EoF, berulang kali menerima TBS dari kawasan terlarang. Terkait ini, Bernard mengklaim, mereka punya Traceability Master Database dari seluruh pemasok pihak ketiga yang memungkinkan mereka memantau pasokan yang masuk ke perusahaan.

Dengan masih ada TBS masuk ke fasilitas meeka, Bernard mengakui itu sebagai tantangan bagi pelaku industri. “Meskipun kami telah melakukan upaya terbaik, kemampuan keterlacakan rantai pasok minyak sawit tetap menjadi tantangan di seluruh industri.”

Wulan Suling, Head of Corporate Communications GAR mengatakan, perusahaan telah sukses mencapai keterlacakan penuh di rantai pasok di fasilitas pabrik-pabrik milik GAR. “Sekarang kami membagi pembelajaran dengan para penyuplai dan membantu mereka untuk mencapai keterlacakan pada kebun,” tulisan pernyataan GAR yang diterima Mongabay.

 

Sumber: Laporan EoF

 

GAR mengakui, masalah dari produksi TBS ilegal di dalam Tesso Nilo sangatlah kompleks. “Di sana ada penghidupan petani kecil dan keluarga mereka yang dipertaruhkan.”

GAR, katanya,  percaya solusi keberlanjutan jangka panjang bakal banyak memerlukan pendekatan terkoordinasi antara para pihak yang relevan termasuk pemerintah lokal dan organisasi masyarakat sipil.

Carolyn LIM, Corporate Communications Musim Mas Holdings mengatakan, pekerjaan mereka dalam menciptakan perubahan di lapangan terbukti rumit dan menantang. Lansekap Tesso Nilo mewakili mikrokosmos tantangan yang dihadapi Indonesia. Analisa Musim Mas atas laporan EoF memperlihatkan latar belakangnya.

“Seluruh para pihak (masyarakat lokal, pemerintah lokal dan lain-lain) perlu dilibatkan dalam perencanaan untuk perlindungan hutan,” kata Carolyn.

Soal keterlacakan, Musim Mas mengakui, pasar industri sawit yang tercacah membuat rantai pasok dan keterlacakan jadi masalah yang rumit.

“Sebagai contoh, TBS yang dipasok ke pabrik bisa berasal dari perkebunan ditambah dengan pasokan dari kebun dengan skema petani kecil dan kebun mandiri, petani kecil mandiri dan pedagang TBS mandiri dengan campuran pemasok lain,” katanya.

Wilmar, satu di antara empat perusahaan produsen sawit sekaligus trader yang dituduh EoF,  tidak memberikan penjelasan kepada Mongabay. Pesan melalui WhatsApp yang dikirim pada Senin, (23/7/18) kepada Tumanggor sebagai Komisaris Wilmar tidak berbalas.

 

 

Keterangan foto utama: Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Sumber: laporan EoF

 

 

 

Exit mobile version