Mongabay.co.id

Badak Jawa yang Membuat Hidup Masyarakat Berarti

Gambaran kehidupan badak jawa yang dilukiskan tahun 1834. Sumber: Rhino Resource Center/ Capt. Dumont d'Urville

 

Badak jawa yang hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), tidak saja membuat masyarakat Banten bangga. Tetapi juga, turut menjaga kehidupannya. Cerita heroik muncul, ada sosok-sosok tangguh yang tanpa lelah ikut mempertahankan kehidupan satwa bercula satu ini dari ancaman kepunahan.

Sarmidi, warga Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, menceritakan pengalaman serunya. Ikatan batinnya dengan badak jawa telah terjalin 38 tahun, dimulai sejak lelaki 67 tahun ini mengabdi sebagai petugas Rhino Observation and Activity Managerial (ROAM).

Memorinya melayang 10 tahun silam, momen awal pertemuannya dengan mamalia berlumur sejarah itu. “Saya kaget ketika sepatu saya hampir menginjak kepala badak jawa yang sedang berkubang. Sekuat tenaga saya lari, manjat pohon terdekat,” jelasnya lugas.

Wajar bila Sarmidi kaget dan takut. Pasalnya, badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang dia jumpai saat patroli di Blok Karangranjang adalah Rawing. Jantan dewasa usia lebih dari 25 tahun yang tubuhnya penuh goresan luka.

Sekian lama menelusuri belantara, baru kali itu ia bertatap mata dengan Rawing. Sarmidi memang lebih sering menemukan jejak dan kubangan ketimbang melihat langsung rupa asli sang tokoh.

Dia bertutur, fokus kerjanya tak hanya menginventarisir mamalia berkulit tebal saja di TNUK, tetapi juga tanda tak lazim lainnya. Seperti jejak asing sepatu boots maupun sisa-sisa barang bekas yang dipakai manusia di hutan.

“Kami pernah berhadap langsung dengan pemburu. Mereka membawa bedil (pistol) panjang, sedangkan kami hanya bermodal sabetan golok. Beruntung hal itu bisa diatasi,” kenang Sarmidi yang mengusir pemburu awal 2004 silam.

Baca: Antisipasi Punahnya Badak Jawa, Rencana Habitat Kedua Kembali Menggema

 

Badak jawa yang mati di tangan pemburu Belanda di Ujung Kulon pada 1895. Kredit: Mechelen, Charles te/Rhino Resource Center/Wikimedia Commons/Public domain

 

Pengalaman mengesankan juga dialami Doyok (40), warga Kampung Cikujang, Desa Ujungjaya, Kecamatan Sumur. Kurang lebih 5 tahun terlibat dalam upaya pengamatan badak jawa, dia dibuat ciut tatkala berpapasan dengan robot. Ya, badak jawa yang khas dengan langkah kaki kirinya diseret seperti robot. Tanpa aba-aba robot mengejar Doyok, jauh berbeda dengan karakter badak jawa umumnya yang pemalu.

“Semenjak itu saya takut dan was-was. Ada kekhawatiran terulang lagi, tetapi tidak melunturkan niat saya untuk bantu memasang camera trap,” urainya. Doyok merupakan mantan pemburu madu serta burung yang beralih menjadi relawan di TNUK. “Badak jawa memberi kami makan dan kehidupan. Hidup kami makin berarti,” ujarnya.

Fenomena mencekam itu hanya sepenggal kisah keterlibatan Sarmiji dan Doyok juga masyarakat sekitar TNUK yang coba berakrab ria dengan badak jawa. Untuk mendapatkan bukti kehidupan badak jawa, mereka harus menerabas rimba dan menginap berhari-hari. Kadang, mereka menemani pakar badak Mike Griffith untuk penelitian.

Baca: Kisah Badak Jawa yang Kini Hanya Ada di Ujung Kulon

 

Gambaran kehidupan badak jawa yang dilukiskan tahun 1834. Sumber: Rhino Resource Center/ Capt. Dumont d’Urville

 

Species Coordinator WWF untuk Ujung Kulon, Iwan Podol menyebut, sekitar 50 masyarakat diikutsertakan, yang dibagi dalam 7 unit, sebagai strategi pelestarian badak jawa. Alasannya, pengamanan kawasan sangat krusial dilakukan.

“Keterlibatan masyarakat sekitar diharapkan mampu meminimalisir ancaman sekaligus meningkatan pengamanan,” ujarnya kepada Mongabay, Rabu (25/7/2018). Sebanyak 100 kamera jebak dipasang bergantian di 120 titik, dan harus dipantau tiap 20 hari atau sebulan sekali.

Dari data yang dihimpun, Balai TNUK pernah mengupayakan inventarisasi populasi menggunakan camera trap tahun 2011. Selama kegiatan 9 bulan, diperoleh 427 klip video badak jawa di habitat alaminya. Dari hasil identifikasi morfologi, jumlah yang terekam adalah 22 jantan, 13 betina, dan 5 anakan.

 

Induk badak bernama Puri bersama anaknya yang terpantau kamera jebak. Foto: Dok. Balai TNUK

 

Sementara data yang dikeluarkan Balai TNUK   pada 26 Februari 2018, berdasarkan hasil pantauan tahun 2017, teridentifikasi sebanyak 67 individu. Rinciannya, 37 individu jantan dan 30 individu betina. Dari jumlah itu, 13 individu tergolong anakan sementara 54 individu merupakan remaja dan dewasa. Pada survei ini, Balai TNUK memasang 100 kamera jebak di Semenanjung Ujung Kulon yang merupakan habitat badak jawa.

Badak jawa diperkirakan mulai kesulitan mencari makan karena bersaing dengan banteng jawa untuk mendapatkan makanan. Hingga saat ini, aktivitas masyarakat pun masih ditemukan, semisal, menggarap lahan atau menggembala ternak.

“Kami masih kekurangan referensi penelitian ilmiah tentang cara berbiaknya,” kata Kepala Kasi Wilayah II TNUK Ujang Asep.

Program Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) yang dilakukan Yayasan Badak Indonesia dan International Rhino Foundation bekerja sama dengan TNUK, telah dibuat sebagai upaya penyelamatan badak jawa. Program yang diluncurkan 21 Juni 2010 ini memiliki pokok rekomendasi penyelamatan badak di antaranya meningkatkan populasi badak jawa di habitat alaminya, mempersiapkan individu yang akan ditranslokasi ke habitat kedua, serta mengurangi penularan risiko penyakit berbahaya.

Badak jawa merupakan satwa terancam punah di dunia. Dalam daftar merah International Union Conservation of Nature statusnya digolongkan Kritis. Satwa ini juga terdaftar dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) sebagai jenis yang jumlahnya sedikit di alam dan dikhawatirkan punah. Badak jawa juga dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Baca juga: Penelitian Ini Coba Singkap Ancaman Tsunami pada Kehidupan Badak Jawa

 

Ancaman tsunami bila terjadi dan dampaknya pada kehidupan badak jawa di Ujung Kulon. Sumber: Jurnal Society for Conservation Biology

 

Konservasi dan keterlambatan

Usulan habitat baru dan translokasi terkait pembangunan second population sejatinya sudah diinisiasi sejak 1989. Perihal acuan konservasinya tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Jawa melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.43/Menhut-II/2007.

Hal itu merujuk punahnya populasi badak di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Alasannya, populasi yang hanya terpusat di satu areal, memiliki risiko kepunahan tinggi. Akan tetapi, rencana habitat kedua badak jawa belum juga terealisasi.

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan satu-satunya kantung eksistensi badak jawa di dunia. Namun, wilayah ini dinilai riskan bagi keberlajutan konservasi. Ditambah, kawasan yang memiliki luas sekitar 78.169 hektar daratan dan 44.337 hektar perairan ini terbilang “jenuh” bagi kehidupan badak jawa. Di sini juga tempat hidupnya banteng jawa (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus melas), dan berbagai jenis burung liar.

Secara geografis, TNUK adalah kawasan dengan topografi low land yang sangat memungkinkan terkena dampak tsunami dan gempa bumi. Gejala alam itu terbukti dari meningkatnya aktivitas Gunung Anak Krakatau. Hal yang seharunya menjadi peringatan bahaya bagi perlindungan badak jawa.

 

 

Exit mobile version