Mongabay.co.id

Pasca Gempa, Sistem Baru Pendakian Rinjani Bakal Berlakukan Kuota dan Monitoring. Seperti Apa?

Bayangkan di masa depan, pendaki Gunung Rinjani akan diketahui posisinya, barang bawaan ditandai sehingga diketahui jika berserakan, dan ada batas kunjungan per hari.

Hal ini direncanakan pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) untuk perbaikan tata kelola dan manajeman. Kepala TNGR Sugiono kepada Mongabay Indonesia pada Rabu (1/8/2018) mengatakan sebelum bencana gempa bumi mengguncang Rinjani, pihaknya sudah menyiapkan sistem pendaftaran daring (online) yang juga bisa diunduh aplikasi mobile-nya.

Calon pengunjung harus mendaftar seperti beli tiket pesawat. Kuota tiap hari diperkirakan sekitar 700 orang, namun ini belum final. Jika sudah penuh, maka baru bisa berkunjung hari berikutnya. Pemberlakuan sistem booking online ini sebagai bagian dari manajemen pengunjung, pelaku wisata, dan jasa usaha.

Saat ini disebut ada sedikitnya 4 pintu pendakian, paling ramai Sembalun dan Senaru. “Rencananya 1 Agustus mulai sistem pendaftaran online ini. Tapi ada gempa. Kalau habis kuotanya seperti tiket pesawat, harus beli hari berikutnya,” ujar pria yang baru beberapa bulan bertugas setelah sebelumnya di Taman Nasional Komodo, NTT.

baca : Rinjani dan Mimpi Taman Bumi

 

Dua orang pendaki memandang hamparan Danau Segara Anak di puncak Gunung Rinjani di kawasan Plawangan Senaru di ketinggian 2641 mdpl. Foto : trekkingrinjani.com/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, pasca gempa bumi, kunjungan ke TNGR ditutup sambil dikaji daya dukung (caring capacity) serta perbaikan sarana. Monitoring pengunjung juga direncanakan dengan mengoperasikan kembali CCTV untuk optimalisasi monitoring pendaki. Ada juga rencana pemberlakuan tagging pendaki dengan sistem Radio Frequency Identification (RFID), untuk dapat memonitor pergerakan pendaki. “Kadang saat kabut, ada yang ketakutan lalu tersesat dan bisa kecelakaan. Ini yang akan disiasati dengan teknologi,” urai Sugiyono. Namun implementasi teknisnya belum pasti seperti apa.

Monitoring ini dinilai penting agar diketahui jumlah pengunjung dan pergerakannya. Karena dengan cara manual menulis nama dan identitas saja seperti saat ini, pendaki tak bisa dipantau secara cermat. Misal saat daftar menyebut 3 hari namun memperpanjang kemping, bisa dicek misalnya lewat pemberian tiket seperti tiket parkir di mall.

Tata kelola berikutnya adalah rencana manajemen sampah melalui sistem pack in-pack out menuju zero waste. Pengunjung akan diperiksa barang-barang yang dibawa, diharapkan membawa botol minum yang bisa diisi ulang untuk mengurangi sampah plastik. Kemudian barang bawaan diberi tag seperti bagasi pesawat. “Saat jatuh terlihat ada tagging-nya, ini punya siapa sampahnya,” jelas Sugiono. Jika ini berjalan, bisa jadi TNGR jadi perintis.

baca juga : Penetapan Geopark, Pemerintah Harus Lebih Baik Mengelola Gunung Rinjani

 

Sekelompok pendaki melewati padang rumput di wilayah Sembalun Lawang, Gunung Rinjani. Foto : trekkingrinjani.com/Mongabay Indonesia

 

Pendaki dan Guide

Sedangkan Baiq Erika Wulandari, seorang warga Mataram merasakan gempa hebat saat mendaki gunung Rinjani. Ini pengalaman pertamanya mendaki bersama 4 rekannya yang lebih berpengalaman. Ia baru kemping satu malam dan bergegas turun sesaat setelah gempa terjadi. Pada Minggu (30/7) Erika sudah di bawah.

Ia mengaku membeli tiket di pos langsung untuk rencana perjalanan 5 hari. “Lebih baik bisa beli di pos, kalau harus online kasihan yang tidak punya paket data,” ia tertawa.

Sementara Rendi Arviyan, salah satu guide berpengalaman di TNGR menyebut sudah mendengar ide soal kuota dan pendaftaran online ini tapi belum tahu berapa jumlah alokasinya per hari. “Saya ditanya banyak teman soal ini,” ujarnya.

Ia menyambut ide pengaturan pendakian karena berdasar pengalamannya saat musim ramai bisa ada lebih 1000 pendaki di sekitar danau Segara Anak dan Plawangan Sembalun. Dampaknya sulit mencari lahan mendirikan tenda dan menggunakan sumber air di danau. Juga rebutan dengan porter dan guide. “Kalau tidak booking duluan tak dapat nge-camp,” lanjut pria yang juga Ketua Komunitas Backpacker Indonesia cabang Lombok ini.

 

Kemah para pendaki yang berjejal di kawasan Plawangan Sembalun di ketinggian 2639 mdpl di Gunung Rinjani. Foto : trekkingrinjani.com/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan monitoring dengan CCTV menurutnya berguna saat memberi sanksi pada pembuang sampah sembarangan.

Namun ia khawatir dengan rumor soal rencana mewajibkan pendaki menggunakan guide dan porter. Ia berharap ini tak terjadi karena sebagian besar pendaki Gunung Rinjani merupakan pendaki lokal yang backpacker yang tidak menggunakan porter dan pemandu karena menambah biaya. Apalagi rata-rata waktu pendakian lebih dari 2 hari.

menarik dibaca : Cerita Polhut Evakuasi Pendaki Gunung Rinjani Pasca Gempabumi

 

Pasca Gempa

Sementara Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDAE KLHK), Wiratno, dalam kunjungannya ke Lombok memberi arahan kepada pengelola TNGR untuk mengantisipasi dan menangani apabila terjadi bencana pendakian. Wiratno dalam rilisnya menyebutkan langkah antisipasi adalah dengan merancang jalur dan sistem evakuasi. Kedua, penguatan koordinasi dengan stakeholder terkait kebencanaan. Ketiga, Diklat SAR bagi petugas dan pelaku wisata (trekking organizer, guide dan porter).

Pasca gempa, Pengelola TNGR segera melakukan penelitian dan pengkajian terhadap keamanan jalur pendakian, jalur pendakian alternatif evakuasi, prediksi pola kegempaan dan letusan. Pengkajian ini disebut akan dilakukan oleh tim pakar-praktisi, dan hasilnya akan dilaporkan pada publik.

Tim Tanggap Bencana di kawasan TNGR sendiri tetap bersiaga hingga 6 Agustus 2018. Apabila terjadi keadaan darurat agar menghubungi Call Centre Balai TNGR, dengan nomor 0811283939.

Pada Selasa (31/7/2018) pukul 19.50 WITA seluruh pendaki dan Tim Evakuasi sudah keluar dari kawasan TNGR. Pendaki per 1 Agustus yang telah berhasil dievakuasi sebanyak 1.226 orang terdiri dari WNA 696 orang dan WNI 530 orang. WNA terbanyak berasal dari Thailand 358 orang (55%), Perancis 68 orang (10%), Belanda 43 orang (6,%), Jerman 25 orang (3%) dan Swiss 21 orang (3%).

baca : Dampak Gempa 6,4 SR di Lombok: 16 Meninggal dan Ratusan Pendaki Rinjani Terjebak

 

Proses evakuasi pendaki Gunung Rinjani korban meninggal Muhammad Ainul Muksin asal Makassar menggunakan helikopter berlangsung sejak Selasa (31/7/2018) pagi sampai siang. Korban meninggal karena tertimpa material reruntuhan. Foto : Amman Mineral/Mongabay Indonesia

 

Satu orang WNI meninggal dunia akibat terkena batu longsoran di KM 10 jalur pendakian Sembalun adalah Mohammad Ainul Taksim umur 26 tahun, berasal dari Makassar. Jenazah telah diserahkan pihak KLHK kepada pihak keluarga dan diberangkatkan ke Makassar pada Selasa (31/7/2018) pukul 19.45 WITA. Jenazah telah tiba di Makassar pada Rabu (1/8/2018) pukul 02.00 WITA, diterima oleh pihak keluarga, perwakilan Badan SAR Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan Badan Penelitian Pengembangan dan lnovasi KLHK.

Dalam operasi evakuasi, dukungan diperoleh dari Balai TNGR (transportasi, alat komunikasi dan logistik), TNl-Kodam IX Udayana (medis, helikopter, alat komunikasi dan evakuasi), Badan SAR Nasional (Transportasi, alat komunikasi dan Iogistik), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (helikopter), PT. Amman Mineral Nusa Tanggara (helikopter), Rudy Trackker, dan para relawan dari kecamatan Sembalun, Desa Sembalun, Desa Sembalun Lawang, Desa Sembalun Bumbung, Desa Sembalun Timba Gading, dan Desa Sajang yang mendukung seluruh proses evakuasi.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dirjen KSDAE KLHK menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelamatan pendaki akibat bencana gempa bumi di TNGR. Dan seluruh jalur pendakian Gunung Rinjani ditutup sejak 29 Juli 2018 sampai dengan waktu yang belum ditentukan.

 

Exit mobile version