Mongabay.co.id

Mengapa Oyek dan Gaplek Jadi Andalan Ketika Kemarau Tiba?

Jalanan berdebu. Begitu ada kendaraan lewat, debu beterbangan. Warga yang berjalan kaki terpaksa harus menutup hidung dan mulutnya. Sementara di kanan kiri jalan adalah pepohonan jati yang mulai meranggas daunnya. Begitulah jalanan menuju ke Dusun Wanarata, Desa Kalitapen, Kecamatan Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah.

Wanarata, sebuah dusun yang berada di perbukitan di tengah hutan jati menjadi salah satu daerah paling kering di Banyumas. Hampir setiap kemarau tiba, sumber air menipis, bahkan mengering. Kali kecil di desa setempat juga sudah lama tak ada airnya.

Jangankan untuk areal pertanian, sumber air bersih saja harus antre panjang. Bahkan, satu-satunya mata air di dusun setempat debitnya sangat kecil. Untuk mengisi satu ember saja, membutuhkan waktu hingga sejam.

“Ini satu-satunya sumber air yang masih ada airnya. Tetapi alirannya sudah sangat kecil, tidak tahu sampai kapan airnya mengalir. Makanya, untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar, pihak RT melakukan penggiliran pengambilan air,”ungkap Sariah (43) yang ditemani Suminah (42) saat ditemui Mongabay pada Rabu (31/7) lalu.

baca : Daerah-daerah Ini Rawan Kekeringan, Pertanian Terancam. Apa Solusinya?

 

Kondisi geografis Dusun Wanarata, Desa Kalitapen, Purwojati, Banyumas, Jateng yang kering. Kanan kiri hutan jati yang mulai meranggas saat kemarau di akhir Juli 2018. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sariah mengungkapkan, guna mencukupi kebutuhan air bersih sehari-hari saja kurang, apalagi untuk areal pertanian, jelas tidak ada. “Areal pertanian di sini hanya ditanami dengan palawija, umumnya adalah singkong atau ketela pohon. Kalau untuk padi, jelas tidak bisa hidup, karena tak ada air. Apalagi di sini, umumnya adalah derik atau perkebunan, sehingga tidak mungkin menanam padi pada musim kemarau,”kata Sariah.

Warga lainnya, Sujah (46) tidak dapat menanami padi, karena musim kemarau. Sebab, areal sawah di sini berbeda karena konturnya berbukit. Sehingga tanaman padi berada di kebun-kebun warga. “Kami hanya bisa tanam pada musim penghujan saja. Kalau sekarang saya tidak tanam padi, hanya singkong. Ketika musim penghujan tanam padi pada areal sekitar 240 m2. Hasilnya juga tidak seberapa, paling hanya 3 kuintal. Hasil panen itu disimpan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,”ujarnya.

Ia mengaku pada musim kemarau seperti sekarang, stok padi sudah menipis, sehingga dirinya mulai mengonsumsi nasi oyek dengan bahan baku singkong. Selain itu, juga siap dengan gaplek atau singkong kering. “Tidak setiap hari kami makan nasi dari beras, melainkan oyek. Kalau ingin yang lain ya merebus gaplek atau orang di sini menyebutnya krekel. Sudah biasa, warga di sini mengonsumsi oyek dan gaplek sebagai pengganti nasi. Kalau saya, setiap hari masih ada nasi juga sih,”kata Sujah.

baca juga : Kekeringan Di Bandung Ancam Pertanian Dan Ketahanan Pangan

 

Warga Wanarata, Banyumas, Jateng antre di sumber mata air yang nyaris kering. Jangankan untuk areal pertanian, guna memenuhi kebutuhan air sehari-hari saja, warga kekurangan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Penduduk lain di Wanarata yang mengonsumsi oyek adalah keluarga Misdar (42). Ia hidup bersama istri, satu anaknya dan dua orang tuanya. “Saya mengonsumsi oyek, karena memang tidak mempunyai beras. Apalagi musim kemarau seperti sekarang, tidak dapat menanam padi. Lahan seluas 70 m2 yang kami miliki ditanami dengan berbagai jenis palawija seperti singkong. Kalau musim penghujan saya menanam jagung dan kedelai. Praktis, saya tidak tanam padi. Karena di sini umumnya adalah perkebunan,”ungkapnya.

Dengan kondisi itu, lanjut Misdar, singkong menjadi bahan pokok sehari-hari. Ada dua jenis bahan olahan dari singkong yang dibuat yakni oyek dan krekel. “Oyek itu benar-benar bisa sebagai pengganti nasi. Saya tidak memaksakan diri untuk membeli beras, karena tidak terlalu mampu juga. Makanya kami lebih memilih memakan oyek atau gaplek setiap harinya sebagai pengganti nasi,”jelas Misdar.

Istri Misdar, Wartem (42) mengatakan keluarganya kadang juga makan nasi, apalagi kalau ada jatah beras sejahtera (rastra) yang disalurkan pemerintah. “Jika beras tidak ada, maka kami masak oyek. Tidak perlu mengada-ada harus makan nasi dari beras. Jadi sebetulnya, sudah menjadi budaya kami mengonsumsi oyek,”katanya.

Wartem mengungkapkan untuk membuat oyek butuh waktu sekitar 3 hari. Sebab, harus ada sejumlah proses yang dilalui seperti dikupas, ditumbuk, dikukus, dan dijemur. Proses itu membuat oyek mampu bertahan sampai satu tahun, tanpa ada bau atau kutu.

Bagi warga, oyek telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan mereka, mengingat kondisi geografis Wanarata di perbukitan yang kering dan tanahnya lebih bisa ditanami singkong. “Sudah sejak kecil dulu sampai sekarang, saya makan oyek. Kadang juga makan nasi. Namun, kalau musim kemarau pasti makan oyek terus, karena yang ada hanya singkong,”ungkap Muheri (80) warga setempat.

menarik dibaca : Meski Mengandung Racun, Ubi Magar Jadi Pangan Alternatif di Sikka

 

Muheri (80) warga Dusun Wanarata, Desa Kalitapen, Purwojati, Banyumas, Jateng, memperlihatkan simpanan gaplek pengganti nasi di rumahnya. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dusun (Kadus) III Wanarata, Karto, mengatakan kondisi tanah kering berbukit di Wanarata membuat warga memiliki cara tersendiri untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. “Warga di sini sudah tidak asing dengan oyek. Memang ada yang menjadikannya sebagai makanan sehari-hari, tetapi pada umumnya sebagai pelengkap nasi. Dari sekitar 450 keluarga, mungkin yang makan oyek ada 50 keluarga. Selain itu, juga gaplek atau krekel sebagai makanan pendamping,”jelas Karto.

Karto mengungkapkan kalau areal lahan sawah di Dusun Wanarata sekitar 30 ha, tetapi sawahnya berbeda. “Sawah di sini relatif kering, tidak terlalu banyak air. Sehingga yang ditanam adalah padi gogo yang kuat terhadap kondisi alam yang kering. Tanaman padi hanya dapat tumbuh pada musim penghujan. Kalau kemarau datang, sama sekali tidak dapat tanam. Kemarin saja, ada warga yang tanam tetapi ternyata kemarau datang dan akhirnya puso. Yang dapat tumbuh dengan baik adalah singkong. Kini, luasannnya juga sekitar 30 ha yang tersebar di sekitar rumah atau perkebunan masing-masing warga,”katanya.

Menurut Karto, persoalan air memang menjadi masalah yang tidak kunjung rampung. Seandainya di sini ada pasokan air yang melimpah, tentu warga akan menanami padi. Tetapi karena tidak ada, maka singkong menjadi andalan.

baca juga : Saatnya Makan Ubi untuk Menggantikan Nasi

 

Warga Wanarata, Banyumas, Jateng, mengeringkan gaplek atau biasa penduduk setempat menyebut krekel. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertan KP) Banyumas Widarso mengungkapkan,”Kami  akan melakukan pengecekan, apakah makan oyek yang ada di Dusun Wanarata karena warganya tidak mampu dan terjadi kerawanan pangan atau seperti apa. Secara prinsip sebetulnya tidak ada persoalan dengan warga yang mengganti nasi dengan oyek. Namun, apakah warga yang makan oyek tersebut betul-betul kekurangan karena tidak mampu. Ini butuh pengecekan lapangan langsung.”

Menurut Widarso, ada salah kaprah selama ini, di mana warga yang mengonsumsi pangan selain nasi dikategorikan sebagai orang yang benar-benar miskin. “Selama ini ada salah kaprah, warga yang sudah terbiasa dengan kearifan lokalnya memakan oyek misalnya, tetapi harus pindah makan nasi. Mereka akhirnya berpindah konsumsi, padahal oyek atau tiwul atau gaplek dapat menjadi makanan substitusi nasi. Tetapi yang penting harus dilengkapi dengan tambahan gizi lainnya,”ujarnya.

Dikatakan oleh Widarso, Wanarata di Desa Kalitapen memang merupakan wilayah yang sulit air, sehingga para petani setempat menanam padi gogo ketika musim penghujan dan saat kemarau menanam berbagai jenis palawija. Kondisi semacam ini justru menjadi bagian dari adaptasi masyarakat terhadap lingkungan mereka.

 

Exit mobile version