Mongabay.co.id

Tumpahan Batubara Menghitamkan Pantai Wisata Indah Ini

 

Pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, merupakan pantai andalan pariwisata di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Letaknya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan di belakangnya berdiri tegak jajaran Bukit Barisan.

Namun, pantai tersebut tercemar berat akibat batubara. Sebanyak 7 ribu ton emas hitam yang diangkut kapal tongkang berceceran di pantai nan indah ini. “Kapal memuntahkan semua batubara yang diangkutnya akibat dihantam ombak,” ujar Kamaruddin, warga Lampuuk, Rabu (01/8/2018).

Batubara yang berasal dari Palembang itu hendak diangkut ke pabrik semen PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI) yang berada di pinggir laut Lhoknga. Februari 2016,   PT. Holcim Indonesia Tbk. menguasai perusahaan ini setelah membelinya dari Financiere Lafarge SA.

“Tumpahan batubara telah merusak terumbu karang, mengganggu kehidupan biota laut, bahkan pantai berubaha hitam akibat dipenuhi batubara,” jelasnya.

 

Batubara yang diangkut kapal tongkang sebanyak 7 ribu ton berceceran di pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pimpinan Lembaga Adat Laut atau Panglima Laot, Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Imran mengatakan, tongkang yang telah patah dua itu hanya berjarak 100 meter dari bibir pantai. Tongkang tersangkut terumbu karang. “Karena lambatnya respon perusahaan, batubara telah mencemari pantai dan merusak terumbu karang. Banyak ikan dan kepiting mati.”

Menurut Imran, tercemarnya pantai tidak hanya berdampak pada nelayan, tapi juga masyarakat. “Kami masih musyawarah mencari solusi. Batubara harus segera dibersihkan agar tidak memperburuk keadaan,” terangnya.

 

Pantai wisata indah Lampuuk ini menghitam akibat tumpahan batubara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pemilik salah satu resto dan penginapan di pantai Kuala Cut, Joel Bungalow mengatakan, banyak wisatawan pulang setelah melihat pantai menghitam. “Saya tidak hanya menerima kunjungan wisatawan lokal, tapi juga mancanegara. Kondisi ini mengganggu pariwisata,” ujarnya.

Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali, kecewa belum adanya penanganan serius. Dia ingin semua pihak menyelesaikan masalah ini sebelum berdampak lebih luas. “Lingkungan sudah tercemar dan mengancam ekosistem pantai. Ini berdampak buruk pada kehidupan nelayan dan masyarakat yang mengandalkan pariwisata,” ungkapnya.

Bupati meminta, pencemaran diselesaikan dalam tempo satu minggu. “Pantai ini andalan pariwisata Kabupaten Aceh Besar, jadi harus segera ditangani,” ujarnya.

 

Bukan hanya lingkungan yang rusak, nelayan lokal dan masyarakat yang menggantungkan hidup dari pariwisata juga ikut menanggung beban. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bukan yang pertama

Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Rahmi Fajri, meminta perusahaan bertanggung jawab atas pencemaran laut dan pantai. Terlebih, terumbu karang di pantai Lampuuk sangat penting keberadaannya.

“Matinya sejumlah biota laut memberi petunjuk awal bila pantai memang tercemar. Terumbu karang juga rusak, padahal rencananya akan dijadikan wilayah konservasi,” tuturnya.

 

Tidak hanya terumbu karang yang rusak, biota laut juga menjadi korban akibat tumpahan batubara ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, tumpahnya batubara di pantai Aceh bukan keadian pertama. Pada 2016, batubara juga tumpah di pantai Lhoknga saat hendak dipasok ke PT.LCI.

“Negara melalui perangkat hukum, belum pernah menjadikan kejadian ini sebagai perkara lingkungan hidup, sehingga tidak ada efek jera. Bahkan, tidak ada yang diminta pertanggungjawaban. Padahal, UU 32 tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) telah mengaturnya. Kami minta, dinas terkait yang menangani masalaha ini segera menyiapkan gugatan ke perusahaan dan kontraktornya,” jelasnya.

 

Tumpahan batubara di Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, bukan kali ini saja terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Walhi berharap, negara menjaga wibawa dalam melihat perkara ini. Jangan dijadikan masalah sosial, tapi sebagai pencemaran lingkungan. “Pantai harus segera dibersihkan perusahaan, dengan pengawasan pemerintah yang melibatkan penegakan hukum dan masyarakat terdampak. Sehingga, beban tidak dipikul negara karena disebabkan ada unsur kecelakaan. Jangan dibangun opini akibat bencana alam perusahaan dan pelaku bisnis bebas tanggung jawab,” ungkapnya.

 

 

Selain itu, sebaik mungkin, ketergantungan kita akan batubara ditinggalkan. “Jika pun masih dibutuhkan dalam jumlah besar, pengiriman dengan standar teknologi dan keselamatan lingkungan harus diterapkan. Khususnya, di laut,” tandas Muhammad Nur.

 

 

Exit mobile version