Mongabay.co.id

Indonesia Taklukkan Penjajah ‘Laut’ di Sabang

Ketukan palu sidang di Pengadilan Negeri (PN) Sabang, Provinsi Aceh, Kamis (2/8/2018) menggema ke seisi ruangan. Ketukan tersebut seolah menjadi penanda kemenangan pertarungan Negara melawan para penjajah ‘laut’ yang sudah malang melintang sejak lama. Hari itu, majelis hakim memutus bersalah kapten kapal FV STS-50 yang sudah lama menjadi buronan kepolisian internasional (Interpol).

Kapten bernama lengkap Matveev Aleksandr itu, oleh majelis hakim ditetapkan sebagai terpidana setelah menjalani sidang putusan dengan merujuk pada pasal 97 ayat (1) Undang-undang Perikanan. Dia dijatuhi pidana dengan denda sebesar Rp200 juta dan subsider 4 bulan kurungan. Tak lupa, hakim juga menyita sejumlah barang bukti dari kasus tersebut.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, bukti yang disita berupa kapal FV STS-50 beserta peralatannya seperti GPS, kemudi, alat komunikasi dan navigasi, serta alat tangkap. Putusan yang disertai penyitaan barang bukti, menjadi bukti kemenangan Indonesia melawan pelaku perikanan ilegal di perairan Indonesia.

“Saya apresiasi kerja keras yang diperlihatkan aparat penegak hukum di Sabang,” ungkap dia pada akhir pekan lalu di Jakarta.

baca : Putusan Pengadilan Sabang: Terbukti Bersalah, Kapal Silver Sea 2 Disita untuk Negara

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat teleconference di kantor KKP Jakarta, pada Jumat (3/8/2018) tentang putusan PN Sabang, Aceh menyatakan kapal buronan Interpol yaitu FV STS-50 bersalah melakukan IUU Fishing. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Susi mengatakan, putusan yang dibuat oleh Majelis Hukum PN Sabang merupakan langkah tepat untuk menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan baik. Tak hanya itu, putusan tersebut juga membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki integritas tinggi, dari sisi aparat maupun sisi penegakkan hukum.

“Itu membuktikan bahwa kita tidak bisa untuk dibawa main-main. Penegakkan hukum di Indonesia sangatlah baik,” tegasnya.

Secara khusus, Susi juga memuji keberanian aparat, khususnya kru KRI Simeulue 2 yang tanpa takut menangkap dan menyita kapal STS-50. Keberanian itu, menegaskan kembali bahwa Negara tidak main-main kepada para pelaku perikanan ilegal di perairan Indonesia.

Menurut Susi, putusan akhir di Sabang, menjadi bukti bahwa dalam menyelesaikan persoalan di laut harus dilakukan lintas negara. Hal itu, karena perikanan ilegal bukanlah sekedar pencurian ikan, tapi para pelaku tersebut juga mengabaikan kedaulatan atas sumber daya alam dari berbagai negara.

“Termasuk, di wilayah konservasi di laut antartik kita, yang mana itu juga dibutuhkan oleh dunia,” tuturnya.

baca juga : Menteri Susi: 400 Kapal Kabur Masuk Daftar Interpol

 

Kapal FV STS-50 yang merupakan buronan Interpol karena melakukan IUU Fishing ditangkap aparat keamanan Indonesia Kamis (5/4/2018) di perairan tenggara Pulau Weh, Sabang, Aceh. Foto : ccamlr.org/Mongabay Indonesia

 

Monumen

Dengan putusan yang ditetapkan PN Sabang, saat ini Pemerintah Indonesia menunggu kapal tersebut dinyatakan inkracht. Jika itu sudah terjadi, Plt Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo mengaku sudah menyiapkan rencana untuk menjadikan kapal tersebut sebagai monumen peringatan.

“Rencananya akan dijadikan sebagai monumen peringatan perlawanan terhadap transnasional organized crime. Sebelumnya, sudah ada FV Viking, kapal yang terlibat illegal fishing dan dimonumenkan di Pangandaran, Jawa Barat,” jelasnya.

Nilanto mengungkapkan, rencananya nanti kapal tersebut dijadikan sebagai monumen dalam keadaan diam atau bergerak, dan dijadikan campaign vessel. Setelah itu, kapal kemudian diberi tulisan sudah ditangkap karena perikanan ilegal.

baca juga : Buron Sejak 2013, Kapal FV Viking Ditenggelamkan di Pangandaran

Diketahui, FV STS-50 merupakan kapal buronan Interpol, yang telah terafiliasi dengan perusahaan bernama Red Star Company Ltd yang berdomisili di Belize. Negara tersebut adalah negara yang sering kali digunakan oleh perusahaan pelaku kejahatan terorganisisr sebagai modus operasi penggelapan identitas pemilik manfaat.

Adapun, pemilik kapal diduga kuat adalah warga negara Rusia yang memiliki kantor di Korea Selatan dan melakukan beberapa transaksi bank di New York. Kapal ini telah melakukan Ilegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing di wilayah perairan kutub selatan yang pengelolaan perikanannya berada di bawah Convention for the Conservation of Antartic Marine Living resources (CCAMLR) dan mendaratkan hasil tangkapannya di beberapa negara di Asia.

 

Kapal FV STS-50 yang merupakan buronan Interpol karena melakukan IUU Fishing dilabuhkan di Pelabuhan Sabang, Aceh setelah ditangkap pada Kamis (5/4/2018) di perairan tenggara Pulau Weh, Sabang, Aceh oleh Satgas 115, KKP, TNI AL dengan Interpol dan LSM internasional. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, kapal ini juga diketahui memalsukan jenis spesies ikan yang ditangkap, serta dua kali lari dari wilayah hukum sebuah negara saat masih dalam proses pemeriksaan, yaitu di Mozambique dan Tiongkok. Dalam operasinya, kapal ini telah mengklaim menggunakan setidaknya 8 kebangsaaan. Bendera kebangsaan yang terakhir mereka klaim adalah Togo, dan telah disangkal oleh pemerintah Togo.

Kapal ini ditangkap pada Kamis (5/4/2018) di sekitaran 60 mill dari sisi Tenggara Pulau Weh, Sabang, provinsi Aceh dan merupakan hasil kerjasama antara Satgas 115, KKP, TNI AL dengan Interpol dan LSM internasional seperti I-Fish dan Sea Sheppard.

Selain Sabang yang menjadi wilayah perairan favorit para penjajah ‘laut’, wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kawasan laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, hingga saat ini juga masih menjadi salah satu lokasi favorit penangkapan ikan secara ilegal di Indonesia.

Natuna tetap disukai, karena posisinya yang sangat strategis dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan sejumlah negara. Dengan fakta tersebut, tidak heran jika banyak kapal ikan asing (KIA) yang ditangkap oleh KKP di perairan tersebut. Meskipun sejak 2014 ,KIA sudah tidak boleh lagi menangkap ikan di perairan Indonesia, atau dengan kata lain sudah dinyatakan ilegal.

menarik dibaca : Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

Nilanto Perbowo menjelaskan, di kawasan perairan tersebut, KIA yang ditangkap sering kali menggunakan bendera negara di Asia Tenggara ataupun Asia. Di antara KIA yang ditangkap, contohnya adalah yang diduga kuat berasal dari Vietnam. Penangkapan dilakukan oleh Kapal Pengawasan Perikanan (KP) HIU 04 itu, pada 14 Mei lalu di perairan ZEE Laut Natuna Utara.

Saat diperiksa, selain ditemukan pair trawl, kapal tersebut juga tidak memiliki dokumen yang sah dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).

Atas dasar hasil pemeriksaan awal, kapal-kapal tersebut diduga melakukan pelanggaran di bidang perikanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.31/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.45/2009 tentang Perikanan dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

 

Satu dari dua Kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam yang ditangkap kapal pengawasan perikanan (KP) HIU 04 di perairan ZEE Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada Senin (14/05/2018) karena melakukan illegal fishing. Foto : KP HIU 04/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Kapal Kecil

Selain KIA, kapal kecil berukuran di bawah 10 gros ton (GT) berbendera Indonesia juga diduga kuat melakukan aksi IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia. Dugaan itu diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan beberapa waktu lalu.

Potensi melakukan IUUF tersebut, bisa terjadi karena kapal berukuran maksimal 10 GT tidak memiliki kewajiban untuk melakukan registrasi dan perizinan. Kondisi tersebut, secara tidak langsung akan memberi kesempatan kepada pemilik kapal berukuran tersebut untuk melakukan IUUF.

“Tanpa pengaturan, hal ini berpotensi merusak upaya mewujudkan praktik perikanan berkelanjutan yang dikampanyekan sendiri oleh pemerintah Indonesia,” ungkapnya.

baca : Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?

Abdi mengatakan, walau mendominasi jumlah armada penangkapan ikan di Indonesia berdasarkan data profil armada tangkap, dalam periode 2013 hingga 2014 telah terjadi penurunan jumlah armada ukuran di bawah 10 GT dari 198.297 unit menjadi 194.867 unit. Fakta tersebut bisa menjadi catatan sendiri untuk tata kelola armada penangkapan ikan di Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, menurut Abdi, kapal berukuran kecil di bawah 10 GT dikategorikan sebagai kapal nelayan kecil. Dengan status tersebut, pemilik kapal berukuran tersebut kemudian mendapatkan beragam kemudahan dari KKP.

“KKP juga membebaskan pengurusan izin dalam melakukan penangkapan ikan,” tuturnya.

Agar tidak terjadi praktik IUUF yang sedang gencar dikampanyekan sekarang, Abdi menghimbau agar Pemerintah segera menyiapkan langkah antisipasi dengan kemudahan yang didapat kapal berukuran kecil di bawah 10 GT. Karena selain potensi IUUF, dia menilai ada potensi negatif lainnya yang bisa dilakukan pemilik kapal kecil tersebut.

“Ketiadaan izin bagi kapal kecil akan berkonsekuensi pada sulitnya melakukan traceabilty hasil dan lokasi tangkapan serta berpotensi berkontribusi pada terjadinya overfishing,” tambahnya.

Tak hanya potensi IUUF, Abdi juga menyoroti dampak lain dari pembebasan kapal berukuran kecil dari berbagai kewajiban yang ditetapkan Pemerintah. Menurut dia, jika tidak dilakukan pengawasan dan langkah antisipasi, maka ada potensi pembiasan data Maximum Sustainable Yield (MSY) yang sekarang rutin dilakukan setiap tahun oleh KKP.

“Jika ini terjadi, maka dapat dipastikan, ikan yang ditangkap oleh nelayan kecil masuk kategori unreported,” tegasnya.

 

Exit mobile version