Mongabay.co.id

Menilai Pelaksanaan Komitmen Jokowi kepada Masyarakat Adat

Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Satu periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, hampir berlalu. Artinya, waktu tersisa untuk menuntaskan agenda dalam Nawacita hanya kurang dari lima bulan masa aktif kerja pemerintahan. Terutama komitmen Jokowi memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat yang termanifestasi dalam beberapa poin Nawacita. Yakni, pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa, melaksanakan Putusan MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi.

Harus diakui,  enam poin ini sempat jadi simbol politik oleh Presiden Jokowi saat pencalonan pada Pilpres 2014 guna meraih simpatik dan dukungan masyarakat adat. Hingga menjelang akhir lima tahun pertama, komitmen itu mengalami stagnasi alias minim realisasi.  Beberapa kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan beban baru bagi masyarakat adat.

 

Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara–secara adat itu hak ulayat–, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Lamban

Alih-alih merealisasikan seluruh agenda Nawacita yang belum selesai, pertanyaan mendasar muncul,  apakah rezim ini mampu memenuhi janji dalam dokumen Nawacita hanya dalam tenggat waktu lima bulan? Dalam empat tahun terakhir kepemimpinan Jokowi, beberapa poin dalam Nawacita terutama untuk masyarakat adat terlihat tidak berjalan serius. Anggapan ini terlihat dari kelambanan rezim ini dalam mengakui hak dan memberikan perlindungan kepada masyarakat adat.

Ada lima bukti empirik komitmen Jokowi-JK untuk masyarakat adat dalam Nawacita yang sampai hari ini justru kontradiktif. Pertama, berbagai kasus pelanggaran HAM dialami masyarakat adat masih menggantung. Sampai 2018, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),  mencatat 262 kasus perampasan wilayah adat dan kriminalisasi masih terjadi.

Kondisi ini bukti tak terbantahkan dari belum seriusnya pemerintahan Jokowi-JK dalam menyelesaikan masalah hukum dan HAM sebagaimana dijanjikan. Kedua, target pemerintah mempercepat penetapan status hutan adat sesuai mandat Putusan MK 35/2012 belum tercapai. Pemerintahan ini dalam komitmen menargetkan penetapan hutan kelola masyarakat termasuk hutan adat 12,6 juta hektar.  Sayangnya, hingga kini, untuk hutan adat hanya berhasil menetapkan 17.000–an hektar. Jumlah ini sangat jauh dari target.

Ketiga, belum ada desa adat ditetapkan pemerintah. Dari 133 desa adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah, belum ada satupun mendapatkan registrasi dan kode desa dari Kementerian Dalam Negeri.

Hal ini karena tumpang tindih fungsi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Selain itu, Kementerian Desa juga tak memiliki nomenklatur dalam pengaturan desa adat secara jelas hingga terjadi kemandulan dalam mengimplementasikan UU Desa Nomor 6/2014.

Keempat, peraturan perundang-undangan soal masyarakat adat masih tumpang tindih dan saling menyandera. Belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat adat bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap masyarakat adat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan Permen Nomor 8/2018 tentang pedoman pengakuan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara substantif sama dengan Permendagri 52/2014. Peraturan ini khawatir akan mengalami tumpang tindih proses dan berujung kemandulan dalam implementasi.

Kelima, pembahasan RUU Masyarakat Adat terkesan tidak serius. Meski dari proses legislasi mengalami kemajuan, tetapi dari segi substansi RUU sekarang justru berpotensi mengangkangi semangat konstitusi. Ia tercermin dalam beberapa pasal krusial seperti ada pasal yang berpotensi menghapus keberadaan masyarakat adat, proses penetapan mempersulit masyarakat adat dan pasal penyelesaian konflik tak masuk. Untuk itu, perlu koreksi mendalam atas substansi RUU Masyarakat Adat sebelum menjadi Undang-undang.

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Politik simbol

Masyarakat adat harus tetap mawas diri. Banyak hal dalam lima tahun terakhir justru berpotensi membahayakan gerakan masyarakat adat. Kongres Masyarakat Adat Nusantara V (KMAN V) di Tanjung Gusta pada 2017,  dan Perencanaan Strategis Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat beberapa hal itu. Pertama, muncul kembali “negara-negara masa lalu” yaitu kerajaan, kesultanan dan nama lain. Pada masa ini kembali dihidupkan untuk melegitimasi dan mendukung jalannya pemerintahan.

Kedua, menjamur lembaga-lembaga adat bentukan pemerintah. Ketiga, muncul berbagai organisasi, forum, jaringan atau nama lain untuk mewadahi dua bentuk di atas.

Semua hal itu banyak didukung pemerintah baik dari sisi kebijakan maupun pendanaan. Sisi lain, politik simbol oleh Presiden Jokowi juga makin memprihatinkan. Baju adat makin sering ditonjolkan dalam berbagai acara kenegaraan salah satunya dalam Perayaan Hari Kemerdekaan 2017. Ia salah satu bukti politik simbol ini pertama ditampilkan secara resmi. Semua baju menteri dan pejabat teras negara berbaju adat namun mengabaikan dan tak mendukung pemenuhan hak masyarakat adat. Paling menyedihkan, ada yang didaulat sebagai juara baju adat terbaik. Padahal, sejatinya berbagai ragam baju adat mewakili sebuah bangsa yang bermartabat hingga taka selayaknya dipertandingkan.

Dunia politik memang didominasi dan didorong mencari kekuasaan dan mengedepankan politik simbolis,  politik saling sandera dan cepat saji atau instan. Akibatnya,  dalam perjalanan politik itu tak lagi mengutamakan substansi kebangsaan, melainkan mementingkan elit dan kekuasaan.

Alhasil, realisasi komitmen pemerintahan ini buat masyarakat adat hanya sebagai cerminan politik simbol untuk meraih dukungan mereka kepada pemerintah.

Bukti empirik lain dari Nawacita untuk masyarakat adat sekadar politik simbolik dapat terlihat dalam realisasi justru kontradiktif dengan komitmen. Perspektif korporasi yang mengutamakan untung dan rugi seringkali menjebak pikiran aparatur sipil negara (ASN) hingga menghambat sejumlah target yang sudah ditetapkan. Hal-hal substansi yang seharusnya jadi alat pencapaian pemerintah dalam memenuhi komitmen kepada masyarakat adat tergeser kepentingan kelompok, golongan, dan partai. Mereka bertindak spekulatif untuk menjaga keuntungan. Kadang tindakan itu melanggar aturan main yang disepakati, tak lagi berpikir untuk kemaslahatan rakyat. Tak heran komitmen pemerintahan ini kepada masyarakat adat terjebak dalam stagnasi.

Lima bulan tersisa dalam periode ini memang harus diisi dengan keseriusan pada seluruh program prioritas. Keseriusan dan keberhasilan implementasi Nawacita akan jadi penentu dalam menyelamatkan citra Presiden Jokowi dalam Pemilu 2019. Citra pemimpin yang menepati janji atau sebaliknya jika komitmen Nawacita tetap stagnan dalam lima bulan ini, bukan tak mungkin Presiden Jokowi dianggap sebagai pemimpin ingkar komitmen.

 

Yayan Hidayat, penulis dari Direktorat Politik Masyarakat Adat, AMAN.Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama: Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Foto: dokumen Laman Kinipan

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version