Mongabay.co.id

PLTA Batang Toru, Malapetaka bagi Kera Terlangka di Dunia

Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Maxime Aliaga/Batangtoru.org

 

Ketika Presiden Tiongkok Xi Jinping memuji Belt & Road Initiative China, dia menggunakan kata-kata seperti “hijau”, “rendah karbon” dan “berkelanjutan.” Apakah ini kenyataan atau hanya greenwashing— janji-janji samar yang menyembunyikan kebenaran tentang risiko lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mengerikan?

Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Di Sumatera, Indonesia, elemen kunci Belt & Road—yang dikenal sebagai proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru—akan sangat merusak spesies kera besar paling langka di dunia. Proyek senilai US$1,6 miliar didanai sebagian besar oleh Bank of China, berada di bawah arahan langsung Presiden Xi, dan dibangun oleh Sinohydro, otoritas tenaga air nasional China.

Baca juga: Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

Kera langka itu adalah orangutan Tapanuli, yang bertahan hidup hanya dalam setitik kecil area hutan hujan di Sumatera Utara yang jauh kurang dari setengah ukuran luas Hong Kong—hanya sekitar 0,3% dari luas daratan Sumatera. Hanya ada sekitar 800 orangutan yang hidup, dan berstatus kritis terancam punah—tinggal selangkah lagi dari kepunahan.

Baru-baru ini saya memimpin analisis ilmiah mendalam tentang status konservasi dan ancaman terhadap orangutan Tapanuli, yang diterbitkan di salah satu jurnal ilmiah terkemuka dunia. Di antara temuan terpenting kami adalah ketika jalan baru muncul, sedangkan kera menghilang.

Hal ini karena ancaman serius terhadap kera—seperti pembalakan liar, pembukaan lahan dan perburuan satwa liar—makin bertambah dan makin parah—menyebar dan meluas di sepanjang jalan.

 

Kawasan hutan Batang Toru yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi ini harus dijaga agar tidak rusak. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan jalan seperti itu membawa dampak gangguan yang mengancam ekosistem hutan, dan membahayakan banyak spesies langka lain di wilayah ini, seperti satwa terancam punah, harimau Sumatera.

Jika bendungan pembangkit tenaga listrik berjalan sesuai rencana, secara permanen akan memecah kera tersisa menjadi populasi kecil yang tak dapat hidup, karena dipisahkan jaringan jalanan baru, jaringan listrik dan pipa besar dan pekerjaan tanah yang akan memotong ke jantung habitat mereka. Pembukaan hutan hujan awal untuk proyek ini sudah dimulai. Dalam istilah sederhana, ini kiamat ekologis bagi salah satu kerabat terdekat kita ini.

Yang penting lagi, pemberi pinjaman utama lain seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia menolak mendukung proyek ini—karena risiko kerusakan lingkungan yang diakibatkan—tetapi itu tak memperlambat pengembang China bergerak agresif.

Belt & Road sejauh ini merupakan longsoran terbesar proyek pembangunan dalam sejarah bumi. Ini terdiri dari sekitar 7.000 proyek infrastruktur dan industri ekstraktif yang akan menelan biaya hampir $8 triliun dan menjangkau sebagian besar planet ini. Menurut WWF-Hong Kong, ini akan membahayakan beberapa area paling kaya secara biologis di planet ini—ratusan spesies terancam dan hampir 2.000 area keragaman hayati utama, titik biodiversitas global, dan ekosistem penting lain.

Sebagai salah satu spesies kerabat terdekat kita, orangutan Tapanuli ditempatkan sebagai risiko kerusakan lingkungan Belt & Road. Penelitian kami dan penelitian lain menunjukkan,  tidak diragukan lagi betapa berbahayanya Belt & Road bagi ribuan spesies liar seperti kera dan lingkungan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Juga mendorong banyak risiko sosial, keuangan, ekonomi, dan politik lain bagi negara-negara tuan rumah.

Proyek PLTA Batang Toru sebagai bentuk uji coba dari Belt & Road Initiative. Karena jika China dan mitranya di Indonesia terus maju dengan proyek ini, terlepas dari semua bukti ilmiah bahwa itu adalah ide buruk, lalu bagaimana kita bisa percaya apapun tentang janji-janji China tentang Belt & Road yang “berkelanjutan” itu?

 

Kutipan:

Sean Sloan, Jatna Supriatna, Mason J. Campbell, Mohammed Alamgir, and William F. Laurance. Newly discovered orangutan species requires urgent habitat protection. Current Biology 28, R635–R655, June 4, 2018

 

Penulis: William Laurance adalah Profesor penelitian terhormat dan Australian Laureate di James Cook University, Australia, yang telah mempelajari proyek-proyek infrastruktur di seluruh dunia selama hampir 40 tahun. Beliau dan 24 ilmuwan terkemuka lain baru-baru ini menulis surat kepada Presiden Indonesia Joko Widodo untuk menyatakan penolakan mereka terhadap proyek bendungan Batang Toru. Laurance ada di jajaran Dewan Penasihat Mongabay. Artikel ini  merupakan sepenuhnya pandangan penulis.

Tulisan ini diterjemahkan Akita Arum Verselita. Versi berbahasa Inggris bisa buka di Mongabay.com

 

Keterangan foto utama:  Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Maxime Aliaga/Batangtoru.org

Apakah ini kesempatan hidup terakhir untuk spesies kerabat terdekat kita? Foto: SOCP

 

Exit mobile version