Mongabay.co.id

Menanti Peta Wilayah Adat Masuk Kebijakan Satu Peta

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 9 Agustus sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Ia bentuk perhatian penuh terhadap keberadaan masyarakat adat. Sayangnya, kondisi masyarakat masih dalam ketidakpastian, seperti di Indonesia. Hak-hak masyarakat adat masih belum sepenuhnya terpenuhi meskipun pemerintah sudah menyatakan komitmen memberikan pengakuan dan perlindungan. Antara lain soal pengakuan hak wilayah, padahal masyarakat adat sudah membantu kerja-kerja pemerintah dengan menyediakan peta partisipatif tetapi tindaklanjut terbilang lamban.  Bahkan, hingga kini, peta wilayah adat, belum masuk dalam peta tematik di Kebijakan Satu Peta, yang rencana rilis tak lama lagi.

Baca juga: Cerita Orang Marena Berjuang Peroleh Hak Kelola Hutan

Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, hingga kini, peta tematik belum masuk dalam kebijakan satu peta pemerintah. Padahal, katanya, masyarakat adat sudah membantu kerja pemerintah dengan membuat peta partisipatif. Pemerintah tinggal menyelesaikan kerja-kerja itu.

“Sebenarnya 75% pekerjaan pemerintah kami sudah lakukan, seperti memetakan wilayah adat,” katanya di Jakarta, Kamis (9/8/18).

Soal peta wilayah adat,  katanya, AMAN telah menyampaikan kepada pemerintah sekitar 9,65 Juta hektar, terdiri dari 785 wilayah adat dari 18 provinsi di 33 kabupaten. Dari jumlah itu, ada 7,12 juta hektar (76%) dalam kawasan hutan dan 2,17 juta hektar (23%) di alokasi penggunaan lain serta 44.000 hektar (1%) di perairan.

AMAN mencatat, dari luasan 9,65 juta hektar wilayah adat yang sudah terpetakan, terdapat 5,95 juta hektar (62%) tanpa perizinan (clear and clean), 3,69 juta hektar (38%) terbebani perizinan. Selain itu, perizinan pun tumpang tindih satu sama lain dan bersifat sektoral.

Dari sisi kebijakan, AMAN juga mencatat, terdapat 1,61 juta hektar (25%) dari 51 wilayah adat ditetapkan berdasarkan produk hukum daerah (perda penetapan), 2,43 juta hektar (12%) dari 181 wilayah adat telah diatur berdasarkan produk hukum daerah (perda pengaturan). Sedangkan 6,06 juta hektar (63%) dari 553 wilayah adat belum memiliki produk hukum daerah (belum ada pengakuan).

 

 

Perlindungan lahan masyarakat adat, katanya, begitu penting guna memberikan kepastian hidup. Kajian AMAN pada enam wilayah adat mencatat, nilai ekonomi di wilayah-wilayah itu memberikan kontribusi sangat besar bagi pendapatan negara (APBN dan APBD).

Belum lagi masyarakat adat juga terbukti bisa menjaga hutan-hutan mereka dengan kearifan lokal. Di hutan itulah tempat gantungan hidup mereka.

“Dari studi kami awal bulan ini, seluruh wilayah adat di Indonesia bisa menyumbang 30% komitmen tekan emisi pemerintah Indonesia. Ini semua harus dilindungi.”

Dia bilang, sumbangan hutan adat sebagai penyimpan emisi akan bertambah kala upaya-upaya rehabilitasi wilayah adat, didukung dan dilindungi pemerintah.

AMAN, kata Rukka, mencatat potensi karbon pada 9,65 juta hektar wilayah adat 5,44 miliar ton per hektar terdiri dari: 3,99 miliar ton per hektar karbon dalam tanah, 1,18 miliar ton per hektar karbon tegakan dan 266,07 juta ton per hektar karbon perakaran.

Di wilayah-wilayah adat, ada sekitar 2,9 juta hektar hutan primer dan 2,7 juta hektar hutan sekunder serta 3,4 juta hektar di luar kawasan hutan. Hutan-hutan ini, katanya, dikelola  dengan baik.

Selain itu, wilayah adat pun telah mengalami penggundulan dan terdegradasi untuk berbagai keperluan.

AMAN mencatat, wilayah adat mengalami penggundulan 14.000 hektar di Bali-Nusa Tenggara, 293.000 hektar di Kalimantan, 1.800 hektar di Kepulauan Maluku, 49.000 di Sulawesi, 292.000 di Sumatera, 40.000 di Papua dan 185 hektar di Jawa.

Data AMAN, wilayah adat yang mengalami degradasi 2.000 hektar di Bali-Nusa Tenggara, 124.000 hektar Kalimantan, 26.000 hektar di Kepulauan Maluku, 104.000 hektar Papua, 96.000 hektar di Sulawesi, dan 1.600 hektar Sumatera.

“Proses rehabilitasi wilayah adat tak sebatas menanam pohon, tetapi rehabilitasi fisik tanah rusak karena tambang dan perkebunan sawit,” katanya.

Sumbangan positif lain masyarakat adat, katanya, dalam bidang pendidikan. Bagi masyarakat adat, katanya, belajar tak hanya di sekolah-sekolah formal, melainkan dari kehidupan nyata. Saat ini, AMAN memiliki 33 sekolah adat yang di nusantara.

 

Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena , di hutan adat Marena yang masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Satu peta rakyat Indonesia

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat mengatakan, masyarakat adat bersama organisasi masyarakat sipil lebih 20 tahun mengerjakan peta wilayah adat. Peta-peta wilayah adat ini kemudian dikompilasi dalam portal “Satu Peta Rakyat Indonesia”.

“Saat ini, sudah mencapai 9,6 juta hektar. Dari 9,6 juta hektar, sudah 1,2 juta hektar atau 51 perta sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah melalui perda atau SK Bupati,” katanya.

Dalam konteks kebijakan satu peta, katanya, sudah memenuhi syarat untuk terintegrasi dalamnya. “Mudah-mudahan sebelum launching One Map Policy, peta-peta wilayah adat sudah masuk ke dalam kebijakan satu peta,” katanya.

Selain peta-peta wilayah adat, katanya, portal ini juga ada peta desa 11 juta hektar.

“Jadi sudah melampaui angka dua digit peta-peta yang diproduksi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Saya rasa ini sumbangsih besar dari masyarakat adat untuk pemerintah, untuk negara Indonesia.”

Di dalam peta ini, katanya, BRWA mengintegrasikan dengan peta-peta tematik lain. “Peta-peta kawasan hutan yang kami ambil langsung dari portalnya. Ditarik dari sistem, jadi bisa langsung overlay dengan peta wilayah adat. Klta bisa melihat bagaimana situasi tenurial wilayah adat di indoensia.”

Setelah overlay wilayah adat dengan tutupan kawasan hutan, katanya, ada 5,7 juta hektar potensi hutan adat di kawasan hutan. “Ini yang kami usulkan dicadangkan.  Semoga ada satu keputusan dari KLHK untuk mencadangkan ini sebagai potensi hutan adat sebelum proses-proses kebijakan daerah disiapkan,” katanya.

Dalam portal ini,  mereka juga mengintegrasikan data izin-izin hak guna usaha (HGU). Dalam peta ini,  BRWA juga mencatat sebaran konflik di wilayah adat.

“Sebanyak 40 kasus dicatat dalam Inkuiri Nasional oleh Komnas HAM sudah kami masukan ke dalam peta ini. Jadi bisa menavigasi sebenarnya sudah sejauh mana capaian penyelesaian konflik ini.”

Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK mengatakan, soal peta BRWA dan berbagai organisasi masyarakat sipil sudah pemerintah tindaklanjuti.

Aferi S Fuadil, Direktur Penataan Administrasi dan Tata Batas Desa Kemendagri mengatakan, berkomitmen menyelesaikan peta wilayah adat. Beberapa kabupaten, katanya, sudah berkomitmen menyelesaikan peta wilayah adat seperti Jayapura, Sorong dan Sintang.

“Untuk mempercepat penanganan masyarakat adat, harus mulai dari kabupaten. Bukan provinsi, dan pusat. Karena tanpa ada UU, kalau kabupaten kota respon, itu bisa berjalan,” katanya seraya bilang kecuali hutan adat, kewenangan di bawah KLHK.

Kemendagri, katanya mendorong pemerintah daerah segera percepatan memberikan penghormatan dan pengakuan dalam organisasi kehidupan masyarakat adat.

“Kami sebagai wali data peta wilayah adat, kami teruskan secepatnya.”

 

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Masih sepotong-sepotong

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM mengatakan, pemerintah memang sudah mulai menunjukkan perhatian terhadap masyarakat adat tetapi pengakuan masih sepotong-sepotong.

“Pemerintah sudah mulai mengakui. Meskipun Kementerian Luar Negeri kalau di acara PBB masih tetap menghindari.”

Pemerintah, katanya, sudah beritikad baik mulai mengakui dan menghormati masyarakat adat tetapi persoalan masih begitu banyak. “Begitu luas wilayah adat, begitu sedikit yang diakui. Begitu sedikit masyarakat adat diakui dan dihormati,” katanya.

Rukka bilang, guna mengatasi berbagai masalah masyarakat adat, UU khusus sangat perlu. Saat ini, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU Masyarakat Adat), sedang dibahas DPR dan pemerintah.

“Kita memberikan apresiasi tinggi kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo selama kepemimpinan hampir empat tahun terakhir upaya merealisasikan pengakuan hutan adat,” katanya.

Beberapa bulan lalu, Presiden telah mengeluarkan surat Presiden menunjuk Kementerian Dalam Negeri sebagai koordinator pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama DPR. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Desa dan PDT, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai anggota dari pemerintah. “Kita patut menyambut baik perkembangan ini sementara terus mengawal proses agar segera terealisasi.”

Bambang bilang, pemerintah menyadari masyarakat adat perlu pengakuan dan perlindungan dan pemerintah sedang proses ini. “Menteri sebenarnya sudah luar biasa, membentuk tim percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” kata Bambang.

Soal RUU Masyarakat Adat, kata Aferi, pada 16 Agustus ini mulai pembahasan rapat di DPR. Sebelumnya,  akan ada pertemuan dengan mengundang Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memberikan muatan sesuai dengan tugas dan fungsi sebelum membahas bersama DPR.

 

Keterangan foto utama: Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version