Mongabay.co.id

Rumah bagi Orang Rimba, Benarkah Solusi? (Bagian 1)

Orang Rimba di Air Hitam akan mendapatkan rumah dari program kawasan terpadu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Seratusan orang Rimbang dari berbagai ketumenggungan berkumpul di Desa Lubuk Jering, Kecamatan Air Hitam, akhir Juli lalu. Mereka menunggu tamu jauh dari Sumatera Selatan, yang mengaku saudaranya.

Tamu jauh orang Rimba itu adalah Mayor Jendral TNI Anto Mukti Putranto, jenedral bintang dua yang baru dilantik jadi Komandan Kodiklat TNI. Ini bukan kali pertama dia datang ke pemukiman orang Rimba. Sewaktu menjabat Pangdam II/Sriwijaya Putranto, sudah bolak-balik ke Air Hitam bersama Bupati Sarolangun, Cek Endra.

Baca juga:  Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI

Putranto datang bersama rombongan Pangdam II/Sriwijaya, Damrem 042/Gapu, dan ditemani Plt Gubernur Jambi, Fachrori, Cek Endra. Agenda Selasa siang itu tak lain untuk melihat pembangunan kawasan terpadu yang dimulai sejak 26 April. Putranto ingin pembangunan dipercepat. 75 prajurit TNI ikut dikerahkan membantu.

“Kami di sini sebatas membantu sebagai saudara, senasib seperjuangan,” katanya, saat peletakan batu pertama April lalu.

Pembangunan kawasan terpadu ini berawal dari cerita tiga tahun lalu saat kematian beruntun, 11 orang Rimba dalam waktu dua bulan. Kebanyakan balita. Kelompok Trap dan Serenggam dikabarkan  krisis pangan karena ruang hidup menyempit. Kelompok ini lantas melangun hingga ke Sungai Kemang, setelah tujuh kali pindah tempat.

Kabar kematian beruntun sontak membuat geger. Pemerintah sibuk. Pertengahan Maret 2015, beberapa hari setelah berita kematian orang Rimba,  heboh di Media, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa,  menempuh perjalanan tiga jam dari Kota Jambi menuju belantara Rimba.

Baca juga: Akhir Konflik dengan Wana Perintis, Orang Rimba Bisa Kelola Lahan

Melewati jalan tanah berbatu,  membelah rimbun batang sawit dan berhenti di hutan Sungai Kemang, Desa Olak Besar, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari. Jumat sore itu,  Tumenggung Nyenong, Tumenggung Maritua, dan Tumengung Ngamal,  telah menunggu.

 

Model rumah orang Rimba di Kawasan Terpadu. Foto: Korem Gapu 042

 

Mengenakan jilbab merah, senada dengan warna baju batik, Khofifah duduk melantai di tikar, mendengarkan Tumenggung Nyenong,  mulai cerita. Katanya, mencari makan di hutan makin sulit, tetapi hidup di luar juga bukan pilihan.

Kelompok Tumenggung Ngamal mengaku perlu lahan perkebunan. Tumenggung Maritua, minta 114 hektar kebun sawit milik Wana Perintis diserahkan pada orang Rimba. Dulu, lahan itu punya tanah nenek moyang mereka.

Khofifah lantas telepon Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Saya sudah telepon Menteri Kehutanan untuk membantu, ibu menteri setuju,” katanya.

Mensos menyerahkan bantuan sembako, kaos, kopi, teh, gula, garam, senter dan rokok 15 slop. Orang Rimba suka merokok.

Belakangan, kabar kematian beruntun karena krisis pangan dibantah. Mijak Tampung, orang Rimba di Makekal Ulu bilang, kematian orang Rimba,  bukan karena kelaparan, melainkan sumber air tercemar. Budaya melangun (nomaden) membuat orang Rimba hidup bergantung dengan alam.

Celakanya, sumber air sungai sekitaran konsesi perkebunan sawit tercemar pupuk dan pestisida. Krisis air bersih. Serangan diare menjangkiti kelompok orang Rimba.

“Konsumsi air kotor lalu meninggal, lebih banyak lagi kena muntaber,” katanya.

Ruang hidup orang Rimba tergusur oleh proyek pembangunan dan industri perkebunan adalah kenyataan.

 

Mayjen TNI AM Putranto dan Bupati Sarolangun saat acara pelatakan batu pertama kawasan terpadu di Air Hitam. Foto: Wahid

 

***

Alam telah berubah. Pemerintah ingin orang Rimba menyesuaikan dengan perubahan. Putranto berpikir, membangun kawasan terpadu adalah pilihan paling ideal untuk membuat orang Rimba,  hidup lebih layak. Beberapa keturunan orang Rimba dan Suku Anak Dalam juga direkrut jadi prajurit TNI. Ini cara sang jenderal memutus budaya nomaden.

“Ini sudah 72 tahun merdeka, kami ada di sini, sementara bapak-bapak, ibu-ibu masih beratapkan plastik, masih hidup berpindah-pindah, cari makan hasil buruan. Yang lain sudah maju, keturunan kita ini (orang Rimba) tidak maju-maju, kenapa?”  katanya.

“Karena tidak mendapat pendidikan layak, perawatan kesehatan baik, hingga angka kematian sangat tinggi dari lima lahir, tiga tak bertahan hidup,” kata Putranto.

Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) mencatat, di Kabupaten Sarolangun,  terdapat tujuh ketemenggungan orang Rimba: Grip, Nangkus, Aprizal, Bepayung, Bebayang, Meladang, dan Nyurau. Sebagian mereka tinggal di luar TNBD dan menetap di perumahan bantuan pemerintah.

Akhir Oktober 2015, beberapa hari setelah bencana kabut asap, Presiden Joko Widodo,  bersama rombongan menteri dan pejabat pPemerintah Jambi, termasuk Cek Endra, datang ke lokasi pemukiman orang Rimba di perkebunan sawit PT Sari Aditya Lestasri di Air Hitam.

Di sana, Jokowi bertemu Meriau, Genap, Nyerak, dan Ngelawang. Jokowi menawarkan,  program perumahan, dan mereka setuju. Foto pertemuan dengan empat orang Rimba yang pakai cawat kala itu sempat viral dan jadi pergunjingan. Sebagian orang menganggap foto itu hanya setingan untuk pencitraan Jokowi.

Rombongan kemudian menuju lokasi 22 rumah orang Rimba di Dusun Margo Rahayu, Bukit Suban,  yang dibangun lewat program kementerian sosial pada 2013. Tempatnya tak jauh dari lokasi transmigrasi. Presiden bertemu Tumenggung Tarib, Tumenggung Grip, Prabung, dan Bejalo. Seperti kebiasaan Jokowi setiap kunjungan, dia membagikan paket bantuan sembako dan Kartu Indonesia Sehat.

Tak lama sepulang Jokowi dari Sarolangun, Cek Endra kembali mengusulkan untuk merumahkan orang Rimba di Air Hitam. Putranto yang sempat diajak safari ke Air Hitam  awal 2018, kepincut ikut membangun kawasan terpadu. Dia mengaku telah melapor presiden, kasat, dan panglima TNI, perihal kehidupan orang Rimba.Ketiganya mendukung. Sejak itu,  Putranto sering bolak-balik ke Sarolangun.

 

Mayjen TNI AM Putranto didampingi Pangdam Sriwijaya, Plt Gubernur Jambi, dan Bupati Sarolangun, forkopimda Sarolangun foto bersama tumenggung dan orang rimba di kawasan terpadu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Cek Endra mengatakan,  jika tujuan program kawasan terpadu ini murni membantu para sanak—panggilan bagi orang Rimba.

“Ini muncul dari hati tulus, jadi jangan disalahartikan.” Suara terdengar sedikit lirih.

Dia ingin rencana ini didukung semua tumenggung. “Anak yang dititipkan, kami yang mendidik, kami yang mengurus makan dan minum. Kami yang mengajarkan itu.”

Dia mencontohkan Budi, orang Rimba Bukit Duabelas jadi tentara. Anak keempat Tumenggung Bebayang dan Bebedah itu lulus pendidikan militer di Ridam II/Sriwijaya pada 2016. Dan jadi anggota Batalyon Infantri 142/Kesatria Jaya, Kota Jambi.

Pemda Sarolangun menyiapkan lahan 10 hektar di Desa Lubuk Jering, Kecamatan Air Hitam. Lahan itu untuk kawasan terpadu. Di sana akan dibangun pemukiman, pusat pelatihan, pusat pendidikan dan kesehatan khusus untuk orang Rimba.

Di kawasan terpadu, orang Rimba akan diajarkan bercocok tanam, beternak, hingga berdagang. Mula-mula jual kalung sebalik sumpah, ambung dan lain-lain yang jadi ciri budaya orang Rimba, sebagai suvenir untuk orang luar.

Cek Endra mengaku, sedang berupaya agar Tanaman Nasional Bukit Duabelas bisa untuk lahan pertanian orang Rimba, termasuk membangun jalan setapak menuju rumah para tumenggung.

Pemerintah Sarolangun akan menggandeng TNI dengan anggaran TMMD untuk biaya.

Kementerian Pekerjaan Umum juga kebagian jatah membangun 64 rumah panggung dari kayu. Rumah tumenggung akan dibangun tiga kamar, satu ruang tamu, dan kamar mandi terpisah. Rumah masyarakat  rimba punya dua kamar dan satu kamar mandi.

Pembangunan rumah dibagi dalam lima blok, setiap blok dipisah jalan yang jadi pembatas masing-masing kelompok temenggung. Di setiap blok juga ada kolam ikan.

Pemerintah Sarolangun, mengalirkan dana Rp2 miliar dari APBDP 2017 untuk pembangunan awal kawasan terpadu.  Hingga tahap akhir,  diperkirakan perlu biaya Rp17 miliar lebih, di luar pembangunan rumah.

Rinciannya, pembangunan jalan awal menuju kawasan terpadu Rp800 juta, musala Rp400 juta, sekolah  Rp2,3 miliar, kantor pengelola dan puskesmas Rp500 juta. Lalu, toko penjualan suvenir Rp162 juta, jalan Rp8 miliar, dan pendopo Rp 360 juta—sumbangan Pangdam. Ditambah pengadaan listrik Rp 5,2 miliar.

Untuk tahap awal,  listrik di kawasan terpadu pakai pembangkit listrik tenaga surya. Pembangunan kawasan terpadu target selesai akhir tahun.

 

Warga Suku Anak Dalam mulia budidaya jernang. Dulu, jernang mudah ambil di hutan, kini sudah sulit hingga mereka membudidayakan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Wajah Depati Beratai samasekali tak menunjukkan aura bahagia. Dia hanya diam menyimak, saat para tumenggung orang Rimba kegirangan akan mendapatkan rumah.

Tumenggung Tarib tampak sumringah bertemu Putranto. Dia tokoh disegani di kalangan orang Rimba. Di istana negara, nama Tumenggung Tarib beberapa kali disebut. Pria paruh baya itu pernah menerima Kehati Award semasa Presiden Megawati dan Kalpataru oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2006.

Tarib dan kelompoknya dianggap berhasil menjaga kelestarian ragam puspa sari di TNBD dan sekitar.

Dia ingin pemerintah sabar mendidik orang Rimba. “Kami sangat terima kasih, tolong sabar, mendidik kami tidak bisa sekali jalan, harus sabar,” katanya terbata-bata.

“Bantuan bapak ini (rumah), kami tidak bisa membalasanya. Seperti dapat duit satu mobil, belum ada apa-apanya Pak.”

Tumenggung Tarib menangis.

Suasan sontak jadi bisu. Ratusan pasang mata memandang ke arah laki-laki berbaju gamis dan peci putih yang menangis sembari memeluk Putranto itu.

“Doakan kami semua sehat, kami tulus membantu bapak bersama Pak Bupati. Kami juga perpanjangan tangan pusat, bapak Presiden Joko Widodo,” kata Putranto, sembari  mengusap-usap punggung Tarib.

Kedatangan Putranto akhir April itu diharapkan bisa mengubah kehidupan orang Rimba lebih layak. Tarib bilang, semua tumenggung sepakat patuh pada rajo (pemerintah).

“Kami ini sebenarnya patuh pado rajo, jadi apo kato rajo kami jelas menurut, kareno kami ini tidak tahu mana yang salah yang benar, basing baelah,” katanya.

Depati Meratai hanya diam menyimak, bicara. Dia dan kelompoknya menolak dirumahkan. Meratai adalah bagian Tumenggung Grip, justru sudah tinggal di perumahan bantuan Kemensos di Bukit Suban.

Sebagai pemimpin kelompok di hutan, Meratai merasa harus menjaga sumpah. “Sebagai pemimpin adat ada sumpahnyo, kalau kito sio-siokan hutan kito sio-siokan adat, kito dimakan sumpah,” katanya.

Meratai cerita, jika orangtuanya dahulu adalah seorang tuo tenggani—seorang yang dituakan dan jadi sumber adat orang Rimba. Dia merasa punya tanggung jawab menjaga budaya orang Rimba.

“Jadi kito tugaikan (lakukan) itu, mako kito tidak biso berubah.”

“Kalau melanggar, hidup kito tidak sempurno, kita tidak lagi dipercaya Tuhan,” kata Meratai.

Dia ingin, kelompoknya tetap memegang adat dengan hidup di hutan. Namun, dia membebaskan anak-anak sekolah.

“Anak maju, tapi kalao bapak bepegang adat lamo!”

“Kalao pemerintah ingin bantu kito, buat jalan setapak menuju pondok kito, itu bae,” katanya.

“Hutan masih luas, hewan buruan masih banyak. Kito tak mau rumah.”

Selama ini,  kelompok Meratai tinggal dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka berburu, dan bercocok tanam: ubi, tebu, pisang, keladi, dan umbi-umbian. Mereka juga punya kebun karet di TNBD. Dia mengaku masih bisa hidup enak. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama: Orang Rimba di Air Hitam akan mendapatkan rumah dari program kawasan terpadu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Bupati Sarolangun dan Mayjen TNI AM Putranto berdiskusi soal rencana pemasangan listrik di kawasan terpadu. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version