Mongabay.co.id

Perseteruan Manusia dengan Gajah Sudah Saatnya Dihentikan

 

Aceh merupakan provinsi yang memiliki populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).   Diperkirakan, jumlah mamalia besar ini sekitar 500 individu yang tersebar luas di sejumlah wilayahnya, kecuali di Kota Banda Aceh, Kota Sabang, dan Simeulu.

Namun, konflik manusia dengan gajah kerap terjadi di provinsi paling barat Indonesia ini. Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menunjukkan, pada 2016 terjadi sekitar 46 konflik. Jumlah ini meningkat pada 2017 menjadi 103 kasus. Sementara dari Januari – Juli 2018, konflik sudah terjadi 47 kali.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, konflik manusia dengan gajah tidak akan berhenti bila habitat gajah terus dirusak untuk berbagai kepentingan. Termasuk, untuk perkebunan.   Selain itu, di sekitar habitat dan jalur lintasan gajah banyak dikembangkan juga tanaman yang disukai gajah, seperti sawit, pinang, karet, padi, dan jagung.

“Jika tanaman-tanaman yang disukai gajah terus diperluas, konflik akan terus terjadi,” jelasnya.

Baca: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

 

Gajah sumatera yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dahulunya, mamalia besar ini begitu dihormati. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sapto mengatakan, kebiasaan masyarakat untuk menanam tanaman yang disukai gajah harus diubah. Memang butuh waktu, tapi tetap harus dilakukan untuk mengakhiri cerita pahit ini.

Cara lain adalah memanfaatkan ruang yang benar-benar memperhatikan daya jelajah gajah. Kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan, ketika ada interaksi antara manusia dengan gajah, manusia harus memahami bahwa gajah punya hak hidup di wilayah tersebut.

“Masyarakat dan semua pihak tidak lagi menganggap gajah itu sebagai musuh atau hama. Ini hal penting, sehingga manusia bisa menyesuaikan diri untuk tidak melulu berseteru,” terangnya.

Saat ini, BKSDA Aceh bersama berbagai pihak termasuk lembaga mitra, terus bekerja mengakhiri pertikaian gajah dengan masyarakat. Kegiatan yang telah dilakukan adalah membangun barier atau parit, serta pemantauan jalur pergerakan gajah liar menggunakan global positioning system atau GPS.

“Dengan GPS kita akan tahu di mana sebenarnya habitat gajah dan daerah-daerah yang dilaluinya. Dengan begitu, saat penataan ruang, kita akan sesuaikan peruntukannya,” terang Sapto baru-baru ini.

Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Anak gajah yang lahir di CRU Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur CRU Aceh, Wahdi Azmi yang juga anggota   Asian Elephant Specialist Group (AsESG) menyebutkan, hutan Aceh merupakan rumah bagi gajah sumatera. Dibandingkan provinsi lain, Aceh merupakan daerah yang populasi gajahnya lebih banyak.   “Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, konflik manusia dengan gajah di Aceh masih tinggi,” ujarnya.

Menurut Wahdi, salah satu masalahnya adalah sebagian besar gajah tidak berada di hutan konservasi. Kawanan atau kelompok-kelompok gajah umumnya berada di hutan lindung, hutan produksi, dan hutan areal penggunaan lain. Hutan lindung, hutan produksi, dan areal penggunaan lain ini mandatnya di bawah pengelolaan pemerintah daerah.

“Misalnya, BKSDA menangani spesies, tapi habitatnya berada di bawah pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Namun, kawasan yang dibawah KPH ini tidak dikelola untuk konservasi gajah sehingga wilayah ini belum dikelola secara aktif,” ungkapnya.

Baca: Foto: Kisah Sedih Gajah Sumatera yang Berujung Kematian

 

Pergelangan kaki anak gajah ini nyaris putus akibat jerat yang dipasang pemburu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekarang, yang harus dilakukan adalah bagaimana semua pihak menjaga habitat gajah tidak rusak. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus bekerja sama. Misalnya, sebut Wahdi, Pemerintah Aceh yang ingin terlibat dalam konservasi gajah harus diberikan ruang oleh pemerintah pusat. Selanjutnya, pemerintah pusat yang memilik mandat untuk menjaga spesies itu harus menjalankannya.

“Untuk daerah-daerah yang masih memiliki populasi gajah, pendapatan masyarakat sebenarnya tidak hanya dapat dihasilkan dari perkebunan atau pertanian. Ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan dengan membangun ekowisata gajah,” jelasnya.

Menurut Wahdi, beberapa negara di Afrika dan Asia yang masih memiliki gajah liar, telah mempraktikkannya. Masyarakat memfasilitasi wisatawan untuk melihat kawanan gajah liar.

“Ini adalah bagaimana menyesuaikan pola hidup masyarakat di sekitar habitat gajah dengan gajah itu sendiri. Harus ada hubungan baik, bukan bermusuhan,” terangnya.

 

 

Anak gajah liar yang mati di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Metode penanganan konflik

Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP) bersama Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan masyarakat desa penyangga TNWK, telah mengembangkan delapan metode penanganan potensi konflik manusia dengan gajah di lanskap TNWK.

Metode ini meliputi pagar sirine dan kaleng, kanal dan tanggul sungai, drum putar, pagar kawat, pagar sarang lebah, pagar dan bom cabe, hingga penjagaan masyarakat dan menara jaga.

“Penjagaan oleh masyarakat dinilai paling efektif. Namun, penggunaan metode tidak bisa bergantung pada satu cara saja. Perlu ada kombinasi dengan metode lain,” ujar Way Kambas Lanscape Coordinator WCS-IP Sugiyo, di Lampung Timur beberapa waktu lalu.

Baca: Ketika Konflik Gajah Tidak Lagi Merugikan Warga Braja Harjosari

 

Palice (4,5) anak gajah sumatera yang hidup di SM Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi

 

Kombinasi metode, menurut Giyo, berhasil menurunkan kerugian lahan pertanian masyarakat. Sebelum tahun 2003, kerugian masyarakat bisa mencapai 30 hektar per tahun. Berikutnya, antara 2003 – 2016 menjadi 10 hektar per tahun, dan pada 2017 hanya kurang 2 hektar. Kombinasi metode juga memperpendek waktu penjagaan.

Bila sebelumnya penjagaan bisa mencapai 20 jam sehari, kini berkisar 8 hingga 12 jam. “Penghalauan agar gajah tidak keluar dari kawasan hutan (54%), penggiringan gajah dari areal pertanian kembali ke kawasan hutan (36%), dan tidak memungkinkan untuk direspon sekitar 10%,” terangnya.

Baca juga: Di Lampung, Penangangan Konflik Gajah dengan Manusia Terus Dilakukan. Caranya?

 

Gajah sumatera di PLG Way Kambas, Lampung, bersama penjaganya. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Jumlah konflik juga menunjukkan tren menurun. Pada 2015 terjadi 437 konflik, tahun 2016 ada 203 konflik dan di 2017 hanya 74 konflik. Kendati demikian, tidak berarti ke depannya konflik bisa dihilangkan.

“Selagi ada manusia dan gajah, konflik manusia dengan gajah akan tetap terjadi. Sehingga, bagaimana kemampuan masyarakat menangani agar bisa menekan dampak yang diakibatkan menjadi tolok ukur keberhasilannya. Termasuk kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan konflik menjadi potensi, misalnya ekowisata atau lainnya,” katanya.

 

Infografis gajah sumatera. Sumber: WCS-IP

 

Giyo mengatakan, WCS-IP mulai menggeser upaya fasilitasi yang dilakukan. Bila selama ini lebih kepada memfasilitasi masyarakat agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman menangani konflik, kini masyarakat dan pemerintah desa didorong untuk membangun kemandirian.

“Fasilitasi yang dilakukan berupa penguatan kelembagaan dan pembuatan aturan. Kami juga ingin mengajak pemerintah daerah, kementerian, dan pihak swasta untuk berkontribusi dalam upaya penanganan konflik manusia dengan gajah. Selain lingkungan terjaga potensi desa dapat dikembangkan,” tandasnya.

Gajah sumatera   merupakan anak jenis gajah asia, satu dari dua spesies gajah di dunia. Beratnya bervariasi dari 3 ton hingga 5 ton per individu. Mamalia besar ini dapat tumbuh hingga tiga meter dari pundak ke kaki. Persebarannya, ada di hutan dataran rendah Sumatera.

 

 

Exit mobile version