Mongabay.co.id

Kelembagaan Nasional yang Kredibel,  Kunci Tata-Kelola Perubahan Iklim

Pada ranah nasional, Indonesia memiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui Kedeputian Bidang Maritim dan Sumber Daya Alam adalah aktor utama dalam mengkoordinasi dan memfasilitasi pengarusutamaan perubahan iklim melalui kebijakan dan penyiapan instrumen operasional. Aksi perubahan iklim membutuhkan beragam instrumen operasional.

Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyelenggaraan mitigasi, adaptasi, penurunan emisi gas rumah kaca, penurunan dan penghapusan bahan perusak ozon, mobilisasi sumber daya, inventarisasi gas rumah kaca, monitoring, pelaporan dan verifikasi perubahan iklim serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan merupakan peran dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui kerjasama dengan institusi teknis lainnya (menjalankan fungsi perumusan kebijakan dan koordinasi).

Pada ranah untuk membantu memperkuat kebijakan dan strategi, terdapat Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim (saat ini berubah menjadi Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim), yang dibentuk oleh SK Menteri KLHK, yang berperan sebagai mitra dari Ditjen PPI.

Terdapat Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim yang memimpin perundingan perubahan iklim pada tingkat internasional. Selain itu, Ditjen PPI KLHK bersama National Focal Point (NFP) yang ditunjuk oleh Menteri KLHK beberapa bulan lalu, untuk membantu memfasilitasi/menyiapkan posisi Indonesia (bersama Kemenlu). Terakhir, namun cukup penting yaitu Kementerian Dalam Negeri yang memastikan apa yang sudah disiapkan pada tingkat nasional dapat diimplementasikan pada tingkat sub-nasional

Pertanyaan kemudian, apakah komunikasi dan koordinasi di atas telah berjalan? bagaimana menciptakan komunikasi dan koordinasi dengan baik dan optimal agar strategi dan aksi perubahan iklim berjalan sesuai konteks pembangunan yang lintas keilmuan, bidang dan aktor? Karena faktanya kebijakan dan strategi yang muncul ke permukaan adalah kondisi yang menciptakan keterlambatan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.

***

baca :  Dampak Mengerikan Perubahan Iklim Tengah Melanda Bumi

 

Pembukaan hutan oleh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Indonesia dalam agenda global perubahan iklim melalui Nationally Determined Contributions (NDC) akan berlaku pasca 2020 sampai 2030. Namun implementasi pasca 2020 tidak lepas dari apa yang  berjalan hingga 2020. NDC merupakan  momentum bagi setiap sektor kunci untuk bekerja berlandaskan rencana yang terintegrasi dan terkoordinasi. Dari sisi kepentingan nasional,  dana yang terpakai sepatutnya dimanfaatkan untuk pembangunan rendah karbon dan memiliki ketahanan  yang baik, melalui pendekatan program yang mampu mewujudkan program yang efektif dan efisien.

Tantangannya terutama karena selama ini cara berpikir dan pendekatan sektoral menghasilkan produk kebijakan, program dan rencana aksi tidak berkelanjutan, berpotensi menyebabkan konflik kewenangan dan tumpang tindih program. Dalam situasi pembangunan yang dihadapkan dengan persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang jelas merupakan persoalan lintas sektor dan bidang, kondisi yang kental pendekatan sektoral semakin menjauhkan pembangunan  yang berkelanjutan.

Dalam perspektif perencana pembangunan saat ini, kejelasan terhadap arah kebijakan, strategi dan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang akan dilakukan berpengaruh terhadap hitungan ekonomi yang berkelanjutan. Beragam instrumen untuk membantu perencana telah dibangun, namun dibutuhkan suatu model untuk mensimulasikan pilihan mitigasi dan  adaptasi dan pengaruhnya kepada ekonomi, sosial dan lingkungan. Simulasi memainkan peran untuk mampu mengakomodir semua aspek dan dinamika agenda dan kebijakan publik lainnya yang berpengaruh terhadap kegagalan pencapaian target pertumbuhan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam diskursus, tidak sebatas memilih konsep dan metodologi dalam menetapkan pilihan prioritas aksi mitigasi dan menilai kerentanan dan risiko untuk menentukan opsi adaptasi, namun juga berpengaruh kepada pilihan dan investasi infrastruktur. Pilihan ini didalamnya terdapat dimensi biaya (cost) dan manfaat (benefit). Pendekatan ini akan sangat berpengaruh kepada hasil dari investasi adaptasi maupun mitigasi yang dipilih, apakah akan menghasilkan ketangguhan atau sebaliknya, yaitu menimbulkan dampak negatif  yang lebih besar.

baca juga :  Upaya Atasi Perubahan Iklim Mustahil Tanpa Sinergi

 

Area persawahan. Petani yang tergantung pada hasil pertanian amat terpengaruh pada dampak perubahan iklim yang terjadi. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Untuk mewujudkan kondisi ini, dibutuhkan kelembagaan yang kredibel dengan akuntabilitas yang sangat baik. Kehadirannya harus mampu menepis kentalnya ego-sektoral yang didasari oleh pola kerja yang dibatasi oleh tugas pokok dan fungsi unit yang ada pada setiap kementerian yang berefek pada tidak optimalnya fungsi komunikasi dan koordinasi yang sesungguhnya antar kementerian dan lembaga.

Situasi ini berakibat aktifitas ini dijejali oleh perspektif kepentingan beberapa sektor saja. Penyiapan instrumen sebagai jawaban terhadap kebutuhan enabling environment dibangun tanpa skenario utuh bagaimana aktor lainnya masuk sebagai komponen utama untuk menjalankan instrumen ini. Di sisi lain, dibentuknya lembaga yang sifatnya permanen dan ad-hoc tidak dirancang untuk berkolaborasi dan bergerak berdasar peta dan tujuan yang sama.

Dengan situasi ini, bagaimana pengarusutamaan perubahan iklim dapat dilakukan dan mengatasi tantangan tadi? Dalam agenda pengarusutamaan perubahan iklim, seringkali   terjebak dalam pola pikir linier, yang artinya bahwa apa yang dilakukan pada tingkat nasional haruslah sejalan dengan instrumen  global, melalui United Nations Framework on Climate Change (UNFCC).

Di sisi lain,  agenda  sub-nasional  diharuskan sejalan dengan kebijakan dan instrumen nasional. Pola pikir tersebut berpotensi dihadapkan dengan kendala,  proses yang berjalan pada internal birokrasi membutuhkan waktu,  agenda yang utuh dan konsisten. Disamping itu membutuhkan  pendanaan serta konsistensi politik pembangunan, baik dari Presiden maupun Menteri serta pimpinan daerah seperti Gubernur, Bupati/Walikota. Faktanya, hambatan adanya perubahan pilihan prioritas program baik pada tingkat nasional maupun sub-nasional seringkali menjadikan agenda perubahan iklim tidak dilaksanakan secara utuh.

menarik dibaca :  Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Kearifan Lokal. Seperti Apa?

 

Kawasan pemukiman dan pembangunan hotel menyebabkan alih fungsi lahan. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Lemahnya sinergitas antar sektor pada tingkat nasional turut mempengaruhi pola kerja dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam mewujudkan pembangunan yang menyeluruh,  efektif dan efisien akibat. Perencanaan yang tersistematis sulit diwujudkan. Bergantung pada bantuan yang sifatnya bilateral maupun multilateral dari lembaga pembangunan (donor) tentu tidak realistis, karena mereka umumnya diarahkan pada proyek atau aktifitas yang dapat dirasakan dalam jangka pendek. Namun kondisi ini dapat diatasi apabila skenario utuh dan menyeluruh dari pemerintah mampu menempatkan kegiatan pilot atau berjangka pendek sebagai modalitas untuk membangun dan menyusun serta memperkuat kebijakan dan strategi nasional.

Langkah selanjutnya adalah membangun kembali (rekonstruksi) sistematika kelembagaan perubahan iklim di Indonesia, untuk mewujudkan tata-kelola pemerintahan sebagai media untuk pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan terhadap ancaman perubahan iklim. Adanya pergeseran cara pandang yang melihat faktor penyebab dan akibat  perubahan iklim tidak lagi semata persoalan lingkungan hidup, namun lebih terkait dengan pilihan politik dan strategi pembangunan yang dijalankan selama ini. Akibatnya berpengaruh  pada stabilitas ekonomi global, makro negara, bahkan regional.

Integrasi strategi kebijakan dan teknis yang telah dan sedang dilakukan oleh berbagai sektor menjadi tujuan strategi jangka pendek. Proses ini menjadi bagian dalam pengembangan kerangka institusional dan proses politik, pengembangan struktur mekanisme pendanaannya dan pertukaran informasi antar para pemangku kepentingan.

Oleh sebab itu beberapa langkah taktis dan operasional yang musti disiapkan adalah; mekanisme kerja yang jelas, detail serta  prioritas dan capaian kerja yang terukur. Kejelasan dimaknai oleh hasil sikap yang disepakati secara konsisten oleh instansi atau sektor yang dikomandani oleh Presiden secara langsung, mengingat persoalan dan tantangan perubahan iklim tersebar kepada berbagai kementerian yang juga berada dibawah dua kementerian koordinator saat ini.

Dalam tugas kesehariannya, Presiden menegaskan kembali tugas dan peran yang telah diberikan kepada beragam aktor kunci dalam perubahan iklim untuk berjalan di atas koridor masing-masing namun dengan tetap menjaga integrasi program dan memastikan berjalannya sistem dan kelembagaan perubahan iklim yang kredibel, dengan akuntabilitas yang baik.

Presiden harus dapat menerima laporan terkait capaian dan evaluasi perubahan iklim minimal 6 bulan sekali. Kerangka ini dibangun untuk memastikan komitmen Indonesia melalui komando Presiden mengenai komitmen Paris Agreement, yang sangat berkontribusi terhadap capaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).

***

*Ari Mochamad, Pekerja isu/agenda adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, saat ini bekerja di Proyek Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version