Mongabay.co.id

Nelayan di Sekitar Lokasi Pengeboran Minyak Lepas Pantai Terancam?

Keselamatan nelayan saat beraktivitas di laut harus tetap menjadi pertimbangan utama bagi siapapun. Termasuk, bagi nelayan itu sendiri dan juga Pemerintah Indonesia yang menjadi pemegang regulasi sekaligus pelindung nelayan secara utuh. Faktor keselamatan, juga berlaku bagi nelayan yang biasa menangkap di sekitar rig/platform minyak dan gas.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan pekan lalu mengatakan, aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan tradisional dari waktu ke waktu terus meningkat frekuensinya. Di beberapa lokasi tangkap yang terdapat fasilitas rig, nelayan sering kali melakukan penangkapan ikan dengan leluasa. Kondisi itu, padahal sangat membahayakan keselamatan mereka.

Beberapa lokasi sekitar rig/platform yang masih ditemukan nelayan mencari ikan, bisa dijumpai di perairan Anambas (Provinsi Kepulauan Riau), sekitar Pantai Utara Jawa, dan pulau Madura. Di sekitar wilayah perairan tersebut, keselamatan nelayan terancam, karena bisa terjadi kecelakaan kerja kapan saja.

“Oleh karena itu, pemerintah dan stakeholder terkait perlu melakukan aksi dan program bersama untuk memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan di sekitar rig,” ungkapnya di Jakarta.

baca : Indonesia Berkomitmen Melindungi Hak Asasi Manusia Nelayan. Seperti Apa?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Abdi menjelaskan, perlunya dilakukan berbagai upaya, karena nelayan mutlak memerlukan perlindungan keselamatan mereka. Caranya dengan memberikan mitigasi dan perlindungan kepada nelayan dalam beraktivitas di laut. Kemudian, menjaga agar obyek vital nasional yang bersifat strategi di laut dapat terjaga operasionalisasinya.

“Saat ini, terdapat indikasi meningkatnya aktvitas nelayan tradisional dalam melakukan aktivitas disekitar ring dengan perimeter yang melanggar ketentuan,” sebutnya.

Dari studi kasus yang dilakukan DFW tentang aktivitas nelayan di Anambas, ditemukan fakta bahwa nelayan seringkali melakukan aktivitas di sekitar rig milik Medco. Fakta mengejutkan itu, dinilai sangat berbahaya karena bisa membahayakan jiwa nelayan.

Banyaknya nelayan yang beraktivitas di sekitar rig di Anambas, menurut Abdi, karena lokasi perairan di sekitarnya masih dianggap sebagai kawasan utama penangkapan ikan (fishing ground). Selain itu, kawasan perairan di sekitar rig juga masih menjadi lokasi yang dinilai paling cocok untuk perlintasan nelayan, dan juga tempat berteduh saat cuaca buruk sedang berlangsung.

“Akitivitas ini berpotensi menimbulkan kecelakaan di laut, sebab nelayan membawa bahan bakar, merokok dan kegiatan memasak di atas perahu. Berdekatan dengan aktivitas operasional pengolahan gas di rig, kegiatan nelayan di sekitar rig, berpotensi timbulkan accident,” paparnya.

baca juga : Kenapa Masih Ada Nelayan yang Belum Tahu tentang Perlindungan Asuransi?

 

Nelayan yang sedang mencari ikan di perairan dekat Kota Manado, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Berkaitan dengan mitigasi perlindungan nelayan, Abdi menyebut bahwa pemerintah daerah yang memiliki kuasa penuh atas wilayah perairan tersebut, harus bisa meningkatkan kesadaran nelayan dan juga warga pesisir. Penyadartahuan harus diberikan, agar mereka tidak lagi melakukan aktivitas di sekitar rig/platform migas.

Lebih lanjut Abdi menerangkan, saat ini ada sekitar 9-10 rig/platform yang menjadi sasaran nelayan tradisional dalam menangkap ikan. Dia mencontohkan, nelayan Anambas menggunakan dua jenis ukuran kapal untuk bisa melaut di laut lepas. Keduanya, adalah berukuran 3-5 GT dengan modal kerja Rp1,5-3 juta dan waktu menangkap ikan 5-7 hari, dan kapal ukuran 7-8 GT dengan modal kerja Rp3-4 juta dan waktu menangkap ikan 7-10 hari.

“Kapal-kapal tersebut berisi 2-3 nelayan, terdiri dari nakhoda dan dua nelayan. Saat ini ada sekitar 124 armada tangkap di Anambas yang sering melakukan penangkapan ikan di sekitar rig,” jelasnya.

Peneliti DFW-Indonesia Hartono mengatakan, perlu ada upaya sinergis antara pemerintah daerah, kontraktor kontrak kerja sama (K3S) dan satuan khusus kerja (SKK) migas untuk membuat program bersama dengan tujuan agar nelayan setempat bisa memahami potensi bahaya jika beraktivitas di sekitar rig/platform.

“Pemerintah daerah berkepentingan untuk memberikan perlindungan maksimal kepada para nelayan agar dapat beraktivitas secara bertanggungjawab dan mengutamakan keselamatan di laut dengan sosialisasi dan pendampingan yang intensif,” ujarnya.

Pencegahan kecelakaan nelayan ini penting dengan mendorong dibuat kesepakatan dan kesepahaman bersama di tingkat nelayan. Tujuannya sudah jelas, agar nelayan tidak lagi melakukan penangkapan ikan pada batas perimeter yang ditentukan.

“Sebagai pemilik rig/platform, K3S juga perlu melengkapai batas dan tanda-tanda di laut sekitar rig, agar nelayan tradisional bisa melihat batas aman dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan,” tegasnya.

menarik dibaca : Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan Negara

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati sebelumnya sudah mengatakan bahwa Negara wajib hadir di tengah masyarakat pesisir. Kehadiran Negara, di antaranya untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai ancaman yang datang silih berganti kepada masyarakat di kawasan tersebut.

Ancaman tersebut bisa berupa kriminal, kesejahteraan, sosial, dan lainnya. Yang paling mendasar, masyarakat pesisir saat ini banyak yang terancam akan kehilangan ruang penghidupannya di laut. Fakta tersebut, sangatlah miris mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang tak bisa dilepaskan dari struktur masyarakat pesisir.

“Tak hanya itu, masyarakat pesisir kemudian semakin tersudutkan karena menghadapi berbagai ancaman setelah pembangunan ramai dilaksanakan di wilayah pesisir,” sebutnya.

Agar masyarakat pesisir bisa tetap bertahan hidup dengan rasa aman dan nyaman, Susan menyebut, Negara harus hadir untuk mendampingi, memberdayakan, dan sekaligus menjamin hak-hak konstitusional mereka. Proses tersebut, diyakini bisa memberi kekuatan untuk masyarakat pesisir dalam menghadapi berbagai tekanan dan ancaman.

Akan tetapi, menurut Susan, walau sangat dibutuhkan kehadirannya, hingga saat ini Negara masih belum terlihat hadir dan memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir. Padahal, dalam konteks tersebut Negara wajib untuk selalu hadir mendampingi.

Lebih jauh Susan menerangkan, ketidakhadiran Negara bisa juga dilihat dari pengakuan terhadap peran serta kontribusi nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Indonesia. Dari total 8.077.719 rumah tangga perikanan, hanya ada 1.108.852 kartu nelayan yang disiapkan oleh negara.

“Dari angka tersebut, hanya ada 21.793 kartu nelayan yang diperuntukkan untuk perempuan nelayan. Artinya, hanya dua persen saja kartu nelayan untuk perempuan nelayan,” tuturnya.

baca : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

 

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan pemberian asuransi nelayan sesuai mandat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, hingga saat ini baru diberikan sekitar 143.600 asuransi kepada nelayan. Padahal, pemerintah telah menargetkan 1 juta asuransi nelayan.

Susan memaparkan fakta ketiga bahwa Negara tidak hadir di masyarakat pesisir, adalah berkaitan dengan kebijakan peralihan alat tangkap yang masih berjalan di tempat. Permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan, menjadi persoalan serius saat ini.

“Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda,” tandas dia.

Berdasarkan peta persoalan tersebut, KIARA meminta Pemerintah untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir dan mengimplementasikan amanat UU No.7/2016.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada 2017 mencatat jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari seluruh desa tersebut, tercatat ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

Susan mengatakan, jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang, maka ada lebih dari 25 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan. Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari 5 orang, maka ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

“Permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu permasalahan yang bersumber dari alam, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan permasalahan sosial ekonomi politik,” tegasnya.

 

Exit mobile version