Mongabay.co.id

Potret Perburuhan Sawit Sinar Mas

Tandan Buah Segar sawit baru panen. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Industri perkebunan sawit terus bergeliat, sektor perburuhan dalam bisnis ini masih banyak persoalan. Untuk melihat masalah ini, Sawit Watch dan Asia Monitor Resource Centre, baru-baru ini meluncurkan buku hasil investigasi bertajuk “Keuntungan di Atas Keringat Buruh: Kondisi Kerja di Bawah Rantai Pasok Perkebunan Sawit Milik Sinar Mas.” Buku ini memotret bagaimana kondisi perburuhan di dua anak perusahaan Sinar Mas, yakni PT Tapian Nadenggan dan PT Mitra Karya Agroindo di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Aktivis Sawit Watch Hotler Zidane Parsaoran dalam diskusi di Jakarta, pekan lalu mengatakan, buku ini hasil investigasi selama tiga bulan, yakni September-November 2017. Ia berusaha memotret kondisi faktual terkait sistem peruburuhan di kedua perusahaan itu.

“Ada beberapa temuan yang menurut kami jadi problem bersama. Kami menemukan pelanggaran serius terhadap HAM dan hak-hak buruh di dua perusahaan itu,” katanya.

Pelanggaran ini, katanya,  termasuk sistem kerja tak adil, masalah kesehatan dan keselamatan kerja, upah rendah, kondisi hidup buruk, diskriminasi jender dan menyembunyikan buruh dari audit.

Soal sistem kerja tak adil,  katanya, temuan lapangan menunjukkan dua perusahaan ini mempekerjakan buruh harian lepas (BHL) untuk pekerjaan teknis. BHL bekerja maksimum 20 hari per bulan upah Rp99.173 per hari. Mereka tak mendapatkan tunjangan, termasuk asuransi kesehatan.

“Kedua perusahaan ini telah memperkerjakan buruh lepas untuk pekerjaan bisnis inti di perkebunan mereka. Pekerjaan ini seharusnya oleh buruh dengan status tetap. Jelas kedua perusahaan ini melanggar UU Ketenagakerjaan. Buruh telah diperas dan kena denda jika dianggap melanggar aturan perusahaan.”

Hukuman, ancaman dan penalty, katanya, bagian dari strategi manajemen mengendalikan buruh dan mengorbankan mereka demi mencapai keuntungan.

Ada juga buruh harian borongan (BHB). Mereka biasa istri buruh tetap atau kontrak bekerja sebagai pemungut brondolan sawit dengan target 29 ember per hari.

Dalam wawancara dengan para pekerja, kata Zidane, mereka mengaku jika meninggalkan buah didenda Rp5.000. Jika memanen buah mentah, kena denda Rp1.500. Jika tak memenuhi target 100 tandan per hari, upah juga dipotong.

“Yang bekerja sebagai BHL ini banyak sudah bertahun-tahun. Bahkan ada yang bekerja sejak anak masih kecil, hingga anak tamat kuliah. Buruh dipaksa bekerja. Bila tak mau, upah mereka dipotong. Ini sama artinya, mereka tak boleh cuti. Mengambil satu hari cuti, termasuk cuti sakit, berarti beras untuk hari itu tidak diberikan,” katanya.

Buruh jika bekerja melampaui target, akan menerima tambahan upah Rp1.020 per tandan dan 18,5 kg beras per bulan. Setiap keluhan, atau kesalahan yang mereka buat akan mengurangi tunjangan beras.

Berdasarkan upah minimum Kalimantan Tengah, seharusnya mereka minimum Rp2.421.305. Dalam sebulan, BHL di kedua perusahaan mendapatkan maksimal Rp2 juta.

Terkait kesehatan dan keselamatan kerja, temuan mereka,  ada dua buruh perempuan sebagai penyemprot pestisida  dan mengaku keracunan. Mereka dirawat di klinik perusahaan, tetapi esok hari langsung bekerja. Menurut narasumber,  mereka menggunakan roll-up, rolixon, gramoxone dan elly,  sebagai bahan kimia. Kemudian, tak pernah ada pelatihan bahaya bahan kimia.

Fasilitas di klinik perusahaan sangat terbatas. Hanya memiliki satu dokter dengan dua perawat. Dengan ketersediaan obat-obatan terbatas.

“Perusahaan tak menyediakan rumah buruh tak tetap. Untuk harian lepas tak ada fasilitas perumahan.”

Kualitas air berdasarkan observasi langsung, tak layak konsumsi, karena berwarna cokelat kehitaman. “Untuk konsumsi air, mereka biasa membeli dari luar.”

 

Para pekerja buruh lepas harian di anak usaha GAR punya target kerja harus selesai, kalau lebih target baru peroleh bonus Foto: Tiar Heluth

 

Zidane juga menyoroti perihal diskriminasi jender. Mayoritas perempuan berstatus BHL di dua perushaan ini. Padahal, Sinar Mas merupakan perusahaan yang menandatangani UN Global Impact dan salah satu anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil  (RSPO). Standar internasional ini terdiri dari ketentuan menghormati buruh dan komitmen atas hak asasi manusia. Sinar Mas juga berkomitmen menerapkan standar perburuhan layak.

“Ada diskriminasi buruh perempuan yang bertahun-tahun jadi BHL. Buruh perempuan dipekerjakan untuk bagian penyemprotan, pemupukan dan kegiatan perawatan lain,” katanya.

Di PT Tapian Nadenggan Hanau Estate, sebagian besar dari 104 buruh lepas yang tinggal di luar area perkebunan adalah perempuan. Di perusahaan itu, ada 90 orang lokal sebagai BHL, 40 dari mereka perempuan. Bahkan,  ada BHL perempuan yang mengaku sudah 17 tahun bekerja, namun tak juga jadi buruh tetap.

Pada 2014, beberapa buruh perempuan menuntut diangkat jadi buruh tetap. Mereka mengirim surat, namun tak ada respon.

“Perusahaan menyediakan fasilitas perumahan untuk beberapa buruh tetap dan kontrak. Buruh lepas tak berhak fasilitas perumahan.”

Perusahaan, katanya,  tak mengizinkan buruh harian lepas menaruh anak-anak mereka ke tempat penitipan anak. Tindakan ini, katanya, melanggar prinsip Golden Agri resources (GAR) tentang hubungan manajemen-buruh dan kebijakan ketenagakerjaan.

Dalam Sustainable Report 2015, GAR mengatakan, mereka menyediakan tempat penitipan anak di semua perkebunan dan mengizinkan buruh perempuan mengurus anak-anak mereka.

Abu Mafakhir, peneliti Asia Monitor Resource Center (AMRC) mengatakan, metodologi yang digunakan selain studi literatur, juga investigasi lapangan. Sepanjang investigasi, mereka mewawancarai 49 buruh kebun dan tiga mantan buruh kebun.

“Kita memang tak mewawancarai pekerja di level manajemen. Tujuan kami ingin mendapatkan rekaman ungkapan-ungkapan atau narasi dari bawah. Apa yang mereka keluhkan terkait kondisi kerja mereka,” katanya.

Soal pemilihan Sinar Mas sebagai obyek investigasi, katanya, perusahaan ini dipandang sangat strategis sebagai representasi korporat terkuat di industri perkebunan sawit.

“Kita juga menempuh klarifikasi via email kepada GAR yang dijawab dua orang dari Singapura. Ada beberapa koreksi yang menurut kami bisa diterima. Kemudian kita ubah di laporan riset ini. Ada juga koreksi yang menurut kami bisa diperdebatkan. Jadi kami memilih tidak mengubah. Kami merasa temuan lapangan kami sangat kuat.”

Dalam investigasi, katanya, Tapian Nadenggan, tak serius meningkatkan kondisi kerja para buruh. Ia terlihat dari perusahaan berusaha menyembunyikan buruh lepas dari audit RSPO.

“Buruh yang kami wawancarai mengatakan kapanpun jika ada audit luar, manajemen menyembunyikan mereka ke suatu tempat, atau diliburkan. Ini situasi yang perlu ditangani mengingat perusahaan telah meraih sertifikasi RSPO,” katanya.

Abu mendesak, perusahaan menghentikan pelanggaran hak-hak dasar perburuhan. Dia juga meminta,  ada kepastian kebijakan perusahaan induk di semua level rantai pasokan.

GAR sebagai perusahaan induk, harus lebih memusatkan perhatian pada basis-basis pemasok yang berisiko tinggi melanggar hak-hak buruh.

“Perusahaan juga harus memperbaiki kondisi kerja dengan menghapus target kerja tinggi dan pembayaran upah per-satuan. Juga menerapkan sistem pembayaran berdasarkan ketentuan upah minimum.”

“Buruh harus diyakinkan bahwa mereka akan jadi buruh tetap dengan tunjangan dan jam kerja tetap. Upah dan tunjangan harus memberikan standar kehidupan yang layak,” katanya.

 

Buah sawit. Foto: Rhett A. Butler

 

Apa kata perusahaan?

Menanggapi hal ini Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement GAR Agus Purnomo mengatakan, sejak 2015 adan kebijakan dengan empat pilar,  yakni lingkungan, aspek sosial dan komunitas, hubungan kerja dan industrial serta perdagangan dan rantai pasok.

“Di bidang ketenagakerjaan, dan dalam kebijakan kami, itu ada beberapa prinsip dan kewajiban harus ditaati seluruh unit usaha GAR dan SMART Tbk.”

Sisi ketenagakerjaan, katanya, wajib patuh terhadap hukum, seperti tak ada pekerja anak. “Dalam draf pertama penelitian ini, sempat ada tuduhan bahwa ada pekerja anak, setelah kami bantah, halaman mengenai pekerja anak itu dihapus,” katanya.

Mengenai kebebasan berasosiasi,  katanya, pekerja bebas berasosiasi. Rata-rata setiap kebun itu ada minimum dua, katanya, ada juga sampai empat serikat buruh.

“Terkait dengan keselamatan kerja, tak ada kerja paksa. Berbeda dengan buruh di negara tetangga di mana buruh didatangkan,  paspor disimpan dan ditahan. Kami tidak seperti itu. Tak ada KTP ditahan, orang datang bekerja sukarela. Upah semua pekerja baik di Jakarta sampai di paling ujung kebun-kebun kami di lapangan harus sama dan mayoritas itu lebih besar daripada upah minimum,” katanya.

Izin tidak bekerja seperti cuti juga ada dan jadi hak para pekerja. Cuti tahunan, cuti melahirkan, sampai ada BPJS ketenagakerjaan. “BPJS kesehatan ada, THR ada. Ini semua kami berikan kepada semua pekerja.”

Mengenai tunjangan rumah, kata Agus, hanya untuk posisi tertentu atau mereka dari luar daerah. Kalau pekerja dari desa sekitar, tak mendapat rumah.

“BHL tak mendapatkan rumah, mereka mayoritas di desa sekitar kebun. Tunjangan beras untuk posisi tertentu, tergantung kesepakatan kerja di awal. Insentif kehadiran untuk posisi tertentu. Premi produktivitas untuk posisi tertentu. Ini premi atau bonus yang akan diterima BHL atau pemanen apabila target melebihi standar yang disepakati.”

Dalam upaya memperbaiki pengelolaan tenaga kerja, katanya, sejak 2016, GAR sudah mengundang berbagai pakar bidang perburuhan untuk evaluasi dan rekomendasi. “Ada review terhadap standar perburuhan kami. Jadi rantai perjalanan ini menunjukkan kesungguhan kami dalam memperbaiki aspek pengelolaan tenaga kerja.”

GAR, katanya,  memiliki sekitar 500.000 hektar kebun tertanam, 72.000 kawasan konservasi. Di dalam 160 kebun, GAR ada 230 sekolah yang dibiayai dan dibangun untuk para putra-putri karyawan maupun masyarakat sekitar.

Untuk fasilitas kesehatan, ada 157 klinik dengan 1.330 tenaga medis dan 800 pasien setiap hari, termasuk program kesehatan untuk ibu dan anak dengan penerima 3.000-an orang.

Untuk alat keselamatan kerja, yang disebut alat pemanen adalaah galah, dilengkapi helm dan google. “Ini kami sarankan. Para pemanen seringkali tidak memakai dengan alasan sulit melakukan pekejaan. Ini proses dimana pengetatan penggunaan alat keselamatan kerja itu perlu terus menerus untuk mengubah budaya.:

“Banyak mengeluh misal kalau memakai google, kalau berkeringat, berembun. Malas dipakai. Padahal syarat pekerjaan dan harus dipakai. Ini harus diingatkan berulang-ulang,” katanya.

Mengenai BPJS ketenagakerjaan, ucap Agus, perusahaan membayar kontribusi jaminan keselamatan kerja dan jaminan kematian. Untuk BHL, apabila mereka mendaftar BPJS, akan diganti.

“Persoalannya, banyak BHL tak memiliki e-KTP. Kami juga tak bisa mendaftarkan BHL, jika mereka tak memiliki e-KTP.”

Karena kondisi itu, katanya, sejak tahun lalu mereka mengubah aturan, hanya menerima pekerja tetap apabila mereka memiliki e-KTP.

“Kalau tidak, kita tak bisa mendaftarkan BPJS-nya. Mengapa hanya yang memiliki e-KTPO saja yang diterima? Ya gimana lagi, kita tak bsia mendaftarkan BPJS. Jadi memang banyak hal yang tidak bisa diselesaikan oleh perusahaan.”

Selanjutnya, terkait upah BHL,  Agus mengklaim, sudah sesuai standar minimum. Meski jika dijumlahkan, tidak sama dengan UMR.

“Kami sayangkan, AMRC maupun Sawit Watch menghindari untuk berbicara dengan kami. Hingga kemudian perspektif seolah-olah BHL itu buruh paling rendah, lalu menderita, sengsara hingga harus ditingkatkan. Padahal,  BHL itu warga desa yang ingin mendapatkan tambahan penghasilan dengan cara bekerja part time.”

 

Ilustrasi. Para pemungut biji sawit didominasi pekerja perempuan. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Mereka, katanya, tak bisa bekerja penuh karena banyak alasan, misal, ibu rumah tangga hingga berbagi waktu dengan pekerjaan di rumah. “Ibu rumah tangga tidak bisa meninggalkan rumah dari pagi hingga malam. Banyak tugas di rumah. Mereka memilih bekerja yang boleh bekerja, boleh juga tidak. Berbeda dengan karyawan tetap. Kalau dia sekian hari tak masuk kerja tanpa alasan, dia akan kena sanksi.”

Kalau BHL, katanya,  tak ada sanksi, hanya tak dibayar. Yang dibayar setiap hari sesuai upah minimum dan terlepas dari target, misal, pemanen, ada target 55 jenjang. “Sebanyak 55 jenjang itu, kalau diukur jam kerja, empat jam selesai. Buruh itu satu hari diharapkan bekerja tujuh jam plus satu jam istirahat.”

Begitu juga pemungut brondolan, bekerja dalam beberapa jam saja. “Kalau dia mau dapat bonus, tambah lagi,  misal, mengambil jatah pekerjaan lebih banyak hingga dapat bonus. Kalau mau berhenti, tinggal pulang, upah diterima 99.000 per hari plus berapa hari bekerja.”

“Tak ada pemotongan terhadap upah yang dia terima. Dalam target kerja, memang nanti akan dieprhitungkan.”

Sejak kuartal pertama 2017, perusahaan sudah mengalihkan BHL jadi tenaga tetap. Pada November 2017,  karyawan di dua perusahaan yang permanen ada 1.800 orang, dengan 2.600 BHL. Pada Juni 2018, karyawan permanen naik jadi 3.600 orang ,dan  BHL turun tinggal 1.054.

“SK perusahaan mengenai upaya memindahkan BHL jadi karyawan tetap itu sudah kami putuskan sejak Juni 2017. Prosesnya berjalan terus. Itu juga risiko yang harus kami tanggung. Total karyawan kami 173.000 orang. Jadi mohon maaf kalau waktu tak bisa cepat. Target kami, dari  total 22.000 BHL akan proses hingga akhir tahun depan.“

Tiur Rumondang,  Direktur Eksekutif RSPO Indonesia mengatakan, secara keseluruhan, laporan Sawit Watch dan AMRC ini menanggapi kondisi sangat tipikal dari hampir semua pengaduan yang masuk ke RSPO.

“Terkait audit yang  mungkin tidak meng-cover beberapa temuan, ada satu kondisi yang membedakan ketika informasi diperoleh oleh struktur audit dan struktur investigasi atau riset. Audit biasa tergantung luasan lahan antara 5-8 hari. Tergantung. Semua ini memang tak bisa di-cover dan perlu kerjasama perusahaan,” katanya.

Dia bilang, ada teknik tersendiri seharusnya digunakan auditor dalam melihat gejala-gejala harus mencari informasi untuk memperkuat audit. Auditor, katanya, juga independen, bukan masuk struktur RSPO.

Dalam kondisi ini, biasa RSPO, akan melibatkan lagi dan mempertanyakan kepada mereka.

“Saya harus mengakui banyak auditor miss dalam kondisi-kondisi seperti ini. Kita juga harus menyadari luasan plantation itu membuat tipikal audit tak semudah,  misal, audit keuangan. Ini satu proses yang butuh integritas semua pihak termasuk perusahaan dan auditor,” katanya.

Menyadari keterbatasan ini, RSPO punya beberapa pilihan dalam membuka diri terhadap informasi eksternal bila ada potensi atau kemungkinan komplain dari anggota RSPO. Salah satu, katanya,  melalui complain system yang sudah dimiliki RSPO.

Selain itu, katanya, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait ketenagakerjaan, belum banyak mengatur buruh perkebunan, lebih banyak mengakomodir sektor manufaktur.

 

Foto utama: Tandan buah segar sawit. Eko Rusdianto

Exit mobile version