Mongabay.co.id

Kala Perusahaan Tambang Silih Berganti Eksploitasi Pulau Gebe (Bagian 1)

Kawasan Obolie setelah ditinggalkan PT Antam kini dikeruk lagi oleh PT FBLN. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Deretan kapal pengangkut ore nikel terparkir di Perairan Gebe, Halmahera, Maluku Utara. Kala kapal fery yang saya tumpangi memasuki Tanjung Gebe, Juni lalu, tampak sekitar tujuh kapal berkapasitas sekitar 50.000-70.000 ton,  lego sauh.

Beberapa karyawan PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN) bilang, kapal- kapal itu lego sauh menunggu giliran pemuatan.  Benar saja,  ada tiga kapal berlabuh tak  jauh dari Pelabuhan Gebe, salah satu sedang muat ore ke kapal dari  tongkang.

Aktivitas alat berat pengangkut ore dari tongkang ke kapal juga menyebabkan sebagian material terlihat  berjatuhan ke laut. “Itu hal sulit dihindari,” kata Mail Malforo,  tokoh pemuda Desa Kacepi. Dia khawatir terjadi pencemaran laut.

Tak hanya itu, debu dari truk-truk pengangkut ore nikel juga beterbangan.

“Mulai ada tambang dari Antam, hingga kini  belum juga tuntas. Debu mengganggu pernapasan setiap saat. Dulu,  ketika masih ada Antam mereka sering menyiram debu di jalanan itu,” kata Sitna Mawia, warga Desa Elfanun, Gebe.

Di ibukota Kecamatan Gebe ,  debu di beberapa kampung  begitu terasa.  Apalagi  memasuki musim panas,  lalu lalang kendaraan  termasuk kendaraan milik perusahaan,  menambah  masalah warga.

“Setiap hari memang sudah begini. Kami selalu merasakan debu,” keluh Sitna.

Masalah debu tak pernah selesai. Terlebih kendaraan atau alat berat perusahaan sering masuk kampung.  Warga bingung mau mengeluh ke mana. “Ini sudah biasa sejak dulu. Apalagi di daerah kami ini jalan rusak jadi debu cukup mengganggu,” katanya.

Desanya agak jauh dari ibukota kecamatan, hingga tak terlalu terdampak debu. Untuk desa–desa di kota kecamatan debu begitu terasa.

Pada 2004, Antam mengakhiri produksi dan meninggalkan lubang- lubang serta kolam-kolam besar. Lahan juga gundul.

“Waktu itu tak ada pemerhati.  Sepi kritik, zaman tanpa kontrol karena tak terekspose keluar,” kata Mail.

Untuk menghijaukan kembali hutan jadi kewajiban  perusahaan. Pasca Antam, penanaman pohon untuk penghijauan ulang dilakukan. Dua tahun berjalan atau pada 2006, saat usia pohon-pohon reboisasi tumbuh, perusahaan lokal, PT Gebe Karya Mandiri (GKM),   mendapat izin pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah. Mereka menambang kembali  areal  bekas operasi Antam. Pepohonan reboisasi rusak.

Aprilandi H. Setia,  Corporate Secretary Antam, mengklaim, senantiasa melaksanakan praktik penambangan yang baik. Reklamasi  lahan terbuka eks-penambangan, katanya,  sudah simultan sejak tahap operasi dan ketika pascatambang.

Lahan eks-tambang Antam di Gebe,  sudah reklamasi sesuai peruntukan lahan.  “Meskipun demikian, memang kami mendengar saat ini, sebagian lahan reklamasi ditambang kembali oleh perusahaan pemegang izin baru,” katanya.

Pemerintah Halmahera Tengah, katanya,  kembali memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang nikel baru, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN), dengan izin 2012 mengambil nikel yang belum dihabiskan Endiko, Antam, dan GKM.  Perusahaan ini , katanya,  kembali beroperasi dan mengapalkan berton-ton tanah dari  Pulau Gebe ke Tiongkok.

Saat ini, katanya,  perusahaan ini juga membangun smelter untuk mengolah ore jadi  barang  setengah jadi sebagai produk ekspor.

Muh, karyawan FBLN yang mengoperasikan  alat berat  untuk angkut ore ke kapal mengatakan, dalam sebulan mereka target mengapalkan tiga sampai lima kapal  berisi  ore dengan kapasitas antara 55.000-70.000 ton perkapal. Rata-rata pengapalan bahan mentah.

“Setahu,  saya yang paling banyak dikapalkan bahan mentah. Sekarang ini, tungku pengolahan  alami kerusakan hingga pengiriman barang setengah sangat minim.  Bahan mentah ini diangkut pakai kapal  di laut Gebe,” cerita Muh.

 

Terumbu karang_ Kondisi terumbu karang di sebagian desa di Pulau Gebe kini memprihatinkan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Soal kondisi lingkungan pasca tambang, dalam disertasi Wahab Hasyim dari Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate,   berjudul  Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Tanpa Tambang Nikel Studi di Pulau Gebe,  Maluku Utara, menemukan ada kerusakan lingkungan  serius di beberapa ekosistem.

Tak hanya di darat.  Dampak  penambangan menyebabkan terumbu karang rusak di beberapa kawasan perairan. Studi itu menyebutkan, terumbu karang salah satu media bagi biota laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Masyarakat Gebe, adalah warga pesisir yang hidup di Pulau kecil,  sangat bergantung pada  ikan-ikan karang di gugus pulau-pulau kecil Gebe.

Hasil pengamatan lima lokasi terumbu karang di Pulau Gebe,  antara lain, Desa Kapaleo, Kacepi, dan Mamin serta penuturan warga berusia lebih 60 tahun, mengatakan, kondisi  terumbu karang sangat jauh berbeda dibanding 1980-an.

Informasi warga,  sebelum 1980-an di pesisir desa-desa itu, warga mudah mencari ikan karang,  kerang-kerang hiasan di terumbu karang. Sekarang, katanya, tak ada lagi ikan dan kerang bisa diperoleh masyarakat di lokasi- lokasi itu.

Hasil pengamatan memperlihatkan, terumbu karang  di bagian selatan– berdekatan dengan penambangan– tertutup sedimen lumpur karena terbawa erosi dari areal penambangan. Selain itu,  kerusakan terumbu karang juga di bagian utara Pulau Gebe, di Desa Kapaleo, Kacepi dan Desa Mamin. Kerusakan terumbu karena karena pengambilan karang oleh penduduk untuk bahan bangunan, dan pengeboman ikan.

Kondisi hutan mangrove juga mengkhawatirkan.  Awalnya, hutan  mangrove di Pulau Gebe, tersebar mulai sepanjang pantai bagian selatan ke arah barat dan utara Pulau Gebe, bahkan beberapa pulau kecil  dalam kecamatan ini banyak ditumbuhi mangrove.

Sesuai hasil pengamatan di lokasi menemukan, mangrove yang banyak  di daerah ini jenis  Rhizopora apiculata, Rhizopora  stylosa, dan Bruguera Sp.

Saat ini , mangrove di Tanjung Oeboelie, tak lagi tumbuh subur karena tertimbun sedimen lumpur yang terbawa erosi   dari penambangan dan lokasi penimbunan bahan galian nikel.

Di desa Kacepi, Mamin, dan Yam, hutan mangrove musnah karena  masyarakat mengambil kayu sebagai bahan bakar dan bahan bangunan.

Menurut penuturan beberapa penduduk yang berusia lebih 60 tahun,  ketika Antam belum mengeksploitasi nikel di Pulau Gebe,  hampir seluruh pantai pulau ini tumbuh mangrove. Hanya bagian-bagian tertentu dipakai sebagai tempat berlabuh perahu. Penduduk dapat menangkap udang dan kepiting di hutan mangrove dalam jumlah banyak.

Kondisi terkini, masih sama. FBLN yang mengeksploitasi bekas wilayah Antam juga   muncul kan beragam persoalan. Sebut saja, tepi Tanjung  Oeboilie terlihat keruh.   Apalagi penambangan  berada  sangat dekat dengan pantai.  Dengan kemiringan  Perbukitan Oeboilie,  rawan aliran permukaan jika hujan. Material  tanah  terbawa ke laut.

Pantauan lapangan, air laut keruh di sekitar pantai. Warga yang melewati Tanjung Oeboelie ,  dengan kapal penumpang kalau agak mendekat  ke wilayah penambangan  akan melihat jelas laut begitu keruh.

 

Perairan depan Pulau Gebe dan Fofao kini jadi tempat parkir kapal dan tongkang yang mengangkut ore tambang perusahaan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

                                                   

Sembilan izin tambang

Pulau  Gebe, salah satu pulau kecil,  di antara Pulau Halmahera dan  Papua. Secara geografis pulau ini terletak  tepat di garis khatulistiwa pada 0°

Sebelum jadi kecamatan defenitif, Gebe hanya kumpulan beberapa desa yang secara administrasi berada dalam Kecamatan Patani. Pada  7 April  2001,  status desa Gebe naik jadi Kecamatan Pulau Gebe dengan enam desa definitif. Bahkan,  kini ditambah jadi delapan desa.

Bentuk pulau   memanjang dari arah barat laut ke tenggara dengan panjang sekitar 45 km, dan lebar bervariasi  satu sampai tujuh km serta luas total sekitar 153 km persegi.

Meskipun pulau kecil dengan  luas wilayah  begitu terbatas,   ternyata  sebagian besar lahan masuk  konsesi tambang.  Saat ini,  di Pulau Gebe  ada sembilam IUP. Dari Izin ini  nyaris  menguasai habis lahan  di pulau  ini.

Setelah Antam cabut, bekas kawasan hadi kawasan lindung dan berubah lagi jadi kawasan tambang.

Untuk kawasan hutan, pasca Antam tutup, katanya.  ada  perubahan status kawasan dari hutan produksi ke hutan lindung sesuai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Perubahan Atas Keputusan Nomor 415/KPTS-II/1999  tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan  Perairan Maluku.

Data  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, kalau dibandingkan  luas wilayah  pulau dengan  izin konsesi kepada para pengusaha. “Pulau ini habis dibagi  untuk tambang.  Dari IUP telah menguasai  lahan mencapai 8637,3 hektar.

“Berdasarkan data riset sosial ekonomi IPB tahun 2016,  bekerjasama dengan Antam   mencantumkan  Gebe   dengan delapan desa memiliki lahan kurang lebih 111,6 km2.

Dengan demikian, katanya, kalau konversi ke dalam hektar maka luas daratan Gebe yang belum masuk  izin tambang   tersisa sekitar 2,463 hektar.

Munadi Kilkoda, Ketua PB Aman Maluku  Utara mengatakan, dari  sembilan IUP di Gebe, enam clear and clean (CNC), sisanya, non CNC.

Tiga Izin non CNC itu  , katanya.  termasuk dalam 27  IUP bermasalah Gubernur Maluku Utara.  “IUP yang non CNC itu adalah PT Karya Wijaya, PT Multi Tambang Prima  PT Integra Mining Nusantara serta PT  Mineral Troubus.

Dia bilang, sumber data kantor KESDM. Sembilan IUP Pulau Gebe itu PT Batra Putra Utama, Fajar Bhkati Lintas Nusantara,  Gebe Sentra Nikel, Elsaday Mulia, Integra Mining Nusantara, Mineral Trobos, Anugrah Sukses Mining, Karya Wijaya dan Multi Tambang Prima. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama: Kawasan Obolie setelah ditinggalkan PT Antam kini dikeruk lagi oleh PT FBLN. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Jalanan di Pulau Gebe, masih buruk. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version