Mongabay.co.id

Restorasi Gambut Harus Sejalan dengan Penegakan Hukum

Ilustrasi. Kala musim kemarau, gambut alami kekeringan dan memicu kebakaran. Bencana seperti ini bisa berulang kala gambut fungsi lindung rusak. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Implementasi restorasi (pemulihan) gambut sudah berjalan hampir dua tahun. Meskipun begitu, titik api di lahan gambut seringkali muncul, terutama di provinsi-provinsi prioritas restorasi. Organisasi lingkungan, Walhi menilai, upaya restorasi gambut harus sejalan dengan ketegasan penegakan hukum bagi pelaku kebakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak 2015, telah memberikan 163 sanksi administrasi, 12 sanksi perdata dan 35 pidana. Sanksi administrasi jadi andalan KLHK, karena dianggap memberikan efek jera dan mudah diterapkan tanpa melalui kejaksaan, hakim maupun kepolisian.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, penegakan hukum seharusnya jadi bagian dari pemulihan restorasi gambut terlebih target restorasi gambut paling besar pada konsesi perusahaan.  ”Sayangnya penegakan hukum kembali melemah,” katanya, dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Pada September 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengeluarkan peta indikatif restorasi gambut, dari 2,49 juta hektar areal kesatuan hidrologis gambut (KHG), 1,4 juta hektar di konsesi kehutanan dan perkebunan.

Berdasarkan data WALHI Jambi, ada 46 perusahaan dengan lahan terbakar pada 2015, 16 di lahan gambut. Meski demikian, hanya lima perusahaan diproses hukum.

Bahkan, katanya, penegakan hukum lebih dicondongkan kepada masyarakat adat/lokal dan petani yang mendapat stigma sebagai pembakar lahan. Padahal, aparat penegakan hukum selama ini masih lemah dalam pengawasan pada konsesi perusahaan.

MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan KLHK menyebutkan, luasan kebakaran hutan dan lahan periode Januari-Agustus 2018 sekitar 12.175 hektar, luasan lebih kecil dibandingkan 2015 mencapai lebih dua juta hektar.

Dia pun mengatakan, pada periode ini, kebakaran hutan dan lahan paling besar di luar konsesi, baik perkebunan maupun hutan.

“Berdasarkan data Lapan dengan kepercayaan lebih 80%, periode ini ditemukan titik panas 1.639 titik,” katanya, dengan 1.308 titk berada lahan mineral, 213 titik di lahan gambut berfungsi lindung dan 118 titik lahan gambut budidaya.

Hingga kini, katanya, ada 31 pemegang izin kehutanan hutan tanaman industri dan 39 pemegang hak guna usaha perkebunan menyelesaikan dokumen rencana pemulihan. Sedangkan, penataan restorasi sudah dikerjakan 80 perusahaan perkebunan dan 14 perusahaan HTI.

“Masih kita pantau, evaluasi dan supervisi bersama. Kita nanti evaluasi bisa memenuhi (standar ketinggian muka air) 0,4 meter,” katanya.

 

Moratorium sawit

Yaya, panggilan akrabnya menyatakan, komitmen pemulihan gambut Presiden Joko Widodo ini, perlu diperkuat dengan menerbitkan moratorium sawit. Pengawasan, evaluasi dan audit perizinan jadi sangat krusial dalam upaya restorasi gambut karena luasan konsesi terbakar pada 2015. Belum lagi, keinginan perusahaan terus memperluas lahan, dengan begitu moratorium sawit mendesak demi perbaikan tata kelola kebun sawit.

”Sebenarnya tak terjadi perubahan struktural signifikan dalam luasan konsesi perusahaan, dan tak terjadi juga paya perusahaan maupun pemerintah yang bisa memastikan tak akan terjadi lagi karhutla.”

Walhi melihat,  persoalan karhutla sebagai problem struktural warisan rezim masa lalu yang bukan hanya eksploitatif, juga sektoral. Dia berharap, pembenahan tata kelol harus melampaui dari sekat-sekat birokrasi yang sudah rusak akut.

Berdasarkan Perpres Nomor 1/2016 tentang BRG, dia melihat BRG dan tim gambut daerah belum ada koordinasi dan belum terbangun sinergitas, padahal harapan ke daerah terlalu tinggi.

”Daerah sendiri memiliki kepentingan politik elite daerah yang seringkali tak sama dengan nasional,” kata Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat.  Jadi, katanya, komitmen perbaikan tata kelola gambut ini masih tersandera banyak kepentingan.

Keterbatasan kewenangan BRG dalam perpres ini juga dinilai jadi hambatan dalam kelancaran pencapaian target restorasi terutama kemampuan memaksa dan penegakan hukum korporasi. Secara politik, katanya,  BRG tak memiliki kekuatan di lapangan, ketika berhadapan dengan kekuatan korporasi.

Padahal, katanya,  sebagian besar dari target restorasi di konsesi perusahaan. Penegakan hukum, katanya , seolah jadi bagian terpisah dari restorasi gambut dan mandat perpres. Faktanya, pelanggaran investasi sebagian besar di lahan gambut.

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan, banyak titik-titik api berasal dari daerah prioritas gambut dan pada perusahaan yang dahulu mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). “Jika penegakan hukum tak tegas, titik api pasti masih terjadi,” katanya.

Dia juga menilai aksi koreksi (corrective action) pemerintah  tak kelihatan, salah satu, audit kepatuhan perizinan.

 

Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perkuat BRG

Walhi pun merekomendasikan perbaikan Perpres No. 1/2016,  agar memperkuat nomenklatur atau wewenang BRG hingga mampu menjalankan fungsi-fungsi penyelamatan dan perbaikan restorasi gambut.

“Hingga  BRG jadi simbol keseriusan dan komitmen kuat pemerintah dalam memperbaiki tata kelola lahan gambut di Indonesia.”

Dia bilang,  memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap wilayah kelola rakyat pada ekosistem rawa gambut bisa menjaga lahan dari karhutla. Warga, katanya, mampu mengelola lahan gambut dengan adil dan lestari, berbasiskan pengetahuan dan kearifan masyarakat adat/lokal.

Nazir Foead, Kepada Badan Restorasi Gambut mengatakan, restorasi terkesan lambat karena mengutamakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kanal.

“Jika memilih lelang lalu kontraktor mengerjakan, selesai. Tapi kan tidak begitu, masyarakat harus diajak jadi bagian dari restorasi,” katanya.

Berdasarkan laporan Walhi provinsi prioritas restorasi masih terjadi kebakaran, misal, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau dan Jambi. Kata Nazir, hasil pekerjaan restorasi belum bisa nampak dalam waktu satu tahun. “Apalagi, lahan gambut kita sudah terlanjur rusak karena bekas terbakar.”

Dia membenarkan, ada kebakaran di wilayah restorasi gambut karena permukaan kering. “Masih di permukaan, pemadaman lebih mudah karena api tak merambat ke bawah.”

Nazir mengatakan, lahan gambut rusak bekas terbakar, kemampuan dalam menyimpan air jadi berkurang. Terlebih, saat kemarau, gambut perlahan mengering karena penguapan.

Myrna Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, menyebutkan,  permasalahan mengukur dampak atau pengaruh restorasi ini cukup kompleks. “Kami dengan kelompok ahli sedang menyiapkan pengukuran jelas.”

Pasca 2020, BRG akan menyelesaikan tugas dan memberikan laporan kepada Presiden dengan beberapa catatan masalah di lapangan, misal, perlu instrumen regulasi memperkuat, kelembagaan, dan apakah memerlukan unit kerja tersendiri atau tidak. “(Aspek itu) sudah jadi observasi kami,” katanya, seraya berharap, kerja-kerja BRG pasca 2020, dapat dikerjakan pemerintah daerah.

 

Keterangan foto utama: Kebakaran gambut terjadi di kebun sawit di Dusun Benuang, Desa Teluk Nilap, Kecamatan Kubu Darussalam, Rokan Hilir. Di dusun ini sedikitnya 14 rumah dan sejumlah kendaraan roda dua hangus terbakar pada pekan lalu. Hingga Jumat lalu, api masih berkobar. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau, tak hanya menghanguskan kebun, sawit warga, juga belasan rumah, sepeda motor dan mobil pick up, Jumat (17/8/18). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version