Mongabay.co.id

Perlu Cara Tak Biasa untuk Berantas IUU Fishing, Bagaimana?

Indonesia terus berjuang untuk memberantas aktivitas perikanan tangkap yang ilegal (illegal, unreported, unregulated fishing/IUUF) di wilayah perairan nasional. Hingga saat ini, aktivitas terlarang itu disinyalir masih terus terjadi di seluruh Nusantara. Perlu upaya ekstra keras dan tak biasa untuk bisa menghilangkan kegiatan merugikan Bangsa dan Negara itu.

Hal itu ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pekan lalu. Menurut dia, cara yang yang tak biasa dibutuhkan sangat diperlukan Indonesia, karena IUUF masih terus ada walau sudah ada larangan dan sanksi yang tegas. Di antara cara yang tak biasa itu, di antaranya adalah penenggelaman kapal yang sudah terbukti melakukan pelanggaran.

Dengan cara seperti itu, Susi meyakini, aktivitas IUUF akan berkurang, meskipun prosesnya akan sangat panjang. Tetapi, untuk bisa mencapai itu, perlu kemauan dari semua pihak dan menyatukan pikiran serta tekad untuk melaksanakannya. Jika itu berjalan, maka pelaku IUUF akan takut dan itu akan memberi efek jera kepada calon pelaku lainnya.

“Tinggal kita mau atau tidak,” tuturnya.

Menurut Susi, dengan adanya peraturan larangan kapal asing masuk ke Indonesia untuk mencari ikan, seharusnya perairan Indonesia bebas dari aktivitas IUUF. Tetapi, dia menduga, ada keterlibatan dari petugas penegakan hukum (gakkum) di lapangan yang menyebabkan kapal asing masuk hingga jumlahnya mencapai 70 ribuan.

“Saya mengerti untuk memberantas IUUF dengan tuntas tidak mudah. Maka dari itu konsolidasi orang-orang yang berani dan berintegritas diperlukan,” ucapnya.

baca : Pemberantasan IUU Fishing Semakin Berat Dilakukan Indonesia, Kenapa?

 

Satu dari 15 kapal pelaku IUU Fishing yang ditenggelamkan di Bitung, Sulut, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2018. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Untuk kapal-kapal yang ditangkap, Susi menyebutkan, adalah kapal yang melakukan berbagai tindakan pidana di bidang perikanan, seperti menangkap atau mengangkut di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI) tanpa surat izin usaha perikanan (SIUP). Selain itu, pelanggaran lain adalah menangkap ikan di WPP RI tanpa surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan mengangkut ikan tanpa surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).

“Kemudian, juga menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang dan merusak lingkungan,” jelasnya.

Secara keseluruhan, kapal pelaku IUUF yang sudah ditenggelamkan sejak Oktober 2014, jumlahnya mencapai 488 unit kapal. Terdiri dari 276 kapal berkebangsaan Vietnam, 90 kapal Filipina, 50 kapal Thailand, 41 kapal Malaysia, 26 kapal Indonesia, 2 kapal Papua Nugini, 1 kapal Tiongkok, 1 kapal Belize, dan 1 kapal tanpa Negara.

 

Kedaulatan Negara

Bertepatan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaksanakan penenggelaman kapal pelaku IUUF sebanyak 125 unit. Prosesi itu dipusatkan di Bitung, Sulawesi Utara dan dilaksanakan di 11 lokasi di Indonesia. Susi Pudjiastuti yang berperan sebagai Komandan Satuan Tugas IUUF/115, langsung memimpin penenggelaman tersebut di Bitung.

Seusai penenggelaman, Susi berbicara tentang makna prosesi tersebut. Menurutnya, penenggelaman memiliki nilai-nilai kedaulatan dan itu bagus untuk pesan perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia. Karenanya, pelaksanaan prosesi tersebut juga dipilih secara bersamaan dengan perayaan kemerdekaan RI. Dengan maksud, untuk menyampaikan pesan tentang kedaulatan sumber daya ikan Indonesia.

“Kita harus merebutnya kembali dari asing,” tegasnya.

baca juga : Penenggelaman Kapal Asing, Bukti Indonesia Serius Perangi Illegal Fishing

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memimpin langsung penenggelaman 15 kapal pelaku IUU Fishing di Bitung, Sulut, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2018. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain di Bitung dengan 15 kapal, penenggelaman juga dilaksanakan di Pontianak (Kalimantan Barat) sebanyak 18 kapal, Cirebon (Jawa Barat) sebanyak 6 kapal, Aceh dengan 3 kapal, Tarakan (Kalimantan Utara) sebanyak 2 kapal, Belawan (Sumatera Utara) sebanyak 7 kapal, Merauke (Papua) sebanyak 1 kapal, Natuna (Kepulauan Riau) dengan 40 kapal, Ambon (Maluku) dengan 1 kapal, Batam (Kepulauan Riau) dengan 9 kapal, dan Tarempa (Kepulauan Riau) dengan 23 kapal.

Sementara, berdasarkan asal bendera, kapal yang ditenggelamkan terdiri dari Vietnam berjumlah 86 kapal, Malaysia berjumlah 20 kapal, Filipina berjumlah 14 Kapal, dan Indonesia berjumlah 5 kapal. Untuk penenggelaman semua kapal tersebut, dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) untuk 116 kapal dan berdasarkan penetapan pengadilan untuk 9 kapal.

“Kapal-kapal yang ditenggelamkan mayoritas merupakan kapal perikanan berbendera asing dengan jumlah 120 kapal,” tegasnya.

Untuk pemilihan Kota Bitung sebagai pusat penenggelaman, Susi mengatakan, karena wilayah perairan Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah merah untuk aktivitas illegal fishing. Hal itu bisa terjadi, karena perairan Sulut menjadi fishing zone kapal-kapal pencuri ikan dari beberapa negara untuk mengambil kekayaan sumber daya perikanan yang kaya, terutama komoditas tuna dan cakalang.

Menurut Susi, sebelum Oktober 2014, Bitung adalah kota satelit utama untuk pusat aktivitas penangkapan ikan yang ilegal (IUUF) yang dilakukan negara lain. Selama itu pula, negara lain seperti Filipina sudah menikmati hasilnya dan mendapatkan pemasukan devisa yang tidak sedikit. Selain Filipina, negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia juga ikut menikmati aktivitas ilegal itu.

“Selama beberapa dekade, General Santos (Filipina) mempunyai ekspor tunanya sampai 2 koma sekian miliar dollar (US). Apa yang Bitung dapatkan?” tanyanya.

baca juga : Wow.. Kerugian Akibat Illegal Fishing Kapal Asing Mencapai 20 Miliar USD Per Tahun

 

Satu dari 15 kapal pelaku IUU Fishing yang ditenggelamkan di Bitung, Sulut, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2018. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Susi menambahkan, pemilihan Bitung juga dilakukan karena selama ini masih banyak kapal-kapal pelaku IUUF berbendera asing maupun Indonesia yang ditangkap di wilayah perairan Sulut karena melakukan illegal fishing. Kemudian, pengamanan perairan Sulawesi Utara dari kapal-kapal asing yang masuk ke Indonesia, juga diakuinya masih menjadi tantangan besar bagi Pemerintah.

“Komando penenggelaman di Bitung ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi aparat penegak hukum, antara lain TNI AL, POLRI, Pengawas SDKP KKP dan Bakamla untuk meningkatkan pengamanan wilayah kedaulatan NKRI,” tegasnya.

 

Industri Perikanan

Sementara, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan berpendapat, apa yang dilakukan Pemerintah selama empat tahun terakhir dalam mengusir pencuri ikan dari perairan Indonesia, patut diapresiasi. Upaya yang dilakukan dengan memberi sanksi penenggelaman kapal itu, dinilai sudah berhasil memberi efek jera kepada para pemilik kapal asing yang biasa melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

“Dengan kebijakan tersebut, pelaku perikanan ilegal berpikir dua kali untuk kembali memasuki perairan Indonesia,” ucap dia pekan ini.

Akan tetapi, Abdi mengingatkan, setelah mengusir, sebaiknya Pemerintah membuat rencana dan strategi pengelolaan perikanan melalui pembangunan industri perikanan. Pembangunan industri perikanan nasional diperkirakan bisa menyerap 3,8 juta penduduk Indonesia yang bekerja dari industri perikanan dari hulu ke hilir.

menarik dibaca : Stok Ikan Lestari Naik Karena Penanganan IUU Fishing Berhasil?

 

Upaya percepatan industrialisasi perikanan di Indonesia, diprediksi tidak akan berjalan mulus pada 2018. Ada faktor yang harusnya menjadi fokus perhatian tapi tidak menjadi prioritas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dengan membangun industri perikanan, Abdi menyebutkan, ada semangat Nawacita yang diaplikasikan dan itu dilaksanakan dalam bentuk pembangunan di daerah pinggiran yang bertujuan untuk mengurangi disparitas infrastruktur perikanan di Jawa dan luar Jawa. Semangat Nawacita itu, termaktub juga dalam Peraturan Presiden No.3/2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

“Agar itu bisa terwujud, maka perlu ada skala prioritas pembangunan infrastruktur perikanan di luar pulau Jawa. Selain itu, memperkuat kelembagaan nelayan, melengkapi regulasi pengelolaan perikanan dan melancarkan transportasi perhubungan,” jelasnya.

Abdi memaparkan, di dalam Perpres No.3/2017, terdapat 5 program dan 28 kegiatan yang harus dilakukan secara strategis dan intensif oleh berbagai kementerian. Beberapa amanat Perpres tersebut yang saat ini pelaksanaannya sangat lamban, yaitu pembangunan 4.787 kapal ikan berukuran di bawah 30 gros ton (GT) oleh Pemerintah dan 12.536 kapal ikan diatas 30 GT oleh swasta.

Kemudian, amanat berikutnya adalah pembangunan sistem rantai dingin di 31 lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), penambahan jumlah pelabuhan ekspor hasil perikanan melalui penetapan bandara dan pelabuhan laut untuk ekspor di 20 lokasi SKPT, serta 3000 usaha kecil menengah (UKM) perikanan yang berbadan hukum koperasi.

Dari semua amanat yang terkandung dalam Perpres, Abdi menyebutkan, Pemerintah inkonsisten dalam pelaksanaan SKPT yang berdampak pada keterlambatan pembangunan infrastruktur perikanan. Selain itu, juga inkonsisten dalam penguatan kelembagaan nelayan di beberapa lokasi prioritas seperti Saumlaki (Maluku), Biak (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara), dan Mimika (Papua).

 

Exit mobile version