Mongabay.co.id

Asian Games dan Kesehatan Lingkungan

Jakarta, kota dengan pencemaran udara tinggi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Baru saja sepekan perhelatan internasional Asian Games dibuka Presiden Joko Widodo, Ibukota Jakarta,  lagi-lagi juara pertama kota dengan udara terburuk sedunia pada 25 Agustus 2018. Tingkat pencemaran lebih tinggi dari Seattle, Amerika dan Hong Kong. Di Palembang, kota kedua penyelenggaraan sebagian cabang olahraga pencemaran udara level berbahaya pada 26 Agustus 2018.

Prestasi global yang disandang Jakarta dalam hal pencemaran udara patut direnungkan. Apalagi Indonesia telah mencurahkan investasi Rp30 triliun untuk pembangunan infrastruktur pendukung Asian Games pada 18 Agustus-2 September 2018 di Jakarta dan Palembang.

Selain fasilitas fisik, apakah Asian Games di Palembang dan Jakarta, Indonesia menyediakan fasilitas non-fisik yang paling menunjang raga bugar, yang selama ini dinikmati gratis: lingkungan yang sehat?

Asian Games 2018 harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk merefleksikan keseimbangan antara pembangunan fasilitas fisik dan pembangunan fasilitas non fisik. Kedua kota ini sangatlah pincang dalam menyediakan fasilitas non fisik: lingkungan sehat.

Baik Jakarta maupun Palembang merupakan ikon lingkungan tercemar dengan cara masing-masing. Dalam setahun, Jakarta,  hanya memiliki 25-26 hari dengan udara sehat (US Embassy, 2017), jika merujuk panduan World Health Organization. Sisanya, kualitas udara Jakarta tak sehat untuk kelompok sensitif (79%-89%) atau tidak sehat untuk siapapun (11-26 hari).

Sementara, Palembang merupakan kota yang kerap dilanda kebakaran hutan. Pada El-Nino 2015,  hampir seluruh hari sepanjang kemarau berada pada level tak sehat untuk kelompok sensitif hingga berbahaya.

Sekalipun rangkuman beban penyakit pada level kota/provinsi di Jakarta dan Palembang,  hanya tersedia sporadis, cemaran lingkungan di kedua kota ini memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan warga. Alih-alih memberikan kebugaran, pesta perayaan olahraga internasional justru digelar di kota yang memberikan risiko tinggi bagi warga untuk mati muda.

 

Membangun tanpa menambah cemaran

Laporan Komisi Lancet mengenai Pencemaran dan Kesehatan awal 2018, merangkum data beban penyakit di seluruh dunia, dan menunjukkan pada 2015, sebanyak 9 juta kematian dini (16% dari seluruh angka kematian global) oleh pencemaran (Lancet Comission, 2018). Dari angka itu, 72% (6,5 juta) kematian dini karena pencemaran udara. Jika dievaluasi, secara global pencemaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan US$4,6 triliun per tahun.

Komisi Lancet bertujuan meningkatkan kepedulian global terhadap pencemaran dan mengakhiri pengabaian penyakit-penyakit terkait pencemaran. Penting mengerahkan sumber daya dan niat politik untuk efektif menghadapi pencemaran. Solusi pun dipaparkan secara rinci dalam penelitian itu.

 

Bhin Bhin merupakan satu dari tiga maskot Asian Games 2018. Bhin Bhin adalah seekor burung Cendrawasih (Paradisaea Apoda) yang merepresentasikan strategi. Bhin Bhin mengenakan rompi dengan motif Asmat dari Papua. Sumber: Asian Games 2018.id

 

Pengalaman global mengajarkan, kunci dari merespon masalah pencemaran adalah strategi jelas dan berbasiskan data. Semua itu terimplementasi dengan kepemimpinan dan sumber daya yang memadai. Strategi ini didasarkan pada hukum dan regulasi serta teknologi. Perlu evaluasi terus menerus, didampingi penegakan hukum kuat, dan menggabungkan prinsip pencemar membayar.

Kembali pada Jakarta dan Palembang, tercemarnya udara sangat erat kaitan dengan kebijakan pembangunan. Dalam kasus udara Jakarta, sumber pencemar utama adalah transportasi (parameter PM dan NOx), industri dan pembangkit listrik (parameter SO2) (Puji Lestari, 2018).

Dalam kasus Palembang, pembukaan lahan gambut untuk sawit dan hutan tanaman industri serta abainya pengawasan atas pembukaan lahan tanpa bakar, merupakan faktor utama asap melanda kota  itu (WRI, 2015).

Artinya, intervensi mengurangi beban pencemar harus mampu mempengaruhi kebijakan pembangunan pada sektor-sektor utama penyumbang beban ini. Kebijakan yang menambah beban pencemar harus diperhitungkan dengan seksama. Jika perlu, dilakukan moratorium penambahan beban pencemar.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan proyeksi dampak kebijakan, rencana dan program tertentu terhadap kesehatan publik. Contoh, laporan Greenpeace memperkirakan 29 PLTU Batubara yang telah dan akan beroperasi dalam radius 100 km di sekitar Jakarta mengakibatkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat badan rendah setiap tahun. Contoh lain, prakiraan nilai ekonomi kesehatan publik jika standar Euro4 diterapkan, yang Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) perkirakan Rp1.648 triliun– Rp1.656 triliun (2005-2030).

Seharusnya,  perumusan kebijakan pembangunan pemerintah belajar dari studi-studi masyarakat sipil di atas. Setidaknya,  248 proyek strategis nasional yang dipercepat melalui Perpres No. 28 tahun 2017, mencakup 30.477 MW PLTU batubara (RUPTL 2018-2027) dan pembangunan PLTSa di 12 kota, selayaknya mempertimbangkan dampak kesehatan dan eksternalitas dari proyek-proyek itu. Begitu juga perumusan rencana pembangunan, terutama rencana pembangunan jangka menengah nasional dan daerah serta rencana kerja tahunan.

 

 

Niat politik

Walaupun relatif sederhana, Indonesia memiliki instrumen dasar mengartikulasikan strategi pengendalian pencemaran berdasarkan data. Baik dalam pengelolaan kualitas air maupun udara, Indonesia memiliki peraturan pemerintah dan peraturan turunan UU lain.

Peraturan ini memuat bagaimana seharusnya pengumpulan data kualitas udara, pengolahan dan penginformasian. Data olahan akhirnya jadi dasar perencanaan kebijakan, dan pelaksanaan program. Namun, implementasi seringkali terbentur anggaran dan sumber daya. Lagi-lagi niat politik untuk memprioritaskan pengendalian pencemaran dipertanyakan.

Dalam konteks udara,  misal, belum satu pun wilayah administratif, termasuk Jakarta dan Palembang, yang membuat rencana aksi status mutu udara tercemar. Padahal,  secara detail PermenLH No. 12 Tahun 2012 telah memberikan panduan bagi instansi lingkungan hidup di daerah.

Selain perumusan strategi intervensi tepat sasaran, batasan hukum atas cemar atau tidak cemarnya suatu media lingkungan juga jadi hal penting. Mengapa? Karena batasan inilah yang akan menentukan strategi yang harus dilakukan aparatur negara terhadap udara, air atau tanah.

Lancet Comission menyebutkan, salah satu faktor keberhasilan pengendalian dampak kesehatan dari pencemaran adalah pilihan membuat standar lingkungan yang melindungi kesehatan manusia.

Indonesia,  memiliki berbagai standar lingkungan dan pedoman penetapan, namun standar ini kerapkali masih jauh dari level aman, yang cukup melindungi kesehatan. Misal, standar udara ambien di Indonesia,  untuk parameter PM2.5 dianggap memiliki hubungan kausal erat dengan kematian dini, 2,6x jauh lebih longgar dari WHO (untuk pengukuran 24 jam). Akibatnya, ketika informasi resmi di Indonesia menyatakan “aman,” sesungguhnya udara yang dihirup masyarakat mungkin jauh melewati batas aman sesuai rekomendasi WHO.

Asian Games merupakan momentum tepat bagi pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan dan komitmen dalam membangun Indonesia sehat. Ini bisa dimulai dari lingkungan hidup yang tak membunuh atau menambah beban penyakit pada warga.

Memaknai momentum ini, seharusnya pemerintah tak hanya berorientasi selebrasi, juga berani mengadopsi komitmen konkrit untuk menghitung dampak pembangunan terhadap kesehatan, termasuk mengubah kebijakan jika berdampak signifikan terhadap kesehatan publik.

Pemerintah juga harus mengalokasikan sumber daya lebih ambisius untuk pengendalian pencemaran dan membuat hukum berdasarkan standar lingkungan yang protektif bagi kesehatan manusia.

 

*Margaretha Quina, adalah Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Tulisan ini adalah opini penulis.

***

Keterangan foto utama: Jakarta, salah satu daerah dengan cemaran udara tinggi. Asian Games, mestinya jadi momentum perbaiki kualitas udara. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Informasi Asian Games pada tiang proyek monorel gagal di sekitar Gelora Bung Karno, Jakarta. Bagaimana kualitas udara Jakarta, di sekitar wilayah pertandingan? Foto: Sapariah Saturi

 

Exit mobile version