Mongabay.co.id

Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

Kemegahan pembukaan Asian Games Jakarta-Palembang 2018 masih membekas di benak banyak orang. Lidah api kualdron utama di stadion juga berkobar-kobar dan dipastikan tak akan mati selama kompetisi olahraga antar 45 negara di benua Asia ini.

Nyala api pada kualdron utama di dalam stadion dan kualdron di luar stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta selama perlombaan berlangsung, menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bagaikan semangat para atlet yang bertanding salah satunya dilambangkan dengan nyala api. Karenanya, nyala kobaran api di kualdron tersebut tidak boleh mati sedetik pun selama Asian Games berlangsung sampai 2 September nanti. Sumbernya disebut energi gas bumi yang merupakan energi bersih dan ramah lingkungan.

Pembukaan Asian Games ini juga membuat seorang nenek di Denpasar, Bali terharu. Ni Nengah Ariani, seorang pedagang nasi ini takjub melihat nyala api dan seremonial pembukaan yang dihadiri puluhan ribu orang. Namun, beberapa saat kemudian ia berteriak pada suaminya, “Lho, kok tidak dapat beli gas? Aduh, susah sekali nyari gas beberapa hari ini,” teriaknya menyambut suami yang membawa dua tabung gas kosong bercat hijau.

Ariani memastikan ke sejumlah tetangganya dan juga beberapa warung yang menjual eceran tabung gas. Selain untuk memasak aneka lauk untuk dagangan, ia juga perlu stok gas untuk dijual. Namun yang paling merisaukan adalah kebutuhan sendiri, apalagi jika sisa gas terpasang di kompor saat ini habis. Selama beberapa hari, kurang dari 10 tabung hijau miliknya untuk jual-beli kosong tak terisi.

baca : Bali Memerlukan Percepatan Energi Bersih dan Terbarukan

 

Nyala api di puncak kualdron luar kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Selama penyelenggaraan Asian Games 2018, nyala api yang bersumber dari gas itu tidak pernah mati. Foto : ESDM/Mongabay Indonesia

 

Nasib Ni Luh Sueni mungkin lebih beruntung. Warga Nyuhtebel, Kabupaten Karangasem, Bali ini tak tergantung pada tabung gas milik perusahaan gas. Sueni mendapat pasokan gas dari kandang-kandang ternak sapi program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) di samping rumahnya. Jadilah ia bisa merebus air sampai membuat minyak kelapa dari biogas olahan kotoran ternak ini.

Karena baru beroperasi sejak Februari 2018 lalu, Sueni belum sepenuhnya memanfaatkan gas yang dihasilkan dari bak-bak penampung saringan kotoran sapi ini untuk memasak dan penerangan rumah. Ia mencadangkan kompor gas lain sebagai antisipasi jika gas ngadat atau ada masalah di instalasi bantuan pemerintah ini.

Warga Nyuhtebel banyak yang memiliki ternak ayam, babi, dan sapi. Jika kotorannya tidak diolah, bisa jadi mencemari lingkungan. “Saya senang sekali kalau kotorannya bisa ditampung, jadi lebih bersih. Gasnya saya pakai masak air dan makanan babi,” seru Luh Sri, warga lainnya, girang. Sayangnya instalasi gasnya ngadat dan petugas pendamping tak jua tiba. Investasi Rp2,5 juta untuk bangun instalasi ini hanya dirasakan sekitar 6 bulan. Sementara desa mensubsidi 50%, sekitar Rp2,5 juta. Padahal ia senang karena api dari biogas ini aman dan bisa mengurangi bau limbah babinya. Ia beternak indukan untuk dijual bibitnya.

Warga Nyuhtebel tidak menyerah memanfaatkan gas dari kotoran ternak yang melimpah di desanya walau sejumlah percobaan instalasi biogas lain tidak berfungsi optimal. “Kelemahannya diperawatan dan pendamping sering tidak memberi solusi. Service center harus siap setiap saat,” papar I Ketut Mudra, Kepala Desa yang setia mendorong pemanfaatan biogas ini.

baca juga : Mewujudkan Kemandirian Energi Berawal dari Desa di Bali

 

Ni Luh Sueni, seorang warga Desa Nyuhtebel, Kabupaten Karangasem, Bali memantik kompor yang dialiri biogas dari instalasi program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri). Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Program Simantri yang digulirkan Pemerintah Provinsi Bali sejak 2009 ini untuk percepatan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan petani kecil dengan basis kegiatan usaha pembibitan ternak sapi Bali di kandang koloni.

Mudra menyebut syarat penerima Simantri adalah kelompok tani menyediakan tanah kelompok seluas 10 are ke Bali Mandara. Lahan tersebut untuk tempat bangunan kandang koloni, rumah kompos, gudang pakan ternak, instalasi biogas, dan tempat umbaran anak sapi.

Setelah lolos verifikasi, kelompok akan mendapatkan SK Gubernur sebagai kelompok simantri, dan mendapatkan dana hibah dari Gubernur sebanyak Rp200 juta untuk keperluan membeli 20 ekor indukan betina sapi Bali, kandang, dan instalasi biogas 2 unit. Juga pengadaan benih dan bibit tanaman, benih ikan lele, dan sarana pelengkapnya. Bali Mandara menargetkan 1000 Simantri terbangun di seluruh Bali.

 

PLN Bangun PLTS

Tak akan hilang dari sejarah, Pemprov Bali pernah berkomitmen untuk menggunakan 100% energi bersih, saat Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyatakan pada forum Clean Energy Forum pada 2016 di Nusa Dua. “Bali punya prinsip Tri Hita Karana. Keseimbangan dengan lingkungan. Bali pulau kecil jadi penting untuk energi bersih,” serunya saat itu.

Dalam forum itu diperlihatkan desain Clean Energy Center of Excellence atau Pusat Keunggulan Energi Bersih Indonesia yang akan dibangun di Jimbaran, Kabupaten Badung. Itu sebagai komitmen Pemerintah Indonesia untuk penelitian, pengembangan hasil penelitian, pendidikan, hingga fasilitasi investasi dalam pengembangan energi bersih.

menarik dibaca : Ini PLTS Kayubihi, Satu-satunya Proyek Energi Terbarukan yang Masih Beroperasi di Bali

 

Papan informasi tentang pengembangan energi bersih di Indonesia di sebuah stan khusus Clean Energy Center of Excellence (CoE) atau Pusat Keunggulan Energi Bersih Indonesia dalam acara Bali Clean Energy Forum (BCEF) 2016. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Fakta berkata lain, pada 2017 malah ada SK. Gubernur Bali No.660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang izin lingkungan hidup pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang 2×330 MW. Tambahan unit baru dari yang sudah ada, dengan daya lebih besar Berbahan bakar batubara, sumberdaya polutif.

Warga Celukan Bawang dan Greenpeace pun menggugat pembangunan PLTU itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar pada 24 Januari 2018. Sayangnya PTUN Denpasar pada Kamis (16/8/2018) menyatakan menolak gugatan tersebut.

Greenpeace-Indonesia sebelumnya menerbitkan laporan tentang dampak PLTU Celukan Bawang, di Bali utara. Laporan berjudul “Meracuni Pulau Dewata” yang disampaikan ke publik pada April lalu menyoroti dampak sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.

Pembangunan PLTU Celukan Bawang, menurut penggugat, juga tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional maupun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah. RUPTL Nasional 2017-2026 menyatakan bahwa Provinsi Bali sebagai destinasi wisata dunia juga memiliki sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) yang melimpah.

Dalam dokumen RUPTL 2018-2027, tercatat bahwa beban puncak Bali yang terjadi pada November 2017 sebesar 825 MW. Dengan kondisi total suplai listrik sudah sebesar 30% di atas beban puncak, yaitu sebesar 1.248 MW. Dari data tersebut jaringan listrik Jawa-Bali sudah mengalami kelebihan kapasitas dan tidak membutuhkan adanya tambahan penyediaan tenaga listrik dari pembangkit baru terutama batubara.

baca : Sengketa PLTU Berbahan Batubara di Bali Utara [Bagian 1]

 

Greenpeace dan nelayan Celukan Bawang Bali utara melakukan aksi menolak pembangunan PLTU Celukan Bawang 2 pada Selasa (18/4/2018). Foto : Made Nagi/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Deputi Manajer Perencanaan PLN Bali I Putu Priyatna mengatakan PLN menargetkan pada 2027 membangun instalasi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebanyak 316 MW. Diantaranya melanjutkan instalasi mangkrak yang dibuat pemerintah di Kubu, Karangasem 100 MW dan di Negara-Jembrana 100 MW. Keduanya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ini diyakini akan mendukung upaya Bali Clean Energy.

Sementara di Nusa Penida akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan PLTS skala kecil untuk cadangan. Saat ini kawasan kepulauan yang makin ramai wisatawan ini dipasok PLT Diesel berbahan bakar solar 7,5 MW di Kutampi. “Konsumsi 7 MW dan pembangkit kita 7,5 MW. Sudah mepet,” jelasnya.

Di Nusa Penida juga instalasi EBT banyak mangkrak. Menurut Priyatna belum ada hasil atau hasilnya tidak signifikan. “Ini punya Pemda juga, kami tak bisa memaksa mereka. Sama dengan Kubu. Proyek studi-studi, bukan punya kami,” tambahnya.

Kegagalan ini, menurutnya, karena teknologi dan pengelolaan. Ia meyakini Bali memerlukan kabel Bali Jawa Crossing (BJC). Misalnya seperti saat ini ketika Bali kelebihan suplai bisa dipakai di Jawa. Beban puncak saat ini 860 MW, dan kekuatan mesin PLN sekitar 1200 MW, kelebihan 33%. “Kalau berlebihan tapi tak dibawa ke Jawa rugi kita. Bisa mengurangi Biaya Pokok Produksi,” lanjut Priyatna.

baca juga : PLTS Kubu, Proyek Ambisius yang Kini Tidak Terurus

 

Wayan Sudiadna, penjaga PLTS Kubu, Karangasem, Bali, yang kondisinya memprihatinkan dengan banyaknya panel surya yang rusak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Deputy Manager Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Gusti Ketut Putra menambahkan pihaknya terus berupaya melobi Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali yang menolak pembangunan BJC lewat kabel di udara.

PHDI menolak dengan alasan melanggar area kesucian pura karena tiang dibangun di dekat Pura Segara Rupek, Bali Barat. Tiang BJC setinggi 376 meter di area tapak 100×100 meter. “Kita akan mengikuti saran PHDI. Bangunan tower bisa dipindah. Masih melakukan pendekatan PHDI,” sebut Putra.

Priyatna menyebut kabel bawah laut menghubungkan supply listrik Bali-Jawa sudah mulai rusak. Dari 8 kabel ditanam, kini berfungsi 4. Tiap kabel mengalirkan masing-masing 100 MW. Sementara jika lewat atas atau udara kabelnya berdaya jauh lebih besar 1400 MW x 2 sirkuit, total 2800 MW.

Jika Bali kelebihan daya, kenapa mau cari lagi ke Jawa? “Supaya kelebihan Bali ditransfer ke Jawa dan sebaliknya,” sebut Priyatna. Terutama ketika masa perawatan. Walau berencana menambah EBT, ia ragu 2800 MW bisa dipasok PLTS seluruhnya dari Bali. Akan kesulitan area. Ia menyontohkan di Kubu dengan daya 100 MW perlu 120 hektar. “EBT mangkrak bukan punya kita, yang profesional ngurus listrik kan PLN,” tangkisnya soal sejumlah proyek EBT mangkrak di Bali.

Jika setiap rumah diberdayakan untuk instalasi solar panel menurutnya masuk akal namun harga teknologinya masih mahal. Jika rata-rata kebutuhan tiap rumah tangga 1300 kwh perlu dikaji berapa biaya yang diperlukan warga.

 

Exit mobile version