Mongabay.co.id

Pembangkit Listrik Datang, Beragam Masalah Menghadang Warga Palmerah

Asap mengepul pekat keluar dari moncong Boiler PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Jambi. Warga menuding asap itu sebagai sumber polusi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat di dua rukun tangga Kelurahan Payo Selincah, Palmerah,  hidup terkepung pembangkit listrik. Kota Jambi memang perlu listrik, tetapi warga juga perlu kehidupan tenang dan lingkungan yang sehat.

 

Siang itu,  awal kemarau. Hampsah terbangun dari ranjang setelah satu jam tertidur.  Dia perlu banyak istirahat guna memulihkan kesehatan yang memburuk sebulan terakhir.

“Batuk, palak pening, kepala berputar, belum bangun-bangun,” katanya.

Nenek 84 tahun itu tinggal di RT 25, Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Palmerah, Kota Jambi, Jambi. Rumahnya hanya berjarak lima meter dari dinding Gardu Induk PLN Payo Selincah,  terpisah jalan.

Dia tinggal di sana sejak 1960, jauh sebelum gardu induk PLN ada. Waktu itu harga tanah Rp1.000 per tumbuk—satuan luas yang umum digunakan orang Jambi untuk tanah 100 meter persegi.

Saban hari ada puluhan truk mengangkut gilingan tandan sawit melintasi rumahnya. Limbah sawit itu sengaja didatangkan untuk bahan bakar PLTU kelolaan PT. Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL) Jambi, lokasi sekitar 400 meter dari rumah Hapsah.

Bak truk tertutup terpal, tetapi tak begitu rapat. Banyak serbuk tandan sawit berjatuhan di jalan depan rumah Hapsah. Cuaca panas, serbuk mengering, ringan dan terbang tertiup angin, bercampur debu jalanan yang liar di musim panas.

Hapsah menduga, serbuk limbah sawit jadi penyebab dia jatuh sakit.  “Disiram gak juga, dulu disiram. Mobil kadang datang sampek 10, rame-rame, mobil puso besar lagi. Kadang jam 6.00 pagi sudah lewat sampai sore, sampai malem terus,” katanya.

 

Era menunjukkan pintu rumahnya yang harus ditutup karena ular sering masuk rumah. getaran pembangkit diduga jadi penyebab banyak ular masuk rumah warga di RT 24. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Jalan RT 25 merupakan jalur tunggal pengangkutan limbah sawit menuju PLTU. Hampir setiap hari warga membersihkan serbuk tandan sawit yang jatuh di jalan. Warga khawatir, limbah sawit itu bahaya kalau jadi mainan anak-anak.

“Kalau kena hujan itu bau,” kata Fauzi,  tetangga Hapsah.

PLTU dibangun di bekas tempat usaha pengolahan kayu yang beroperasi sekitar 2010. Pada 2012, sawmil tutup,  berubah jadi PLTU. Fauzi bilang, tak ada warga tahu kalau sawmil itu jadi pembangkit listrik.

“Warga kan dak tahu, kirain bangun-bangun apo kan. Yang jadi bahan pertanyaan warga itu dirikan PLTU di pemukiman warga izin dari mana?”

Sebelum dan selama proses pembangunan tidak ada sosialisasi dari perusahaan pada warga RT 23, 24, 25, 26,  yang tinggal di sekitar PLTU. “Tahu-tahu tegak di situ,” kata Fauzi.

Kira setahun pembangunan,  PLTU beroperasi. Puluhan truk bermuatan 40 ton limbah sawit datang silih berganti mulai pukul 17.00 hingga pukul 02.00 dini hari.

Roda-roda truk berputar pelan menggilas jalan berbatu, dan setiap kerikil terhempas akan mengembuskan debu, tersapu angin lalu menempel di rumah warga, maupun pepohonan.

Kondisi berubah tak kala Kota Jambi terguyur hujan tanpa henti. Jalan sempit, penuh lumpur basah. Hancur. Warga pun mulai ribut.

 

 

Kesepakatan

Keributan warga berlanjut hingga mediasi di kantor Kelurahan Payo Selincah 21 Juli 2017. Pertemuan mulai pukul 14.00 siang usai shalat Jumat memunculkan lima kesepakatan antara warga dengan RPSL.

Isinya, pertama, kendaraan boleh masuk, jenis PS bermuatan bersih 10 ton. Kedua, perbaikan rumah retak yang terkena dampak akan dilakukan PLN Agustus 2017 dengan dana tanggung jawab sosial. Ketiga, perbaikan jalan rusak dan pembangunan gorong-gorong akan diaspal PLTU.

Keempat, PLN, PLTU, pemasok dan pelaku usaha lain memberikan kontribusi untuk kesejahteraan warga terdampak langsung. Terakhir, apabila terjadi pelanggaran, akan diambil tindakan sesuai aturan berlaku.

Kesepakatan itu ditandatangani 11 orang, termasuk PT RPSL, PT PLN, pemasok, lurah, camat, RT 25 dan warga.

Tigabelas hari setelah kesepakatan, RPSL mengeluarkan surat pernyataan menyanggupi pengaspalan jalan sepanjang 100 meter dan pembuatan gorong-gorong. Surat 3 Agustus 2017,  itu ditandatangani M. Galih Akrama, HRD Manager RSPL.

Kesepakatan yang dibumbui tanda tangan di bermaterai Rp6.000 itu hanya bertahan beberapa bulan. Perusahaan melanggar.

 

Truk mengangkut limbah sawit untuk bahan bakar PLTU. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Fauzi mendapatkan surat jalan pengangkutan limbah sawit untuk bahan bakar PLTU melebihi tonase disepakati. Pada surat tertanggal 24 November 2017 tertera muatan truk 21.340 kg.

Hubungan warga dengan PLTU kembali  memanas.

Fauzi bilang, persoalan angkutan bahan bakar PLTU tak sebatas tonase, juga waktu pengangkutan sampai larut malam.

Kito warga susah tidok, sampai malam letam-lentum mobil masuk.”

“Ini tikungan rumah sayo, ini pernah berebutan jalan, sampai tumbur-tumburan. Ayam warga banyak yang mati, ini akibat sopir ngejar trip,” katanya sembari menunjuk jalan menikung, di dataran tinggi, nyaris di atas rumanya. Dia khawatir ada truk terguling dan menghantam rumahnya.

Sejak awal, hubungan warga RT 25 dengan PLTU tak pernah harmonis. Tak pernah ada tegur sapa. Pegawai PLTU juga tak mau tahu apa keluhan warga.

“Yang penting lewat-lewat bae, lantak lah nak mati-matilah kamu. Nah, itulah dio kan. Nak tebalik-baliklah mobil lantahlah kamu, ibarat macam itu dio (PLTU).”

Fauzi mengaku pernah ketemu Galih. Dia cerita soal keluhan warga yang terganggu karena aktivitas pengangkutan limbah sawit sampai larut malam. Jalan di RT 25 yang sempit dan licin saat diguyur hujan, rawan kecelakaan.

Omongan Fauzi tak digubris. Masalah angkutan tak selesai sampai sekarang.

“Kami sudah bosan ngadu sano-sini ke pemerintah Jambi, tapi sampai saat ini belum ada jugo tanggapan.”

 

***

Rumah Fuad di RT 24, hanya berjarak 100 meter dari PLTU. Suara bising seperti deru pesawat tiba-tiba muncul kerap bikin terkejut. Setelah lima tahun, Fuad mulai terbiasa.

Setiap pagi, di teras rumah banyak butiran halus mirip biji tandan sawit. Fuad, berpikir  butiran itu limbah pembakaran PLTU.

Awalnya, dia pikir tak perlu khawatir. Sampai, Fahmi,  anaknya mengalami iritasi kulit. Di beberapa kulit mengalami ruam, berair, gatal, jika digaruk akan jadi koreng.

Fuad membawa bocah delapan tahun itu periksa ke Klinik Tanjung Lumut. “Kata dokter karena lingkungan tidak sehat,” katanya.

Dia mulai khawatir. Fuad menduga, asap tebal yang menyembur keluar lewat moncong boiler itu sebagai sumber polusi. Beberapa bulan terakhir, tetangganya banyak batuk, sesak nafas, sebagian mengeluh sering sakit kepala.

Sarmiati, tetangga Fuad menyadari kalau lingkungan RT 24 sudah tidak sehat. Rumah warga hanya tinggal 20-an itu dikepung pembangkit listrik. Di sekitar RT 24 dan 25 ada empat pembangkit listrik.

Perempuan 33 tahun itu, minta pengelola PLTU perhatian pada kondisi warga sekitar.

“Kami jangan hanya dapat dampak buruknya. Kasihlah kami ini kompensasi bulanan gitu, apa sembako, apa materi,” katanya.

Meski sudah lama tinggal dekat PLTU, Sarmiati masih sering kaget, bahkan terbangun dari tidur saat mesin PLTU tiba-tiba bergemuruh. “Suaranya tak tentu (waktu), suka-suka. Kalau malem bisa kaget.”

 

Gardu induk PLN Payo Selincah. gardu ini ada di sekitar rumah warga. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Lima tahun sebelumnya, sewaktu uji coba pengoperasian PLTU, warga diberi penutup telinga oleh perusahaan. Tujuannya, tak lain agar tak terganggu dengan suara bising karena mesin pembangkit listrik. Kata Sarmiati, PLTU bilang hanya 10 hari pertama untuk uji coba.

“Warga maulah, katanya cuma 10 hari, eh tahu-tahunya berlanjut sampai produksi, sampai sekarang.”

Entah sudah berapa puluh kali lapor RT, lapor Lurah, camat hingga Walikota Jambi, tak pernah ada solusi.

Keributan berkepanjangan itu sampai ke kuping Muhammad Fauzi, ditunjuk sebagai Pejabat Sementara Walikota Jambi menggantikan Fasha,  yang sedang cuti kampanye. Fasha maju sebagai petahana betarung melawan wakilnya, Abdullah Sani mencalon diri sebagai Walikota Jambi.

Fauzi cukup perhatian soal lingkungan. Sebelum memenangi lelang jabatan Kepala Dinas Ketenagakerjaan Jambi, dia pernah menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun.

Minggu terakhir April dia datang ke lokasi PLTU. Dia tak melihat rumah warga di RT 24 yang jaraknya hanya 100 meter dari lokasi pembangkit. DLH juga ikut ke lokasi mengambil sampel udara.

Pada 31 Mei, sebulan setelahnya, mediasi antara warga dengan PLTU digelar di kantor Dinas LH Kota Jambi. Perwakilan PLTU dan warga RT 24 diundang, tetapi warga RT 25 dan Ketua RT 26 yang tak diundang ikut datang setelah dapat kabar ada pertemuan.

Saat mediasi, warga kecewa lantaran saat tim DLH datang mengambil sampel, mesin PLTU dimatikan. Warga khawatir hasil sampel tidak sesuai. Warga tegas  menuding, polusi PLTU membuat banyak warga sakit batuk, sesak nafas, gatal-gatal karena iritasi kulit.

Data dari Puskemas Payo Selincah, ada dua anak menderita sakit kulit berulang. Di RT 24 ada 24 anak sakit batuk dan sakit kulit. Puskesmas tak dapat memastikan itu karena polusi PLTU. Di Klinik Tanjung Lumut juga ada pasien datang dengan gejala gatal.

Saya mencoba bertemu dengan PLTU tetapi sekuriti tak mengizinkan. Alasannya,  belum ada janji dan tak ada perintah dari atasan. Saya lantas menghubungi Galih Akrama, HRD Manager RPSL lewat telepon.

Saya juga kirimkan pesan untuk ketemu. Dia tak merespon. Saya juga menghubungi Tarmizi, Manajer Operasional, telepon saya dijawab, saya perkenalkan dari Mongabay dan ingin konfirmasi soal keluhan warga. Telepon langsung ditutup. Tarmizi tak bisa dihubungi.

Saya ketemu Samsuri, rumahnya di RT 24 di belakang gudang beras. Katanya, warga sedang berupaya menuntut kesejahteraan dari PLTU. Sudah lima tahun sejak beroperasi pada 2013, warga belum pernah mendapatkan bantuan.

“Kesejahteraan gak ada, yang ada ngeluarin polusi,” katanya.

“Sekarang ini warga tak menuntut banyak, tolong kesejahteraan perbulan dilancarkan, jalan yang bagus.”

Dia mengganggap tuntutan warga wajar sebagai ganti rugi polusi dari PLTU. Operasi PLTU berdampak langsung pada warga RT 24.

“Saya rasa itu tidak merugikan kok, malah kalau ada apa-apa masyarakat akan membantu.”

 

***

Hasil uji labor Dinas Lingkungan Hidup menunjukkan parameter partikulat 293,3 mg/Nm3 , SO2 sebesar 24,4 mg/Nm3, NO2 sebesar 66,4 mg/Nm3, amonia 0,18 mg/Nm3, dan hidrogen klorida 1,81 mg/Nm3. Semua parameter emisi udara di sekitar PLTU masih ambang batas normal. Termasuk tingkat kebisingan.

Ardi, Kepala DLH Kota Jambi malah menduga, masalah lingkungan keluhan warga hanya jalan masuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. Dia bilang, warga RT 26 juga dekat dengan PLTU tak ikut ribut.

“Masalah lingkungan itu hanya entri poin, subtansi warga menuntut kesejahteraan dari perusahaan,” katanya. “Tapi masuknya dari itu.”

Purwantono, Lurah Payo Selincah seperti ketiban tahlil. Pasca mediasi di DLH, proses penyelesaian dipasrahkan ke kelurahan. Dia masih menunggu jawaban dari PLTU yang ingin melakukan rapat manajemen sebelum memutuskan menuruti tuntutan warga.

“Proses negosiasi diupayakan, saya ingin ketemu satu-satu dulu, kalau ada kemungkinan bisa dipertemukan saya akan pertemukan,” katanya.

 

Butiran debu, dari polusi PLTU Payo Selincah. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Rumah retak

Rasa was-was itu selalu datang ketika malam, saat tubuh mulai lelah dan mata ingin terpejam. Hampir setahun, Era dan anak-anaknya tak lagi tidur di kamar. Dia takut, dinding rumah retak itu roboh. Keempat anak beranak itu memilih tidur di ruang tengah, dekat pintu. Jika dinding runtuh, mereka bisa langsung lari ke luar.

Hampir semua dinding rumah Era retak rambut, di beberapa bagian keretakan sebesar ibu jari orang dewasa, membelah dinding.

“Inilah yang paling nak rubuh,” kata Era, menunjukkan kerusakan rumah paling parah dibanding rumah lain.

Warga RT 24 seperti mengasingkan diri. Wilayah mereka di kelilingi empat pembangkit listrik: PLTMG 30MW kelolaan konsorsium PT BBC, PT STS, PT MEP. PLTMG 50MW milik PT VPower, PLTG BOT 2 x 50MW milik PT Eramas Persada Energi. Lalu PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Lestari. Pembangkit pembangkit itu seperti tembok pembatas yang menyikap pemukiman dari interaksi dunia luar.

Rumah Era berdiri sekitar 100 meter dari dinding beton Eramas Persada Energi. Keduanya terpisah tanah kosong milik PLN yang ditumbuhi rumput setinggi dada. Sebelumnya,  tanah itu rumah warga, tetapi pada 2013,  PLN membebaskan untuk memenuhi syarat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang menyebutkan jarak aman antara pembangkit dengan rumah warga minimal 100 meter.

Sejak itu, rumah Era jadi bumper menahan getaran pembangkit sampai ke rumah warga yang lain. Seiring waktu,  dinding rumah Era mulai retak. Dia menduga,  geratan itu muncul dari mesin pembangkit milik Eramas yang dibangun pada 2010.

“Awalnya,  cuma gini mas (retak rambut) lama-lama jadi macam itu,” dia menunjuk retak selebar jari. Lantai rumah juga hancur, banyak retakan.

Tudingan itu bukan tanpa alasan. Siang itu,  pekan kedua Juni, saya datang ke rumah Era. Angin bertiup bebas, suara mesin pembangkit Eramas terdengar jelas. Di sampingnya berdiri mesin pembangkit PLTMG milik VPower yang mulai aktif sekitar 2016. Suasana mirip di tengah bandara nan sibuk. Sesekali terdengar suara desisan mesin meninggi.

Beberapa saat terasa ada getaran meski tak begitu kuat. Pada waktu tak bisa ditebak, getaran itu terasa kencang. Kaca jendela bergetar. “Paling sering malam,” kata Era.

Menurut Fuad, getaran mesin VPower lebih kencang meski daya listrik lebih kecil dibanding  Eramas. Mesin pembangkit Eramas, katanya,  sudah diredam setelah banyak omongan warga.

“Tapi ia (Eramas) duluan. Ibarat nasi sudah jadi bubur, rumah sudah retak walau nak diredam-redam jugo,” kata Era menimpali.

Akhir 2016, warga yang bingung mendatangi DPRD Kota Jambi. Mereka mengadu minta rumah mereka segera dibebaskan, sebelum runtuh. Usai pertemuan, dewan merekomendasikan rumah warga dibebaskan. PLN setuju.

Rapat soal pembebasan lahan digelar di PLN Pembangkitan Sumbangsel sektor pembangkitan Jambi pertengahan 2017. Masalah pembebasan lahan tak selesai.

Belakangan, kabar pembebasan lahan kembali terdengar. Nama Ahmadi, SDM PT. PLN (Persero) Sektor Pengendalian Pembangkitan Jambi disebut-sebut pernah berkirim pesan WhatsAap dengan ketua RT 24, intinya pembebasan lanjut. Warga tak tahu kapan.

Sebelumnya, PLN pernah menawarkan renovasi rumah warga retak, tetapi banyak ditolak. Alasannya, renovasi oleh PLN.

“Pernah pengalaman, nenek sayo (Hampsah), rumahnya renovasi PLN tapi tanggung-tanggung, renovasi cuma separuh, sampai sekarang tidak dilanjutkan lagi.”

Sekitar Agustus 2017, PLN memperbaiki sembilan rumah warga RT 25 yang retak: Rumah Sri, Helda, Margono, Mukhlis, Erna, Lawi, Faisal, Topik dan Hapsah.

Saya melihat, perbaikan rumah Hapsah, hanya bagian depan sampai ruang tamu. Dinding kamar, ruang belakang dan dapur rumah Hapsah dibiarkan tetap retak.

PLN juga pernah bawa tukang untuk merenovasi rumah Era. Melihat banyak dinding retak, tukang jadi bingung. Era juga menolak renovasi.

Rumah Yuli,  baru lima tahun selesai dibangun tetapi  plafon sudah rusak. Di beberapa bagian, dinding juga terlihat retak. Dia merasa tak nyaman dan penuh kekhawatiran.

“ Takut.”

“Tiba-tiba suara kayak orang  perang. Kaget. Apalagi kalau ada mesin yang meledak.” Yuli adalah istri Samsuri.

Jarak rumah Yuli dengan dinding Eramas sebetulnya melebihi batas standar PLN. Sekitar 20 meter lebih jauh dibanding rumah Era. Kendati tetap saja retak.

Konflik warga dengan perusahaan pembangkit listrik di Payo Selincah,  pertama kali terjadi 2013, sempat tenang, tetapi kembali panas pada 2015 dan banyak jadi sorotan media. Saat itu, kata Samsuri, hampir semua media cetak dan TV di Jambi jadikan fokus liputan. Dampaknya, hubungan warga dengan perusahaan makin panas.

PLN ingin rumah retak diperbaiki, warga minta dibebaskan.

Samsuri, pernah ketemu Ahmadi. Pada dia, Ahmadi bilang, proses pembebasan rumah warga sedang berjalan. Dana pembayaran ganti rugi untuk pembebasan rumah warga juga sudah disiapkan.

“Juli akan ada tim KJPP mau turun, setelah semua didata akan ada pertemuan untuk nego harga,” kata Samsuri.

Namun sampai Agustus tak ada tim KJPP turun. Sepertinya, Samsuri keliru. Ahmadi yang saya temui mengatakan, Juli itu baru pengambilan keputusan apakah proses pembebasan lahan lanjut atau tidak. Pihak direksi sepakat lanjut, sampai sekarang masih proses. PLN, katanya,  perlu melibatkan KJPP dan memvalidasi semua surat kepemilikan tanah warga.

“Jika nanti semua clear, secara legalitas, harga sepakat, proses selanjutnya pembebasan,” kata Ahmadi.

 

Rumah warga yang belum dibebaskan, berdiri sekitar 30 meter dari dinding pembangkit listrik milik PT Eramas Persada Energy. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

***

Selasa, 7 Agustus 2018, PLN Pembangkitan Sumbangsel menggelar pertemuan di Kantor Kejaksaan Tinggi Jambi. Petermuan itu dihadiri PLN, Kejati dan Camat Pal Merah.

“Sekarang persiapan kontrak dengan KJPP untuk perhitungan satuan harga tanah. Terget September tim udah jalan,” katanya.

Kendati proses pembebasan berlanjut, Ahmadi membantah keretakan rumah warga karena getaran mesin pembangkit. Katanya, PLN bekerja sesuai standar baku mutu lingkungan. Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi juga mengawasi.

“Getaran, kebisingan semua kita pantau, artinya tidak boleh ada melebihi baku mutu,” katanya.

Dia menunjukkan dua penghargaan proper peringkat biru diraih PLN (Persero) Sektor Pengendalian Pembangkitan Jambi pada 2015-2016 dan 2016-2017. Menurut dia, penghargaan itu bukti keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup.

Ahmadi justru mempersoalkan struktur bangunan rumah warga, kontur tanah dan cuaca, yang bisa jadi penyebab rumah retak.

“Apakah struktur bangunan sudah pakai pondasi? Pemikirannya (warga) harus kita buka. Rumah saya yang jauh pun retak, logikanya tidak mungkin karena pembangkit, karena getaran tidak sampai ke rumah kita.”

“Kalau getaran itu ada, pasti semua (bangunan) sudah rata dengan tanah. Buktinya,  di lingkungan kantor kita sendiri banyak bangunan, yang tidak ada masalah apa-apa.”

Dia juga menampik jika perbaikan sembilan rumah di RT 25 itu dianggap bentuk  pertanggungjawaban dampak lingkungan.

Menurut Ahmadi, bila renovasi rumah warga itu bagian dari program sosial anggaran CSR Rp150 juta. Tujuannya, membantu warga sekitar dengan kondisi mengkhawatirkan.

“Kalau karena retak kita harus buktikan, kita tidak bisa keluarkan dana sembarangan.”

Dia menganggap, isu soal lingkungan sengaja digiring agar warga segera dibebaskan.

Di akhir petemuan saya, Era terlihat bingung. Entah berapa lama lagi dia dan keluarga harus tinggal dalam rumah penuh bahaya itu, tanpa diduga dinding bisa runtuh.

“Nggak taulah mas ya, sudah banyak wartawan koran, TV datang ke sini, tapi nasib kami tetaplah kayak gini. Bukan sayo tak percayo, tapi…”

 

Keterangan foto utama:  Asap mengepul pekat keluar dari moncong Boiler PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Jambi. Warga menuding asap itu sebagai sumber polusi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Patok tanah milik PLN, yang ada di samping rumah Samsuri. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version