Mongabay.co.id

Menanti Pembahasan Lanjutan RUU Masyarakat Adat, Berikut Beberapa Poin Masukan

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra

 

 

Rapat antara DPR dan pemerintah, memutuskan, rancangan Undang-undang masyarakat adat bakal lanjut pembahasan yang mulai pada awal persidangan pertama tahun sidang 2018-2019, pada 16 Agustus lalu. HIngga kini, belum ada rapat lanjutan bahkan pemerintah belum menyerahkan daftar isian masalah (DIM).  Selain itu, kalangan organisasi masyarakat sipil menilai, draf RUU-MA masih banyak permasalahan yang berpotensikan merugikan masyarakat adat.

“Informasi kami dapatkan di Baleg (Badan Legislasi-red), DIM ini belum ada. Kabarnya DIM dari pemerintah ada di Kementerian Hukum dan HAM untuk proses sinkronisasi dan harmonisasi. Kami tidak tahu bagaimana perkembangannya,”kata Muhammad Arman,  Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN dalam diskusi bersama media di Jakarta, awal pekan ini.

Baca juga: Pemerintah-DPR Sepakat Lanjut Bahas RUU Masyarakat Adat

Dia bilang, dalam draf RUU-MA saat ini, masih ditemui banyak kelemahan. Ada beberapa hal sebenarnya tak perlu diatur, katanya,  bahkan kalau jalan terus akan merugikan hak-hak masyarakat adat. Arman sebutkan, antara lain, evaluasi keberadaan masyarakat adat.

“Dalam Pasal 20, 21 ada evaluasi keberadaan masyarakat adat 10 tahun sekali,” katanya.

Dalam masa itu, katanya, bisa keluar penetapan yang menyatakan masyarakat adat sudah tak ada. “Pasal ini tak perlu ada. Mengapa? Justru semangat dari RUU ini untuk melindungi masyarakat adat,” katanya.

Baca juga: Menyoal Surat Mendagri, Bagaimana Nasib RUU Masyarakat Adat?

Arman bilang, soal evaluasi ini berangkat dari kerangka berpikir salah, dengan menempatkan masyarakat adat sebagai bentukan negara dan hak-hak kepada mereka dipandang sebagai pemberian negara.

“Frasa pengakuan dalam konteks masyarakat adat, seharusnya dipahami sebuah penegasan atas sesuatu yang sudah ada sebelumnya.”

Selain itu, ada bab prosedur pendaftaran atau penetapan masyarakat adat. Bab ini, katanya,  mengandung semangat “meniadakan” masyarakat adat ditandai dengan pengaturan proses pengakuan yang panjang, melewati birokrasi berjenjang dan bersifat politis.

“Dalam RUU ini, Menteri Dalam Negeri adalah pejabat negara yang diberikan kewenangan menetapkan masyarakat adat. Prosedur yang diatur dalam RUU bahkan lebih buruk dari pengaturan dalam Permendagri Nomor 52/2014.”

 

Bahtiar ditangkap pada November 2014 silam karena menebang 40 batang pohon di kebun sendiri di Desa Turungan Baji, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, yang juga diklaim sebagai kasasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Dinas Kehutanan Sinjai . Ia kemudian divonis Pengadilan Negeri Sinjai dengan hukum 1 tahun subsider 1 bulan. Foto : Wahyu Chandra

 

RUU-MA, katanya, seharusnya memuat mekanisme pendaftaran masyarakat adat yang sederhana dan lebih menjamin ketetapan dan kecepatan. Komisi Nasional Masyarakat Adat, katanya, perlu ada.

Soal masalah penamaan entitas masyarakat adat. Dalam RUU ini, katanya, masih pakai istilah masyarakat hukum adat. Padahal menurut Arman, lebih tepat pakai istilah masyarakat adat.

“Dalam argumentasi kami, istilah masyarakat adat itu adalah lebih sosiologis. Kita ingin mengakhiri penamaan, pelabelan-pelabelan, istilah lain justru mendiskriminasi seperti masyarakat terpencil dan macam-macam.

“Dalam RUU ini, kita ingin memastikan yang disebut masyarakat adat itu adalah masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional dalam konstitusi.”

Masyarakat adat, katanya,  diatur dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945. Seharusnya, RUU  ini untuk mengakui keberadaan masyarakat adat sesuai pasal itu.

AMAN mencatat,  sedikitnya ada 127 kasus dihadapi masyarakat adat dan berakibat kriminalisasi. Atau sedikitnya 3,2 juta masyarakat adat terancam hak warga negaranya. Mereka tak bisa menyalurkan hak politik karena wilayah masuk kawasan berkonflik, seperti kawasan hutan dan konsesi atau hak guna usaha (HGU).

Kemendagri, berkali-kali menyatakan, mereka tak mau mengeluarkan tanda bukti kependudukan berupa KTP kalau masih mendiami kawasan-kawasan berkonflik.

“Ada 1,2 juta jiwa menempati wilayah konservasi, dan terancam akan dipindahkan berdasarkan Perpres 88. Kenapa kemudian, karena wilayah itu ditetapkan negara sebagai wilayah yang semestinya tak ada orang. Padahal kita tahu, masyarakat itu ada sebelum republik ada. Mereka menempati wilayah adat itu, berdasarkan asal usul, turun menurun,” katanya.

Dengan begitu, katanya, penting memasukkan ketentuan pasal mengenai penyelesaian konflik masyarakat adat dalam RUU ini. Selama ini, katanya, konflik masyarakat adat, seringkali tak memberikan keadilan hukum dan sosial kepada mereka.

Penyelesaian ligitasi mensyaratkan bukti formil dan seringkali tidak dapat dipenuhi masyarakat adat, seperti bukti milik dengan sertifikat. Sementara penyelesaian non ligitasi dengan mengandalkan Komnas HAM juga terkendala kewenangan terbatas. Komnas HAM, katanya,  hanya bisa sebatas memberikan rekomendasi.

Devi Angraini, Ketua Perempuan Aman mengatakan, ada beberapa isu belum masuk dalam draf RUU-MA saat ini. Draf itu dipandang belum menempatkan perspektif gender.

“Ketika orang berbicara gender perspektif, yang dipikirkan hanya perempuan. Padahal tidak. Kata gender itu untuk memastikan bahwa kita berbicara tentang berbagai kelompok,” katanya.

Devi bilang, perempuan adat memiliki hak kolektif. Bahwa pengetahuan, soal benih, perladangan, bagaimana ritual bisa dilakukan, sampai pengobatan berjalan. Perempuan adat dan alam sekitar itu tak bisa terpisahkan.

 

Masyarakat adat di Enrekang menjadikan hutan sebagai ruang suci untuk berbagai ritual, seperti halnya di Komunitas Kaluppini yang sebagian besar ritual adatnya terkait dengan hutan. Foto: Wahyu Chandra

 

Bagi Devi, RUU-MA ini peluang memastikan hak kolektif bisa masuk. RUU-MA, harus menyebutkan eksplitit mengenai hak anak adat dan hak pemuda adat. Terutama peran penting mereka sebagai penerus atau pewaris pengetahuan dan kebudayaan masyarakat adat.

Siti Rakhma Mary Herwati, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, banyak kriminalisasi dialami masyarakat adat karena perampasan ruang-ruang hidup mereka, antara lain hak atas tanah dan sumber daya alam.

Di Indonesia, katanya, ada pasal-pasal yang sering menyasar masyarakat adat, seperti pasal dalam UU Kehutanan tahun 1999, UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

“Secara konseptual, UU P3H ini, memang dirumuskan dengan ceroboh hingga memberi ruang over kriminalisasi kepada orang yang seharusnya dilindungi hukum.”

Dengan begitu, katanya, RUU-MA ini harus dapat mengatasi kriminalisasi yang selama ini banyak dialami masyarakat adat. Kriminalisasi, katanya, terjadi karena ketidakselarasan peraturan perundang-undangan dalam mengakui dan menghormati masyarakat adat.

Selain itu, katanya, dalam draf RUU-MA ini pasal pasal mengenai pemulihan hak atau remedy masih terbatas.

“RUU ini berkewajiban melakukan pemulihan hak asasi dan hak warga negara yang telah dilanggar atau dicabut paksa.”

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional mengatakan, urgensi RUU-MA ini untuk perlindungan masyarakat adat. Selama ini terjadi, katanya, cara pandang negara yang keliru melihat kekayaan alam, dan satu entitas masyarakat adat.

“Cara pandang yang keliru ketika melihat kekayaan alam ini bisa diurus dengan pengetahuan ‘modern’. Modern itu diasosiasikan orang-orang akademik, sekolah dan seterusnya, gunakan teknologi-teknologi dianggap modern. Menegasikan pengetahuan, kearifan dari masyarakat adat,” katanya.

Padahal, nilai-nilai, praktik-praktik pengelolaan kekayaan alam masyarakat adat, katanya, jauh lebih lestari dan berkeadilan. “Ia memagang teguh prinsip atau nilai-nilai kearifan lokal yang memang turun temurun diwariskan.”

Untuk itu, katanya, draf RUU harus memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat terangkum komprehensif.

 

Keterangan foto utama:     Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

Manganjab merupakan ritual tahunan tolak bala yang dilakukan di awal penanaman bibit pertanian, usai panen raya dilangsungkan. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Exit mobile version