Mongabay.co.id

Nasib ‘Penonton’ Kekayaan Pulau Gebe (Bagian 2)

Pulau Gebe, kaya tak hanya sumber tambang juga kekayaan laut. Sayangnya, sebagian besar warga masih memilih jadi buruh daripada mencari pencarian lain seperti melaut atau berkebun dan bertani. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Pulau Gebe,  kaya sumber alam. Sejak tahun 70-an,    sudah masuk perusahaan tambang ke pulau di Maluku Utara ini. Perusahaan datang silih berganti. Sayangnya, kekayaan sumber alam ini, tak sejalan dengan kehidupan warga yang belum lepas dari keterpurukan. Warga bak jadi penonton di pulau mereka yang kaya sumber alam, salah satu nikel.

”Apa yang bisa didapat warga Gebe pasca tambang?” kata Nurhayati Rais,  tokoh perempuan Gebe.

Dia bilang, pengalaman perusahaan tambang di Gebe,  hampir 38 tahun,  seharusnya jadi contoh  bagi semua pihak agar tak lagi jadikan tambang sumber andalan. Potensi Pulau Gebe, katanya,  tak hanya tambang juga perikanan, kelautan dan pertanian.   Tak kalah menjanjikan, potensi pariwisata.

Baca juga: Kala Perusahaan Tambang Silih Berganti Eksploitasi Pulau Gebe (Bagian 1)

Nurhayati mengingat masa jaya PT Aneka Tambang (Antam) mengeksploitasi nikel di Gebe. Warga terbuai. Artis datang menghibur warga tiap peringatan 17 Agustus,  atau ulang tahun Antam. Ada pasar malam dan beragam  kegiatan. Kini, cerita  pasar malam  dan kemeriahan itu tinggal kenangan.

Saat Antam beroperasi, katanya, warga memang mendapatkan air bersih dan listrik. Setelah perusahaan pergi,  warga gelap gulita dan kesulitan air bersih.

“Tak tahu harus bagaimana . Ini karena sebelumnya  selalu dimanja perusahaan. Dulu listrik dan air bersih diberikan   perusahaan gratis selama  beroperasi. Begitu perusahaan angkat kaki,  semua hilang,” katanya.

Meskipun, kini warga bersyukur dalam setahun ini sudah menikmati penerangan dari program Pemerintah Halmahera Tengah  bekerjasama  dengan PLN yang memasang meteran listrik  gratis  untuk warga.

Kalau tidak, katanya, mungkin masih gelap gulita.  “Pemasangan meteran listrik gratis ini baru 2017,” kata Nurhayati.

Perusahaan datang pun tak membangun infrastruktur umum memadai seperti jalan penghubung antar desa. Jalan dari Pelabuhan Gebe  masuk ke perkampungan rusak  parah.  “Jalan itu sejak PT Antam masih ada sampai saat ini tetap  seperti ini. Belum ada perbaikan. Jalan rusak di mana-mana. Di Pasar Gebe,  misal sangat memprihatinkan,” katanya.

Setelah Antam pergi, beberapa desa belum bisa menikmati air bersih layak.  Air bersih layak baru bisa dinikmati warga beberapa desa, seperti Elfanun, Sanaf  Kacepi  dan dan Kacepi.

Tempat penampungan  air bersih ini  belum terurus baik, kadang macet. Bak penampung air bersih juga  sering tersumbat.

Warga pun berencana meminta bantuan kepada perusahaan yang kini masuk Gebe menggantikan Antam, PT Fajar Bakti Lintas Nusanatara (FBLN).

“Mereka akan diminta  melakukan pembersihan  di daerah penampungan air dengan alat berat,” kata Camat Pulau Gebe,  Sofyan Gafur.

Bagi sebagian warga di Kecamatan Gebe, saat Antam pergi mereka seperti mati suri. Perkampungan terlihat tak terurus.  “Ironi begitu nyata terlihat di sebuah pulau yang berisi tambang nikel,” kata Hi Husen Idris,  tokoh masyarakat Gebe.

Setelah Antam pergi, banyak pengangguran, kriminalitas seperti pencurian pun meningkat.

Aset perusahaan pun ikut dicuri dari kabel sampai tiang listrik dijual.  “Itu yang terjadi pasca Gebe ditinggal perusahaan,” katanya.

Mail Soenardi Marlforo,  pemuda Kampung  Kacepi  mengatakan, pulau ini  kaya sumber tambang tetapi tak memberikan kesejahteraan berkelanjutan kepada warga.  Tak kurang, sembilan izin tambang ada di pulau ini.

Mirisnya, kata Mail, kala perusahaan menginjakkan kaki di Gebe  tanpa sosialisasi kepada warga pemilik hak ulayat. “Setiap  ada    perusahaan   mau masuk  ke Gebe, masyarakat sekitar tambang kaget,” katanya.

 

Kawasan Obolie yang setelah ditinggalkan PT Antam kini dikeruk lagi oleh PT FBLN. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kini, FBLN datang gantikan Antam. Sebagian warga Gebe, katanya, bisa bekerja sebagai buruh perusahaan. Mereka pekerja harian yang tak punya posisi tawar. Nurhayati membenarkan ucapan Mail.

Dia contohkan, sekarang sekitar 120 karyawan tak bisa bekerja dengan alasan tungku pembakaran FBLN rusak.  Warga pekerja tak bisa apa-apa.

Nurhayati dan Mail, tak mau warga Gebe terus terpuruk hidup bergantung tambang sebagai buruh perusahaan. Mereka minta, pemerintah memberikan dukungan agar warga bisa bangkit dan mengembangkan potensi lain di Gebe, seperti perikanan dan pariwisata.

 

***

Setelah perusahaan-perusahaan masuk Gebe, sebagian warga tak lagi berkebun atau menanam. Di Desa Kecepi,  misal,  ada program pemerintah menanam jagung dengan benih gratis. Program tak jalan.

Penelusuran Mongabay di lapangan, bantuan jagung dari Dinas Pertanian tak ditanam warga. Mereka membiarkan benih rusak percuma.

“Warga memilih menggantungkan hidup jadi buruh.  Akhirnya,  benih  menumpuk  dan rusak di gudang,” kata Kades Kacepi Hi Husen.

Dia khawatir, ketika bergantung hidup hanya jadi buruh perusahaan akan menyulitkan warga keluar dari kesulitan hidup.

“Menurut saya kejadian pasca tambang Antam  bisa kembali dialami warga. Sebagian besar warga menggantungkan hidup sebagai buruh kasar tambang.  Mereka tak mau berkebun atau menanam,” kata pria juga mantan karyawan Antam itu.

 

***

Sebagian warga Gebe, ada yang protes perusahaan, seperti terjadi Desember 2016. Waktu itu,  warga marah dan merusak fasilitas perusahaan berujung 14 warga orang ditangkap dan dipenjara.

Sekitar 3.000 orang bersama elemen mahasiswa beberapa universitas di Maluku Utara selama empat hari  berturut- turut aksi protes FBLN berujung rusuh.

Selain warga,  Ketua DPRD Halmahera Tengah,  Rusmini Iskandar Alam, juga warga Gebe  ikut jadi tersangka karena ikut serta aksi  dan menjamin  warga tak melakukan perusakan. Politisi PDIP itu dianggap jadi provokator  aksi.

Kala itu, Rusmini berorasi bersama ribuan warga delapan desa di Kecamatan Gebe, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat dan Pemuda Pulau Gebe.

Sebelumnya,   pada 2010, warga juga menggelar aksi. Mereka   menuntut tanggung jawab Antam. Aksi warga bersama eks karyawan Antam itu selain menuntut hak karyawan, juga tanggung jawab pasca eksploitasi di  Gebe.

“Aksi berulangkali digelar  warga Gebe ini karena perusahaan masuk tapi  warga tidak mendapatkan apa-apa. Lihat saja kondisi desa-desa di Gebe saat ini. Sangat memprihatinkan,”  kata Hi Husen Idris,  tokoh  masyarakat Gebe.

Setelah aksi itu, katanya, Antam  mengucurkan dana tanggung jawab sosial Rp33 miliar. Dana sebesar itu,  tidak berbekas di masyarakat.

“Ada program perikanan dan peternakan tapi tak membawa hasil apa-apa. Kami sebagai warga juga bingung,” katanya.

Kala Antam pergi, katanya, ada sejumlah aset  berupa lapangan terbang, pelabuhan maupun lapangan golf. Juga ada Taman Kanak- kanak  (TK Antam), TK Madrasah, dan satu SD–sudah jadi sekolah negeri. Sekolah-sekolah ini, katanya, dulu untuk putra-putri karyawan. Putra putri  Gebe, katanya,  hanya boleh jadi siswa di sekolah itu kalau orangtua atau wali mereka karyawan/ karyawati Antam.  Ada juga peninggalan aset perumahan, yang pernah ditempati karyawan.

Selain itu, ada satu pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), dulu untuk menerangi rumah- rumah karyawan dan areal- areal pertambangan bukan buat warga lokal. PLTD ini, katanya, telah diambil alih  pemerintah daerah dan menerangi Ibu Kota  Halmahera Tengah, dan Kecamatan Weda Kota Satu.

Aprilandi H. Setia, Corporate Secretary Antam, mengatakan, Antam resmi menghentikan  penambangan di Gebe pada  2004. Dia bilang, perusahaan menilai cadangan tak ekonomis, dan terdapat perubahan status kawasan dari hutan produksi menjadi hutan lindung.

Ia sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 302/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Keputusan Nomor 415/KPTS-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Maluku.

Sebelumnya, Bupati Halmahera Tengah telah menyetujui penyelesaian penutupan tambang  Antam Gebe melalui surat Nomor 530/0357 tertanggal  26 Agustus 2013.

Menurut dia, sebagai perusahaan berbasis sumber daya alam, selain berorientasi kinerja keuangan,  juga mendapat mandat dari pemerintah dalam hal stimulus pembangunan daerah. Sejak pertama kali Antam beroperasi di Gebe, katanya, membangun   Bandar Udara Gebe yang memiliki runway kurang lebih 1.000 meter.

“Memang dulu untuk kepentingan perusahaan, saat ini sebagai penunjang mobilitas masyarakat. Harapannya,  mampu meningkatkan perekonomian,” katanya.

 

Di ibu kota Kecamatan Gebe warga teriak krisis air, tidak dengan warga Desa Umera atau bagian selatan Pulau Gebe, sumber air dari gunung yang melimpah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Antam, katanya, juga membangun Pelabuhan Laut Gebe, sekarang jadi sarana perhubungan antar pulau.

Ada  juga  akses jalan   menghubungkan  tujuh desa–lima desa sebelum pemekaran tahun 2011– untuk mobilitas warga.

Khusus desa terjauh,  yakni Umera dan Sanaf Kacepo, selama masa operasi, Antam  menyediakan alat transportasi ke pasar setiap Minggu,  pulang-pergi.  Ada juga dua jembatan Antam sebagai alat penyeberangan sungai di Desa Sanaf Kacepo dan Umera.

Antam, katanya, juga membangun PLTD sebagai sumber listrik di lima desa. Tiga desa lain, katanya, Antam hanya berikan bantuan bahan bakar minyak (BBM) rutin setiap bulan selama masa operasi dan pascatambang.

Untuk menciptakan stimulus lebih besar, pada 2014, Antam berikan genset di Desa Umera dengan kapasitas 50 KVA, instalasi rumah dan pemasangan jaringan hantaran udara tegangan menengah (HUTM) sepanjang delapan KM dari Bandara ke Sanaf Kacepo.

“PLTD dan sarana pendukungnya telah diserahkan kepada Pemda Halmahera Tengah    27 Februari 2018 dan dioperasikan PLN sejak awal Februari 2018, hingga masyarakat dapat menikmati fasilitas listrik 24 jam.”

Antam nyatakan juga sudah berikan sarana pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, sampai pelatihan dan studi banding bidang perikanan pertanian dan perkebunan, peternakan, pengolahan hasil pertanian dan kelembagaan serta koperasi.

Ada juga penyediaan beragam alat tangkap  sampai pemberian modal kerja koperasi dan operasional manajemen, serta penyediaan fasilitas sarana produksi pengolahan hasil pertanian dan penataan workshop/dapur produksi.

Kenyataan kini, masih banyak warga Gebe,  hidup dalam kesusahan. “Tak bisa hidup bergantung perusahaan tambang,” kata Nurhayati. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:   Pulau Gebe, kaya tak hanya sumber tambang juga kekayaan laut. Sayangnya, sebagian besar warga masih memilih jadi buruh daripada mencari pencarian lain seperti melaut atau berkebun dan bertani. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Kondisi jalan di Gebe yang masih memprihatinkan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version