Mongabay.co.id

Nelayan Kecil di Sikka Masih Urus Surat Laik Operasi. Kok Bisa?

Kabupaten Sikka mempunyai potensi perikanan tangkap terbesar di Nusa Tenggara Timur (NTT). Produksi ikan lautnya terus meningkat setiap tahun, dari 12.002 ton pada 2013, menjadi 13.799 ton pada 2014 15.300 ton pada 2015. Pada 2016 total produksi mencapai 15.370 ton dan naik drastis menjadi 16.972 ton pada 2016, sesuai data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka.

Ada sebanyak 5.085 nelayan di Sikka pada 2017, dimana sebanyak 1.895 merupakan nelayan penuh, 892 orang nelayan sambilan utama, 406 nelayan sambilan tetap dan 1.802 orang merupakan buruh nelayan.

 Sedangkan jumlah kapal nelayan pada 2017 sebenyak 3.354 unit, dimana motor tempel dibawah 5 Gross Ton (GT) sebanyak 1.186 unit disusul jukung sebanyak 800 unit serta perahu papan kecil berjumlah 739 unit.

Kapal motor ukuran dibawah 5 GT berjumlah 345 unit disusul kapal motor ukuran 5 sampai 10 GT berjumlah 95 unit diikuti oleh motor tempel 5sampai 10 GT 72 unit serta kapal motor 20 sampai 30 GT berjumlah 65 unit.

Selain itu, perahu papan sedang 37 buah,motor tempel 10 hingga 20 GT 9 buah,kapal motor 10 sampai 20 GT sebanyak  3 unit,perahu papan besar 2 unit serta kapal motor berukuran 30 sampai 50 GT sebanyak 1 unit.

baca : SKPT Sumba Timur, Pusat Ekonomi Baru di Kawasan Terluar NTT

 

Kapal Purse Seine atau Lampara berukuran 6 Gross Ton (GT) milik nelayan Wuring kelurahan Wolomarang, Alok Barat, Sikka, NTT yang masih mengurus Surat Laik Operasi (SLO). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Yohanes Don Bosco Minggo, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere kepada Mongabay-Indonesia, Senin (27/8) menyebutkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memberikan kemudahan berupa pembebasan Surat Laik Operasi (SLO) kapal perikanan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.

Hal tersebut sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.1/Permen-KP/2017 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan, dimana nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil yang hanya memiliki 1 (satu) unit atau lebih kapal perikanan dengan ukuran kumulatif paling besar 10 Gross Ton (GT) dibebaskan dari kewajiban SLO.

Tetapi dari hasil wawancara beberapa pemilik kapal, Yohanes diinformasikan bahwa sampai saat ini nelayan kecil  masih mengurus surat izin bagi kapal diatas 6 GT di Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov NTT.

“Sudah jelas bahwa untuk kapal berukuran 0 sampai 10 GT tidak perlu pengurusan SLO, tapi mengapa saat ini DKP kabupaten Sikka masih meminta agar kapal yang berukuran 6 GT harus mengurus surat izin?” tanyanya.

Sedangkan Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 27 dijelaskan bahwa sumber daya alam laut sekarang dikelola oleh provinsi dari nol sampai 12 mil, tapi tidak berlaku bagi nelayan kecil.

Oleh karenanya Yohanes mengharapkan DKP Pemprov NTT tidak mempersulit nelayan kecil dengan SLO.

baca juga : Traceability Fisheries : Makan di Jimbaran, Ikannya Mungkin dari Perairan NTT

 

Kapal Purse Seine atau Lampara berukuran 6 Gross Ton (GT) milik nelayan Wuring kelurahan Wolomarang, Alok Barat, Sikka, NTT yang masih mengurus Surat Laik Operasi (SLO). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

 

Jemput Bola

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DKP Kabupaten Sikka, Paulus Hilarius Bangkur kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (29/8) menjelaskan kapal-kapal perikanan yang beroperasi, baik milik perusahaan maupun masyarakat, proses pengurusan  izin kapalnya melalui DKP Pemkab Sikka.

Sedangkan kapal-kapal yang menjadi kewenangan izin Pemprov, DKP Pemkab Sikka memberikan rekomendasi menyangkut status nelayan dan syarat-syaratnya sesuai Permen KP No.16/2010.

“Untuk kapal di atas 30-60 GT, kewenangan pemberian izinnya ada di gubernur. Tapi dengan adanya UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, maka kewenangan Pemprov semakin besar dalam memberikan izin kapal,” tuturnya.

Selama ini Pemkab dan Pemkot, memberikan izin operasi kapal ikan sampai 10 GT dan kapal 10 GT ke atas menjadi kewenangan Pemprov. Tapi dengan adanya Undang-Undang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan Pemkab dan Pemkot untuk kapal kecil sampai 5 GT dan selebihnya menjadi kewenangan Pemprov, dengan rekomendasi dari DKP Pemkab dan Pemkot.

“Satu hal yang sangat baik di provinsi NTT ini, sistim pengurusan izinnya dengan jemput bola dimana pengurusan izinnya ada di DKP Sikka. Kita fasilitasi menyangkut administrasi perizinan sesuai persyaratan dan merekomendasikan untuk diterbitkan izin oleh Pemprov dan selama ini tidak ada kendala,” ungkapnya.

Persyaratan yang utama yang harus dipenuhi pemilik kapal sebut Paulus, harus memiliki kartu tanda penduduk dan kartu nelayan.

menarik dibaca : Nelayan Flores Timur Mulai Enggan Tangkap Satwa Laut Dilindungi, Kenapa?

 

Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kapal kecil di bawah 6 GT oleh DKP Sikka hanya didaftarkan saja sebagai kapal nelayan, sementara untuk kapal besar di atas 10 GT hampir semua memiliki izin sebab jangkuan operasionalnya sampai 12 mil laut.

Kapal penangkap ikan jenis pole and line di Sikka, kata Paulus untuk ukuran 10 GT hanya satu unit, 16 GT 2 unit , di atas 20-30 GT ada 67 kapal yang semuanya dimiliki pribadi oleh nelayan yang berpusat di Pulau Nelayan.

“Kesadaran nelayan mengurus ijin kapal sudah ada sebab menyangkut keamanan dan kenyamanan mereka dalam melaut. Nelayan selalu diawasi baik oleh DKP Sikka, Polairud dan Angkatan Laut dari Lanal Maumere,” jelasnya.

  

Semua Berizin

Beberapa nelayan di beberapa kampung nelayan baik di Nangahalae kecamatan Talibura,Wuring dan Nangahure di kecamatan Alok Barat, yang ditemui Mongabay-Indonesia mengatakan semua kapal nelayan apalagi yang berukuran lebih dari 5 GT di Sikka miliki ijin operasi.

“Kalau tidak ada surat ijin maka akan ditangkap petugas patroli dari Polariud dan juga Lanal Maumere sebab sering ada pemeriksaan di laut,” sebut Burhan, Sekretaris Kelompok Nelayan Bakti Abadi, Kampung Wuring, Kelurahan Wolomarang, Alok Barat, Senin (27/8).

Kelompok nelayan Bakti Abadi yang didirikan 2006 memiliki 37 anggota dan hampir semua memiliki kapal kayu jenis purse seine atau lampara bertonase 6 GT.

 

Ikan hasil tangkapan nelayan kapal purse seine atau Lampara yang dijual pedagang di TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Halim  pemilik Lampara 6 GT lainnya bertutur, sejak 2 tahun terakhir sejak 2017 pengurusan izin operasi kapal dilakukan secara kolektif melalui DKP Sikka dan tidak dipungut biaya.

Sebagian besar nelayan Lampara, paparnya, hanya melaut sejauh 3 mil saja dengan menebar jaring ukuran 1 inch dengan panjang maksimal 5 ball atau 470 depa di rumpon-rumpon yang berada di perairan laut dangkal sepanjang Teluk Maumere.

Kedalaman lautnya pun jelasnya, cuma 30 sampai maksimal 100 meter saja. Hanya nelayan yang memilki modal usaha besar dan kapal berukuran 10 GT yang menebar jaring di laut dalam namun jumlahnya pun hanya sekitar 10 kapal saja.

 

Exit mobile version