Mongabay.co.id

Calon Legislatif Harus Peka Lingkungan

Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Walhi Maluku Utara, belum lama ini menggelar diskusi mengundang  berbagai pihak dari akademisi sampai para calon legislatif (caleg) bertema “Peran Legislatif dalam Penyelamatan Lingkungan di Maluku Utara.”

Dikusi bersama para aktivis lingkungan ini sekaligus mengupas anggapan yang muncul   bahwa  lembaga legislatif  sangat minim peka lingkungan.

“Mungkin juga ini  kesalahan  kita,  organisasi masyarakat sipil bidang lingkungan, tak memberikan masukan dan pemikiran baik  buat  para caleg,” kata  Ismet Solaiman, Direktur Walhi Maluku Utara.

Diskusi ini, katanya, bisa jadi gerakan awal  mendorong peran legislatif dalam penyelamatan  lingkungan di Malut.

Dia bilang, banyak persoalan   lingkungan di Malut luput  dari perhatian semua pihak termasuk angota DPRD. Satu contoh,  jatuhnya  harga kopra  atau perampasan   tanah masif.

Bagi Ismet, perampasan ruang hidup warga luar biasa di banyak tempat.  Di Ganez,  Halmahera Selatan,   ruang hidup petani terampas perkebunan sawit sampai 11.000 hektar.  Kondisi ini, katanya, menyebabkan masyarakat  kehilangan tanah.  Walhi melakukan pendampingan sejak  2012.

Masalah lingkungan dan konflik ruang di Malut , katanya,  sangatlah beragam, dari tumpang tindih hak masyarakat dengan kawasan lindung, dengan perkebunan,  maupun investasi pertambangan.

Bahkan,  di pulau kecil  seperti Ternate, katanya, banyak masalah, seperti Galian C, reklamasi dan lain-lain.  “Pada  2010,  kami  sudah kajian  dan  memprediksi kandungan air tanah di Pulau Ternate  habis 15 tahun lagi, Faktanya,  tak sampai 10 tahun orang Ternate sudah kesulitan air.”

Untuk itu, para anggota  DPRD harus paham berbagai persoalan ini, karena penerbitan izin berelasi dengan keputusan politis.

 

Limbah NHM yang mengalir ke Sungai Kobok. Foto: AMAN Malut

 

Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, juga bicara soal penguasaan lahan Indonesia terutama untuk sawit. Edy Sutrisno, Deputi Direktur TuK  Indonesia mengatakan,   dalam  kajian mereka  berhasil mengendus  taipan  perkebunan sawit  yang menguasai  Indonesia  termasuk Halmahera Selatan.

Para pengusaha ini,  katanya, disebut-sebut mendukung  pembangunan daerah karena ada  menyumbang pendapatan. Kenyataan, banyak  pengusaha tak patuh membayar pajak.

“Kalau kita  bicara penggelapan pajak terjadi di banyak tempat. Saya tak tahu di Maluku Utara. Masuknya  perusahaan- perusahaan besar   juga  banyak penggelapan pajak,” kata Gun,  sapaan akrabnya.

Untuk perkebunan sawit pada 2015,  di Maluku masih 0%,  kini sudah masuk ke beberapa pulau, termasuk di Maluku Utara.

Berdasarkan data Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian,  perkebunan sawit di Indonesia, hanya ada 11 juta hektar. Padahal, di lapangan jauh lebih besar lagi dikuasai  25 grup.

Untuk itu, katanya, anggota  legislatif penting  paham juga masalah global seperti ini.   “Kita   punya OJK (Otoritas Jasa Keuangan-red),  tetapi perbankan Indonesia tidak punya kebijakan yang baik.   Di sini   peran legislatif  melihat bagaimana pembiayaan perbankan,” katanya, seraya bilang, kala terjadi kerusakan lingkungan bank–bank juga tak kena sanksi.

Sebagai lembaga legislatif yang bisa mengawasi perlu memiliki pemahaman menyangkut kebijakan perusahaan dalam bidang lingkungan.

Begitu juga dalam perencanaan wilayah, tentu sepengetahuan legislatif.  “Harapannya, kawan-kawan legislatif ketika  duduk, ikut  melihat masalah-masalah ini.  Jangan sampai  hanya cerita di balik meja, tapi tak melihat kondisi lapangan.”

Dalam perencanaan daerah pun, misal,  perlu melihat dampak sosial  dan memperkirakan dampak lingkungan dari kebijakan yang akan diambil.

“Harapan kami ke depan,   calon legislatif sudah punya gambaran  bagaimana membangun Malut secara berkelanjutan,” katanya.

Muamil Sun’ an, akademisi dari Universitas Khairun Ternate  mengatakan, bicara peran legislatif dalam penyelamatan lingkungan Maluku Utara, menghadapi beberapa persoalan.

Pertama,    kompetensi dari legislatif. Walaupun organisasi masyarakat sipil mendorong perbaikan lingkungan  dengan menyerahkan data  lengkap ke legislatif belum tentu bawa perubahan karena kompetensi mereka minim.

Dia pernah riset perspektif aktor politik lokal. Temuannya, dengan kekayaan alam Malut yang melimpah, kemampuan wakil rakyat masih bermasalah.  “Tidak bermaksud merendahkan para baleg yang nanti duduk di DPRD, tetapi itulah kenyataan. Saya berharap, legislatif berikutnya,  benar-benar paham isu lingkungan. Paling tidak, paham lingkungan.”

Kedua, masuk lembaga  legislatif  itu bicara kepentingan. Mereka mesti berpihak kepada rakyat. Organisasi masyarakat sipil  harus terus mendesak legislatif  peduli lingkungan, misal, bikin aturan daerah terkait lingkungan.

Sarif Tjan, pegiat lingkungan Malut mengatakan, produk hukum legislator lebih terkesan menghambur-hamburkan uang daerah. Belum lagi keberpihakan legislator  dalam penyelamatan   lingkungan  terutama soal gagasan  rata-rata lemah.

Padahal, kata Sarif,  semestinya   legislator memiliki  gagasan   kuat alias pro lingkungan.  Dengan begitu, ketika masalah  lingkungan    muncul tak sulit mencari pemecahan.  “Saya hanya  memberikan masukan,   seorang legislator, harus punya frame  berpikir lingkungan.”

 

Masyarakat adat aksi meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara

 

Junaidi  Bahrudin,  anggota DPRD Kota Ternate, kini maju kembali nyaleg tak menampik kekurangan itu. Dia bilang, lembaga legislatif terdiri dari latar belakang pendidikan berbeda-beda hingga kapasitas berbeda pula.

Soal peran legislatif, katanya, secara normatif punya sejumlah instrumen  bagi anggota DPR mengawal atau memastikan isu  strategis, misal, lingkungan.

Dia contohkan, dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang harus jadi pedoman bagi pemerintah daerah  ketika RTRW. “Nah,  di Maluku Utara   kabupaten atau kota mana   yang membuat RTRW  berpedoman pada KLHS?   Ternyata tidak ada. Di Ternate saat ini baru disusun, dan  beberapa bulan lagi baru selesai.”

Junaidi bilang, kemampuan anggota DPRD mengawal  isu-isu lingkungan sangat minim meskipun di beberapa daerah  sudah terbentuk kaukus parlemen lingkungan hidup.

Di Ternate, katanya,  sudah ada inisiatif   tetapi sampai kini,  belum ada tindak lanjut.  “Saya pikir ini alat penting  kawan-kawan di legislatif  mengawal isu-isu lingkungan.”

Hasyim Abdul Karim  Caleg  Partai Golkar Malut mengatakan, terkait  penyelamatan lingkungan, ada persoalan  mendasar,   di mana tanggung jawab  dalam menjalankan tugas.

“Kebanyakan politisi  memiliki struktur  berpikir rusak. Jadi tidak tahu  bagaimana cara  memulai.”

Dia bilang, ada dua hal perlu diperhatikan. Pertama, seorang legislator harus  memahami tugas termasuk pengawasan. Tugas ini,  katanya,  dijalankan ketika pemerintah akan memutuskan mulai pembangunan.      “Fungsi  legislatif   mengawal pembangunan itu.”

DPR, katanya,  harus memastikan apakah  izin dari pemerintah secara teknis memenuhi syarat hingga pembangunan sesuai  rencana.

Kedua, ketika proses pembangunan berjalan, legislatif juga harus melakukan pengawasan dampak  lingkungan.  Selama ini, katanya, tak ada pengawasan  pembangunan   akhirnya semua  menjadi  rusak.

Caleg lain, Malik Sillia, dari Partai Kebangkitan Bangsa, juga angkat bicara.

Dia  berpendapat,  masalah lingkungan banyak tetapi penyelesaian masih pekerjaan rumah. Contoh kasus, ikan teri di Teluk Kao, Halmahera Utara, hilang dicurigai pencemaran dari perusahaan.

Belum lagi muncul kasus kebocoran pipa di perusahaan tambang PT NHM. Intinya, banyak  masalah lingkungan  terjadi tetapi penanganan pemerintah belum serius.  Dalam hal ini , katanya,  harus ada kerjasama antara  organisasi masyarakat sipil dengan para  ketua  partai  politik.

 

Keterangan foto utama:    Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Kelapa warga Gane, Malut, terkena hama diduga berawal dari kebun sawit perusahaan.Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version