Mongabay.co.id

Masyarakat Aceh Desak Gubernur dan Menteri LHK Batalkan Proyek PLTA Tampur

Desa Lesten, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Pemerintah diminta membatalkan proyek PLTA Tampur. Masyarakat khawatir, banjir bandang yang pernah menghantam Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, pada 2006 silam terulang kembali. Hampir setiap tahun juga, di Aceh Tamiang terjadi longsor.

“Andai bendungan PLTA Tampur yang menampung enam juta ton air jebol, ratusan ribu masyarakat yang hidup di hilir Sungai Tamiang akan tersapu air. Apakah risiko ini sudah disampaikan ke masyarakat? Apakah kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal proyek sudah memadai?” ujar Matsum, masyarakat Aceh Tamiang, Aceh, Senin (03/9/2018).

Matsum telah membuat petisi di Change.org bertajuk “Batalkan Proyek Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa.” Isinya, desakan kepada Gubernur Aceh dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan proyek yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu. Hingga hari ini, petisi sudah didukung 10.700 tanda tangan.

Baca: Amdal PLTA Tampur Dipaksakan, Relokasi Masyarakat dan Mitigasi Konflik Satwa Diabaikan

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Aceh bekerja sama dengan perusahaan asing memang berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Mega proyek ini akan membendung Sungai Tamiang, yang airnya berhulu di Kawasan Ekosistem Leuser dan bermuara ke Selat Malaka. Bendungannya setinggi 175 meter.

Sungai Tamiang merupakan sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Kota Langsa. Selain dimanfaatkan sebagai kebutuhan harian, masyarakat juga menggunakan air sungai untuk pertanian dan perkebunan, serta mencari ikan.

“Sekitar empat ribu hektar hutan lindung yang merupakan habitat gajah, badak, orangutan, dan harimau sumatera ini akan terganggu. Hutan akan menjadi danau, dan ratusan kepala keluarga akan direlokasi. Pembangunan jalan untuk proyek tentunya membelah hutan alami Leuser. Harusnya, Pemerintah Aceh memaksimalkan potensi yang ada atau mengembangkan energi alternatif yang tidak berdampak pada masyarakat dan ekosistem Leuser,” terang Matsum.

“Kalau bencana terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab? Keresahan masyarakat harus didengar, lingkungan harus dijaga. Jangan sampai proyek ini hanya ambisi segelintir orang,” tambah Razali, warga Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.

Baca: GeRAM: KLHK Jangan Keluarkan Izin Pinjam Kawasan Hutan untuk PLTA Tampur

 

Hutan lebat di Zona Inti Taman Nasional Gunung Leuser yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan habitat satwa. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Rudi Putra, Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) menjelaskan, KEL merupakan hutan yang tanahnya labil, sering terjadi longsor. Bendungan tersebut tidak akan bertahan lama dengan kondisi tanah seperti itu.

“Setiap bulan di KEL terjadi longsor. Untuk pembangunan bendungan, dengan kondisi tersebut sangat tidak masuk akal,” ujar Rudi yang hampir 20 tahun mengabdi untuk penyelamatan Leuser.

Menurut Rudi, banyak potensi sumber energi lain yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, tanpa harus merusak hutan. Bahkan, beberapa proyek energi saat ini sudah selesai perencanaan yang harusnya diutamakan. “KEL sangat penting untuk masyarakat Aceh dan Sumatera Utara, jadi harus diselamatkan dari kegiatan-kegiatan merusak,” ungkapnya.

Baca: Masyarakat Aceh Tamiang: Kami Resah dengan Pembangunan PLTA Tampur

 

Orangutan sumatera adalah satwa penting yang hidup di hutan Leuser. Kerusakan habitat akan membuat kehidupannya terganggu dan bisa menyebabkan konflik dengan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Riswan Zein, Analis Perlindungan Bentang Alam Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) menyampaikan, mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke hutan primer yang akan menimbulkan perambahan dan perburuan liar. Kondisi ini akan menurunkan keutuhan fungsi lindung KEL yang merupakan Kawasan Strategis Nasional.

“Lembah Sungai Lesten yang berhulu ke Sungai Tamiang, yang akan digenangi waduk, merupakan koridor jelajah gajah sumatera,” sebutnya.

Berdasarkan dokumen amdal PT. Kamirzu, luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 ha dan untuk memenuhi genangan seluas area itu butuh waktu satu tahun. “Bisa dipastikan 50 persen desa di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan kering hebat selama kurun waktu tersebut,” ujar Riswan.

Lokasi PLTA Tampur di timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) membuat bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Beberapa kali gempa sekitar 6.0 SR, terjadi di sekitar lokasi bendungan. “Kita tentu tidak mengundang bencana,” jelasnya.

Baca: Pembangunan PLTA Tampur, Apakah Kelestarian Hutan Leuser Diperhatikan?

 

Badak sumatera yang merupakan satwa langka dilindungi. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Langgar perizinan

M. Fahmi, Tim Legal Yayasan HAkA mengungkapkan, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang digunakan PT. Karmizu dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan permohonan.

“Sementara IPPHK untuk PLTA Tampur dikeluarkan oleh Gubernur Aceh dengan Nomor: 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang izin pinjam pakai kawasan hutan guna pembangunan PLTA Tampur 1 seluas 4.407 hektar di Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur. Izin dikeluarkan semasa Gubernur Zaini Abdullah pada 9 Juni 2017,” ungkapnya.

Menurut Fahmi, hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.50/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-PKH/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

“Dalam aturan tersebut Menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non-komersial dengan luas paling banyak lima hektar.”

Baca juga: Protes Masyarakat Gayo Lues Terhadap Pembangunan PLTA Tampur di Leuser

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur yang direncanakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Fahmi, setahun sejak Surat Keputusan Gubernur diterbitkan, PT. Karmizu belum menunjukkan data pendukung tata batas areal izin pinjam pakai kawasan hutan yang disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh. Juga, peta lokasi penanaman guna rehabilitasi DAS, baseline penggunaan kawasan hutan sesuai dengan hasil tata batas, dan penyelesaian relokasi Desa Lesten. “Izin pinjam pakai kawasan hutan sudah seharusnya dicabut dan pemegang izin dikenakan sanksi sesuai aturan.”

 

 

Fahmi berharap pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengeluarkan IPPKH untuk pembangunan PLTA Tampur. “Sejumlah pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) akan menempuh jalur pidana apabila dalam masa tidak berlakunya IPPKH masih ditemukan aktivitas penebangan pohon. Ataupun pengangkutan alat berat di wilayah proyek PLTA Tampur,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version