Mongabay.co.id

Menanti Kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta

Pembersihan Sungai Ciliwung di daerah Kalibata. Pemakaian air bersih dari PAM Jaya, lewat kedua perusahaan swasta, berbanding dengan pemakaian air tanah. Makin banyak air PAM Jaya dipakai, makin kecil pemakaian air tanah. Artinya, makin kecil juga penyedotan air lewat sumur. sehingga makin kecil amblesnya permukaan tanah Jakarta. Ia berdampak pada pencegahan banjir. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

Pertengahan Agustus ini Gubernur Jakarta,  Anies Baswedan membentuk tim evaluasi tata kelola air minum Jakarta. Dalam surat bernomor 1149 tahun 2018 tertanggal 10 Agustus 2018, Anies mengatakan SK ini keluar untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung No 31/2017 tentang penghentian swastanisasi air  minum di Provinsi Jakarta.

Baca juga: Babak Baru Pengelolaan Air Bersih Jakarta, Swasta atau Pemerintah?

Tim evaluasi ini berada langsung di bawah gubernur dan bertanggungjawab kepada gubernur. Tugasnya, selain evaluasi putusan Mahkamah Agung (MA) juga diminta menyusun langkah strategis untuk memperbaiki tata kelola air minum.

Tim juga menyiapkan rekomendasi kebijakan dalam penyediaan pasokan air baku, penambahan jaringan distribusi air minum, peningkatan pelayanan air minum, peningkatan tata kelola pelayanan pengolahan limbah sebagai bagian dari sumber pasokan air baku. Juga penguatan dan peningkatan kapasitas kelembagaan pelayanan air minum termasuk Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya).

Baca juga: Privatisasi Air Jakarta, Swasta Untung , Warga Ketiban Pulung

Anies memberi waktu tim selama enam bulan mereka melakukan tugas dan seluruh kegiatan tim ditanggung APBD melalui dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) Dinas Sumber Daya Air Jakarta.

Siapa saja anggota tim ini? Ia diketuai Sekretaris Daerah Pemprov Jakarta didampingi Kepala Dinas Sumber Daya Air Jakarta, beberapa unsur pemerintah daerah dan unsur BUMD yakni Direktur Utama PAM Jaya dan Dirut Palyja.

Baca juga: Ketika Mahkamah Agung Batalkan Privatisasi Air di Jakarta

Menariknya Anies memasukkan enam profesional untuk membantu tim ini. Mereka adalah, Bambang Harymurti, Ahmad Ridwan Dalimunthe, Nila Ardianie, Frans Limahelu, Mohammad Mova Al’afghani dan Tatak Ujiyati.

Bambang Harymurti adalah jurnalis senior, mantan Pemimpin Redaksi Tempo periode 2007-2017. Bambang lulusan J.F Kennedy School of Government, Harvard University. Tahun 2006, Bambang pernah vonis satu tahun penjara karena berita di Majalah Tempo yang mengaitkan kebakaran di Tenabang dengan pengusaha Artha Graha, Tomy Winata. Belakangan MA membebaskan BHM, inisial akrabnya, karena dianggap tak bersalah.

Ahmad Ridwan Dalimunthe adalah Direktur Pemberitaan Detik.com. Namanya juga tertera dalam kepengurusan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), periode 2015-2020.

Lalu, Nila Ardhianie adalah Direktur Amrta Institute sebuah lembaga think tank yang fokus pada isu air. Frans Limahelu adalah guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Mohammad Mova Al Afghani,  saat ini Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG).

 

Jejeran jeringen berisi air bersih yang dibeli warga Jakarta Utara. Sebagian warga Jakarta, belum terlayani air bersih hingga harus membeli dengan harga mahal. Foto: Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

Tatak Ujiyati adalah anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang komite pencegahan korupsi. Tatak adalah peneliti bidang good governance dan pernah menjabat sebagai Direktur Riset Lembaga Konsultan Politik Indonesia.

Sepuluh hari setelah SK terbit, Gubernur Anies melakukan pertemuan pertama dengan tim.

“Satu bulan pertama akan fokus pada evaluasi privatisasi dan putusan MA dulu,” kata Nila kepada Mongabay.

Setelahnya,  katanya, baru tim akan memberi masukan tentang pengelolaan air Jakarta di masa mendatang.

Anies, katanya,  siap untuk melaksanakan putusan MA. “Kita akan bahas internal dulu,” kata Mohammad Mova, anggota tim lain. Meski enggan membahas lebih lanjut isi pertemuan pertama dengan gubernur, Mova meyakinkan proses evaluasi ini akan berjalan transparan.

Bersamaan dengan terbentuk tim ini, Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno,  mengundurkan diri sebagai. Bersama Prabowo Subianto, Uno akan maju dalam pemilihan presiden 2019.

Majunya Uno sebagai bakal calon wakil presiden sempat menimbulkan polemik. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat,-partai yang berkoalisi dengan Partai Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto-, Andi Arief,  berkicau di twitter menuding Uno memberikan ‘mahar’ masing-masing Rp500 miliar kepada PKS dan PAN,-partai koalisi lain-, agar menyetujui Uno maju menjadi bakal cawapres. Praktis, Uno hanya menjabat wakil gubernur selama 10 bulan.

Uno membantah memberi mahar. Badan Pengawas Pemilu memanggil Andi Arief dimintai keterangan mengenai tudingan ini. Andi, setidaknya sudah empat kali tak memenuhi panggilan Bawaslu. Belakangan, Bawaslu putuskan tak ada bukti soal ‘mahar’ itu.

Sebelumnya, Sandiaga Uno adalah salah satu pemegang saham utama di PT Aetra, perusahaan yang ikut mengurus air di Jakarta sejak 1994 selain PT. Palyja. Tahun lalu,  tak lama setelah terpilih jadi wakil gubernur Jakarta, Uno menjual sahamnya di Aetra kepada Salim Group.

Penjualan saham ini menambah signifikan kekayaan Sandiaga. Mengutip data Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) KPK, saat mencalonkan diri sebagai wagub, kekayaan Uno Rp3,8 triliun. Saat memperbaharui LHKPN bulan lalu, kekayaan Uno tercatat hingga Rp5 triliun.

Tak heran, karena sejak pengumuman Uno maju dalam bursa pilpres 2019, harga saham beberapa perusahaannya langsung terdongkrak.

Tak hanya mundur sebagai wakil gubernur, Uno juga mundur sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Menurut Gerindra, dengan mundur sebagai wakil ketua dewan pembina, Uno maju sebagai cawapres dari jalur independen. Kondisi ini lebih bisa diterima partai koalisi yang lain. Ini jadi semacam jalan tengah bagi partai oposisi ini.

Menyusul pengunduran diri Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur, Gubernur Anies Baswedan mengganti Direktur PAM Jaya, Erlan Hidayat.

Anies menunjuk Priyatno Bambang Hernowo sebagai gantinya. Hernowo sebelumnya adalah Commercial and Operational Director PT. Aetra Tangerang.

Setelah penyerahan jabatan, Hernowo menyatakan siap menjalankan putusan MA dalam pengelolaan air di Jakarta. Meskipun begitu, katanya, kerjasama PAM Jaya dengan perusahaan swasta tak harus setop.

“Langkah strategisnya kami patuh pada putusan MA atau PP 122,” katanya.

Peraturan Pemerintah (PP) 122 tahun 2015 mengatur tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). PP ini menyatakan SPAM dapat dilaksanakan BUMN. BUMD, UPT, UPTD, kelompok masyarakat dan atau badan usaha.

Dalam pasal 42 poin 2 PP ini menyatakan, penyelenggaraan SPAM dapat bekerjasama dengan badan usaha swasta.

Sedangkan aliansi pekerja PAM Jaya berharap pemerintah sepenuhnya mengakhiri kerjasama dengan perusahaan swasta.

“Kita berharap permasalahan air di Jakarta segera berakhir seiring berakhirnya kerjasama dengan swasta,” kata Zainal Abidin dari Serikat Pekerja PAM.

Masalah utama yang harus segera ditangani, kata Zainal, soal harga air dan nilai kobocoran masih tinggi. Tingkat kebocoran saat ini,  masih 43%. Lebih 30 tahun bekerja di sektor air, Zainal berharap eksekusi putusan MA ini diikuti perbaikan seperti sistem pengelolaan air.

Masukan dari tim evaluasi, katanya, hendaknya dapat membuat masyarakat Jakarta bisa menikmati air bersih melalui pipa setidaknya 75% dari total area.

“Aliansi serikat pekerja di Jakarta mendukung segala upaya demi terwujudnya putusan MA dengan baik dan konsisten,” kata Zainal.

 

 

Takut investor?

Sigit K Budiono dari Koalisi untuk Hak Rakyat Atas Air (KruHa), organisasi yang ikut menggugat privatisasi air Jakarta, selain LBH Jakarta, Solidaritas Perempuan, dan lain-lain- menilai,  pengangkatan dirut baru PAM Jaya, dari Aetra, salah satu perusahaan swasta yang ikut mengurus air Jakarta, menunjukkan pemerintah lebih takut kepada investor.

“Daripada konstitusi dan kemaslahatan rakyat yang lebih besar,” katanya.

Kalau PAM Jaya masih jadikan PP 122 tahun 2015 sebagai landasan pengelolaan air di Jakarta, kata Sigit, menunjukkan pemerintah tak taat hukum dan konstitusi. Pemerintah, baik pusat maupun daerah masih tak bisa keluar dari cara pandang bank dunia dan para penganjurnya yang menganggap swasta selalu lebih efisien alias pengelolaan sumber daya alam hanya bisa oleh pemodal.

“Itu mitos. Penting ada gerakan demitologi privatisasi,” kata Sigit.

Dia bilang, penting bagi tim bentukan Anies, mengevaluasi kinerja dua perusahaan swasta air ini.

“Kalau diakal-akalin pakai PP terus cuma pergantian direktur, tapi nggak memengaruhi persoalan sebenernya, ya sama saja.”

Kalau kinerja kedua perusahaan terbukti buruk, tak perlu terus mempertahankan kerjasama dengan mereka. Tim ini, kata Sigit,  juga harus merujuk pada banyak riset terkait pengelolaan air, tak hanya soal privatisasi juga permasalahan hulu dan hilir.

“Kalau terus menerus mengeluh kurang air baku, tapi tetap tak mengubah fundamental,  ya sama saja. Mengeluh nggak ada duit, tapi investasi pemerintah tak pernah lebih dari 1% APBN atau APBD, ya sama saja.”

Tim evaluasi, katanya,  perlu melihat faktor-faktor fundamental seperti itu, selain putusan MK pertama dan kedua, pengadilan Negeri Jakarta, serta putusan MA. “Jangan cuma bongkar pasang tim atau direktur tapi rekomendasi sama saja.”

 

Keterangan foto utama: Pembersihan Sungai Ciliwung di daerah Kalibata. Pemakaian air bersih dari PAM Jaya, lewat kedua perusahaan swasta, berbanding dengan pemakaian air tanah. Makin banyak air PAM Jaya dipakai, makin kecil pemakaian air tanah. Artinya, makin kecil juga penyedotan air lewat sumur. sehingga makin kecil amblesnya permukaan tanah Jakarta. Ia berdampak pada pencegahan banjir. ©Andreas Harsono

Sungai Ciliwung di sekitar Menteng, Jakarta. Pemakaian air bersih dari PAM Jaya, lewat kedua perusahaan swasta, berbanding dengan pemakaian air tanah. Makin banyak air PAM Jaya dipakai, makin kecil pemakaian air tanah. ©Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version