Mongabay.co.id

Air Bersih, Persoalan Penting yang Harus Diperhatikan

Sejumlah anak bermain di Sungai Citarum di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu. Ketika debit air dari hulu berkurang kawasan tersebut dilanda kekeringan, sebaliknya saat musim penghujan luapan sungai Citarum mimbulkan banjir setinggu 1 - 2 meter. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pada peringatan Hari Air Sedunia, April 2018 lalu, PBB telah menggagas tema “Nature for Water” dengan tujuan memberi informasi bahwa sesungguhnya alam mampu memulihkan kondisinya sendiri. Pandangan ini didasari fenomena kekeringan yang kian masif dirasakan oleh penduduk Bumi.

Persoalan air memang isu penting. Laporan Word Water Development Report 2018 menyatakan, 40 persen penduduk dunia tidak mendapatkan akses terhadap kebutuhan air yang aman untuk konsumsi.

Miniatur kecil, perihal belum terkelolanya air ada di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Meski diketahui kawasan itu memiliki peran vital bagi DKI Jakarta, sebagai penyangga distribusi air, namun kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung nyaris kritis.

Menurut data PD PAM Jaya, pasokan air bersih setiap hari baru mencapai 9.000 liter per detik. Jumlah itu, hanya memenuhi sepertiga dari kebutuhan yang mencapai 28.000 liter per detik.

Dari data yang dihimpun Mongabay, kebutuhan air bersih DKI Jakarta sekitar 1 miliar meter kubik per tahun. Dari jumlah itu, 370 juta meter kubik di antaranya dipasok perusahaan air minum melalui jaringan pipa serta 630 juta meter kubik dari air tanah. Selain itu, sekitar 80% produksi air bersih kota ini dipasok dari Waduk Jatiluhur.

 

Hutan yang terjaga akan membuat air tetap mengalir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Demi mengurangi kekusutan permasalahan di hulu Ciliwung, perhutani selaku pemegang kewenangan atas kawasan lindung berencana menghutankan kembali kawasan Puncak. “Tetapi, ini bakal jadi proses panjang. Tentang bagaimana mengembalikan kawasan lindung itu sendiri,” kata Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putara Prayoga.

Persoalan lahan di kawasan Puncak terus berpolemik. Terutama, menyangkut kuasa lahan. Sejak lama, FWI mengamati adanya dualisme kebijakan, hal yang menjadi akar permasalahan pemulihan kondisi DAS Ciliwung.

Sebelumnya, guna memilimaslisir kerusakan hulu pernah diwacanakan revisi Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Sampai sekarang, implementasi tata ruang buntu.

Dalam peraturan tersebut, ditetapkan hutan lindung kawasan Puncak, Bogor seluas 133.548,41 hektar. Namun, kata Anggi, alangkah baik bila perhutani mengembalikan fungsi kawasan hulu dahulu. Asalkan, runtutan masalah diselesaikan, karena kepentingan penguasaan lahan di puncak masih abu-abu. Terutama, soal batas wilayah antara hak guna usaha (HGU) dan hutan lindung. Keduanya dibawah kementarian berbeda; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Di penghujung April, perhutani melakukan penertiban sekaligus melayani gugatan hukum penguasa lahan yang disengketakan. Setidaknya, ada 22.000 hektar lahan hutan yang dikuasai perorangan dan 14 pondok peristirahatan dirobohkan di lahan negara seluas 36 hektar.

“Tapi masih ada kasus lagi. Ada negara berhadapan dengan privat, lalu negara berhadapan dengan negara dalam hal klaim kepemilikan lahan,” tambah Anggi.

Di lain sisi, meski sudah dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No 195 Tahun 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Jawa Barat nyatanya belum menyelesaikan persoalan. Menurut Anggi dengan adanya SK penunjukan kawasan seharusnya dilakukan perlindungan kawasan melalui tata batas.

“Kasusnya, kenapa bisa ada hak milik di dalam kawasan hutan. Menjadi pertanyaan, apakah sudah ada penyelesaian tata batas antara dua Lembaga negara tersebut. Sesungguhnya, ada dua sumber peta (kawasan) yang tumpang tindih,” lanjut Anggi.

 

Sungai yang airnya begitu penting bagi kehidupan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Riset Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukan, di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan, Cisarua terjadi perubahan tutupan lahan sebesar 126.5 hektar pada 2003-2008.

Periode 2008 – 2014, seluas 454,22 hektar tutupan lahan berubah. Luasan itu mencapai 12.37 persen dari total kedua desa yang berbatasan dengan kawasan hutan dan HGU. Selama ini, hitungan laju deforestasi memang belum ada data valid.

Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Penembangan Wilayah IPB, Ernan Rustiadi berpandangan, menata kawasan Puncak sebagaimana fungsinya, diperlukan visi yang jelas serta diimbangi konsistensi pemerintah. Terlebih, peraturan tata ruang wilayah sudah dikukuhkan sejak lama, berbagai macam riset pendukung pun sudah banyak dihasilkan

“Jangan sampai Puncak dijadikan sebuah etalase kepedulian semata. Tanpa menyentuh sumber persoalan. Padahal, mudah sekali diindetifikasi (masalahnya),” kata Ernan.

 

Sungai Citarum, bisakah airnya dimanfaatkan sebagai sumber air bersih? Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kerugian

Jika perubahan lahan tetap berjalan, Jakarta dan wilayah-wilayah lain yang bergantung pada kondisi tutupan hutan di Bogor harus bersiap menerima jutaan kubik limpahan air ketika musim penghujan. Di Jakarta, banjir sudah terjadi sejak 1959, ketika jumlah penduduk masih relatif sedikit. Disusul banjir yang terus menggenangi permukiman warga karena meluapnya air dari Sungai Ciliwung, Cisadane dan Angke.

Sebelumnya, Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Bogor sempat membahas penangan kawasan Puncak. Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) memastikan akan duduk bersama merencanakan program pembangunan terkait daerah penyangga.

Targetnya, akan dibangun kolam retensi di beberapa lokasi untuk menampung air sekaligus mengendadlikan banjir. Juga, membuat perencanaan tata ruang wilayah dan kota guna mendukung upaya kerja sama berbagai pihak untuk berkontribusi dalam pengelolaan bencana. Pokok persoalan itu ada pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Perencanaan Tata Ruang Jabodetabekpunjur.

Bila disesuaikan dengan anjuran PBB bahwa alam bisa memulihkan kondisinya sendiri mungkin bisa terjadi. Syaratnya, ada political will dari pemerintah. Terlebih, kebutuhan air dipastikan meningkat di Jawa Barat dan Jakarta dikarenakan penduduknya yang padat.

 

 

Exit mobile version