Mongabay.co.id

Hutan Sagu di Pulau Gebe Terancam Tambang (Bagian 3)

Selain sagu, cengkih, kelapa (kopra) juga produk andalan dari Kampung Umera, Gebe. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Daeng, baru usai mengolah sagu tak jauh dari perkampungan di Desa Umera, Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akhir Juni lalu. Sagu-sagu olahan lantas dia masukkan ke dalam empat karung masing-masing 40 kilogram.

Tepung sagu dalam karung itu didorong dengan gerobak menyusuri ujung jalan desa menuju rumahnya, berjarak sekitar 350 meter.

“Ini saya olah satu hari langsung bawa pulang,” katanya, sambil  mendorong gerobak.

Sagu  adalah  mata pencarian mayoritas warga Umera, sekaligus sumber pendapatan utama.  “Di sini, mayoritas warga mengolah sagu  sebagai mata pencarian,” katanya.

Sagu Umera,  sangat terkenal, tak hanya di Maluku Utara, juga sampai Sorong dan Raja Ampat.

Data Dinas  Ketahanan Pangan Halteng,  luas hutan sagu  di pulau kecil seperti Gebe  sekitar 180 hektar.

“Itu luas lahan sagu di Desa Umera, Gebe yang sudah pemetaan,” kata Subhan,  Kepala Bidang Pemerintahan Desa BPMD Halteng.

Sekdes Umera Mustafa Usman mengatakan, dari 119 keluarga atau sekitar 500 jiwa Umera, mayoritas mengolah sagu sebagai sumber  kehidupan, selain kelapa, pala maupun cengkih.

 

Daeng dengan gerobak berisi tepung sagu yang baru selesai diolah dari tak jauh dari Kampung Umera. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Gebe ini pulau kaya. Dari produksi pertanian, hasil laut sampai tambang tersedia. ”Gebe ini pulau kecil tapi kaya. Di  desa  kami (Umera)  berbatasan dengan Sanaf  Kacepi, ada perusahaan tambang  yang  akan mengeksploitasi nikel,” katanya.

Di konsesi tambang itu juga hutan sagu.   Dia sebut nama perusahaan nikel yang bakal masuk PT Anugerah Sukses Mining. Perusahaan sudah eksplorasi.  Izin kuasa pertambangan Anugerah Sukses Mining bernomor 540/KEP/208.A tahun 2011 seluas 1044 hektar.

“Sekarang, kalau ada warga desa ini mau melamar jadi karyawan atau buruh tanpa keahlian mendaftar pada kami,” katanya.

Perusahaan ini bakal mengancam keberadaan hutan sagu sebagai tumpuan hidup warga. “Ada  puluhan hektar tambang masuk hutan sagu. Kami belum tahu berapa luas izin tambang mengambil hutan sagu itu ,” katanya.

Dia mengaku tak bisa berbuat apa-apa. “Saya secara pribadi tak bisa menolak karena  sudah  ada izin pemerintah. Sebagai warga berusaha menolak tapi jika izin sudah ada, kita tak bisa berbuat apa-apa,” katanya.

Menurut dia,  dalam sosialisasi dan pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dia mempertanyakan banyak hal. Bahkan secara pribadi menolak  tambang.

“Potensi dampak sangat mengkhawatirkan warga di kemudian hari,” katanya.

Meski demikian, dia tak bisa menolak lantang karena   sebagian warga     juga mau  bekerja di perusahaan. Mereka  seperti terhipnotis.

“Kalau  protes nanti saya berhadapan dengan masyarakat.”

 

Hutan sagu. Akankah hutan sagu di Desa Umera ini tergusur ketika eksploitasi tambang nikel di hutan desa berjalan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, satu- satunya orang yang  meminta terbuka ke perusahaan   agat tak mengorbankan warga ketika perusahaan  beroperasi.

“Kita sudah melihat banyak  bukti termasuk PT Antam. Setelah tambang habis warga sengsara.  Kita juga tak mau seperti itu.”

Perusahaan tambang, katanya, akan merusak  sebagian hutan sagu. Hal itu sangat mengagetkan  warga.  Apalagi,   sampai membongkar hutan sagu yang jadi sumber pangan  dan pendapatan warga.

“Kami menolak karena sagu itu makanan pokok. Juga sumber pendapatan. Orang kecil seperti kami  ini  bisa berbuat apa kalau izin sudah keluar?” kata  Sahud Hi Robo, warga yang setiap hari mengolah sagu untuk dijual.

Bagi dia, sagu itu  sangat penting, sama dengan kelapa, pala dan cengkih. “Kami di desa Umera, sagu sumber  mata pencarian  utama.”

 

Anak anak Gebe yang riang gembira bermain di pantai. Mereka tak tahu kalau tamah mereka kini diserbu oleh perusahaan tambang. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Perda perlindungan dan konservasi sagu

Untuk melindungi hutan sagu sebagai salah satu sumber pangan di Halteng, sebenarnya pemerintah dan DPRD Halteng  telah  menyelesaikan perda yang mengatur pengelolaan dan pelestarian sagu.  Sayangnya, perda yang disahkan  awal 2018 itu,  belum terlaksana.

Bahkan pemerintah desa dan masyarakat belum tahu soal Perda Halteng Nomor 2/2018 tentang Pengelolaan dan  Pelestarian Sagu itu.  Pemerintah  Desa Umera,  misal, mengaku belum tahu ada perda ini.

“Mungkin karena baru disahkan jadi kami juga belum tahu. Ini sangat bagus karena  membantu dasar  melindungi hutan sagu  dari gangguan  atau pencaplokan   perusahaan  tambang,” kata Mustafa Usman  Sekdes Desa Umera.

Isi  perda itu  menyebutkan, sagu merupakan sumber daya alam yang  mempunyai peranan penting  bagi masyarakat.

Perda ada karena menyadari  pergeseran  pola  konsumsi, nilai  ekonomi rendah, pembangunan termasuk pengembangan areal  pemukiman baru. Adanya  pemanfaatan ruang tak terencana, perusakan hutan  dan tuntutan bahan  bangunan.

Kondisi ini, kata Subhan, menyebabkan areal tumbuh kembang sagu makin tergerus.   Untuk itu, perlu pengelolaan lestari.

“Sekaligus memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan  dan pelestarian tanaman sagu,” kata pria inisiator perda ini.

Menurut dia, sagu tumbuh alamiah dan membentuk hutan di hampir seluruh Halteng. Sagu, katanya, akan memenuhi  keperluan pangan masyarakat cepat dan tepat.  Ia juga bisa jadi tanaman konservasi, pengatur tata air dan ekosistem serta bahan bangunan.

Di Hateng, sagu dapat tumbuh pada kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan tumbuhan payau lain.

Sagu, katanya,  juga memiliki keistimewaan dapat tumbuh dan berkembang di tempat tanaman pangan lain tak tumbuh. Masa panen juga tak mengenal musim. Keterlambatan panen juga tak berisiko   berarti.  Bahkan, katanya, sagu yang luas akan berdampak pada stabilitas iklim mikro dan dapat mengendalikan pencemaran dampak limbah pabrik, sampah kota dan bisa membersihkan air buangan. Tanaman ini juga dapat mencegah dan mengendalikan erosi serta  menjaga keseimbangan ekosistem.

“Sagu dapat berfungsi sebagai tanaman  pangan penghasil karbohidrat   bahan baku industri dan bahan bio energi, tanaman konservasi, pengatur tata air dan ekosistem serta bahan bangunan. Ini komoditi utama  mewujudkan peningkatan kesejahteraan  masyarakat Halteng,” katanya.

Sagu penting demi keamanan pangan.

“Begitu istimewanya sagu, tak masuk akal jika ada perusahaan  atau orang mau merusak bahkan menggusur hutan sagu  di Pulau Gebe.” (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:    Selain sagu, cengkih, kelapa (kopra) juga produk andalan dari Kampung Umera, Gebe. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Karung-karung berisi tepung sagu yang diolah dari batok sagu. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Kondisi rumah warga Umera. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version