Mongabay.co.id

Solidaritas Asia Pasifik Dukung Petani Kendeng Perjuangkan Alam Lestari

Seruan bersama warga dan aktivis di Kendeng terhadap Bank Dunia dan IMF yang terus merusak alam dari kebijakan finansial mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Hari itu, Joko Prianto, berpakaian serba hitam, dari baju, celana hingga ikat kepala. Dia tampak sibuk mempersiapkan penyambutan puluhan korban dan aktivis anti tambang dari 10 negara di Asia Pasifik, ke desanya,  Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah, Selasa, (4/9/18). Berbagai hasil tani dan pangan lokal disajikan, termasuk kesenian tradisional.

“Kami sajikan hasil bumi di Kendeng, agar tamu tahu hidup dari bertani itu sejahtera bagi kami. Ini bukti lahan kami subur,” kata aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Kabupaten Rembang ini.

Tiba di Tegaldowo, para aktivis disambut tarian. Mereka saling berkenalan dan mendengar langsung perjuangan petani Rembang menjaga air, gunung karst dan lahan pertanian. Para aktivis itu datang tak hanya sebagai dukungan terhadap petani Kendeng, juga bentuk solidaritas mendukung pemilu Indonesia terbebas dari oligarki ekstraktif.

“Dukungan 10 negara ini bagus. Kami berterima kasih. Persoalan lingkungan tak bisa dibatasi administrasi,” kata Print, sapaan akrabnya.

Para aktivis dan masyarakat korban tambang ini merupakan perwakilan dari 10 negara di Asia Pasifik, mulai dari Indonesia, Philipina, Myanmar, India, Thailand, Pakistan, dan Papua Nugini. Kanada dan Jerman, juga terlibat dalam Asia Pacifik Gathering On Human Rights and Extractives di Semarang 1-4 September ini. Kegiatan diorganisir Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi untuk Hak atas Air (KRuHA), Indonesia Global Justice (IGJ), Justice, Peace, and Integration of Creation (JPIC) OFM, Walhi dan Vivat Internasional Indonesia.

Tak hanya mendengar cerita petani, bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), dengan dua truk, mereka berkeliling desa dan aksi di tapak tambang.

No more mining” “Salam Kendeng, lestari.” Begitu pekikan mereka bersahutan dari atas truk.

Ngatiban membantu jadi pemandu para aktivis. Dia cerita status lahan, hingga dampak pertambangan. Mereka melihat langsung lokasi tambang batu kapur dan tanah liat, menyaksikan hilir mudik puluhan truk mengangkut batu kapur dan tanah liat ke pabrik semen milik PT. Semen Indonesia.

“Debu aktivitas tambang, menganggu tanaman dan manusia,” kata Ngatiban, kepada para aktivis itu.

Mereka juga ikut acara kebudayaan, mulai Kentrungan Kiter Kendeng, berisi nyanyian dan kidung-kidung tentang kisah perjuangan dan penderitaan masyarakat di Pegunungan Kendeng hingga aksi “lamporan”, sebuah ritual mengusir hama, termasuk keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, pertemuan itu sebagai solidaritas mendukung pemilu Indonesia bebas oligarki, salah satu tambang. Kepala negara dan legislatif, katanya,  disokong pendanaan kampanye dari industri ekstraktif akan melanggengkan oligarki.

Saat ini, katanya,  kedua pasangan calon presiden sama-sama didukung banyak pengusaha tambang dekat lingkaran para kandidat, bahkan pemilik industri ekstraktif.

“Demokrasi elektoral masih manipulatif, jauh dari substansi perlindungan HAM dan demokrasi, Pemilu Indonesia hingga 2019 didominasi oligarki, para kandidat presiden pro tambang dan industri ekstraktif,” kata Merah.

 

Para pemuda Pati tergabung dalam KPPL Pati protes tambang batu gamping buat semen yang bakal rusak Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Deklarasi universal hak asasi manusia, katanya,  menjamin hak hidup dan perlindungan sebagai penopang utama kehidupan. Hak lingkungan sehat dan lestari serta hak dasar lain saling keterkaitan erat, sebagai pengemban tugas, negara tak akan mampu memenuhi tanggung jawab jika ekosistem alami rusak. Kegagalan melindungi ekosistem dari kehancuran tersistematis, katanya, indikator utama negara gagal.

“Negara gagal atau lemah dan korup, lapangan utama bagi dominasi korporasi, hajat hidup orang banyak berubah jadi ajang cari untung kapitalis,” katanya.

Setiap pejuang HAM dan lingkungan, katanya, dijamin keselamatan dan hak menyampaikan pendapat di muka umum, meski menghadapi tantangan keras. Di Indonesia, katanya, 229 dari 560 anggota parlemen dikuasai pebisnis perkebunan sawit, kehutanan dan pertambangan.

Melalui praktik politik ijon, pebisnis membeli kandidat pemilihan kepala daerah, parlemen hingga pemilu bahkan seringkali hanya bertukar posisi.

Catatan Jatam, pilkada 2017,  ada 101 pemilihan, 38% di wilayah paling banyak izin tambang. Pilkada 2018,  pada 171 wilayah, diselenggarakan 78% pertambangan. Wilayah-wilayah itu, katanya, berisiko memobilisasi dan menghimpun dana politik dari bisnis pertambangan dan ekstraktif.

Data Jatam menemukan, ada 171 izin tambang diobral sepanjang tahun politik 2017-2018 bahkan hingga mendekati penetapan masa calon pilkada maret 2018.

Sebanyak 120 izin diobral di Jawa Tengah, 34 Jawa Barat, diikuti izin-izin tambang di Lampung, Sumatera Selatan, Dairi (Sumatera Utara) hingga Nusa Tenggara Timur.

Jatam menemukan cukup banyak indikasi proses politik elektoral jadi jalan masuk utama legalisasi praktik-praktik pembiaran pelanggaran HAM oleh negara secara sistematis, terencana dan mengabaikan masyarakat.

Sedang oligarki, katanya,  jadi bentuk pemerintahan dengan kekuasaan politik dipegang kelompok elit kecil dari masyarakat, baik menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

Sebelum 1997, oligarki ekstraktif di Indonesia terbesar di Asia, kini oligarki seperti Indonesia juga dialami banyak negara.

 

Para akademisi dan warga Kendeng ke Goa Wareh. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Data organisasi masyarakat sipil, 10 keluarga oligarki di Indonesia menguasai 58% bisnis tercatat di lantai bursa saham publik, disusul Filipina 52%, Thailand 43% dan Korea 37%. Jumlah itu, katanya, termasuk perusahaan di bawah payung keluarga Soeharto dan Marcos.

Tahun 2010, rata-rata kekayaan bersih dari 40 oligarki terkaya di Indonesia 630.000 kali lipat PDB perkapita, konsentrasi kekayaan mereka mewakili hampir dua kali lipat tiap 10.000 penduduk di Indonesia. Empat oligarki terkaya ini menguasai semua bidang mulai politik, media hingga bisnis industri ekstraktif.

“Para oligarki melanggengkan kekuasaan melalui praktik ijon politik tiap tahun politik tiba, lansekap politik Indonesia jadi lahan subur bagi oligarki ekstraktif terus melakukan pembesaran konsentrasi kekayaan dan kekuasaan.”

Melky Nahar, pengakampanye Jatam mengatakan, proses pemilu sudah mengantarkan Indonesia pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2019, pada April 2019.

Dua nama pasang calon presiden dan wakil, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, lalu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, tak memiliki sikap jelas menyelesaikan krisis lingkungan dampak pertambangan.

Muhammad Reza, dari KruHA mengatakan, pada konteks pelanggaran hak atas air di Indonesia indikator jelas terlihat. Meskipun negara memberikan pengakuan bahwa air, pangan, lingkungan sehat adalah HAM, dalam praktik jauh dari harapan. Di banyak daerah, katanya, akses air dan sumber-sumber air– terkait erat dengan persoalan kesehatan, pangan, air minum, irigasi pertanian dan sanitasi—tak terjaga.

“Buruknya pengelolaan sumber air juga bikin lingkungan buruk, menyebabkan bencana alam, seperti banjir, kekeringan, pencemaran, dan sumber-sumber pangan mati,” kata Reza, akrab disapa Ijeck.

Dalam praktik, katanya, air jadi komoditas dagang, terjadi komersialisasi melalui swastanisasi air. Sumber air pun jadi ‘milik’ perusahaan hingga akses rakyat terhalang, lalu pemberian konsesi agraria tak ramah ekosistem hingga merusak siklus air seperti penguasaan tanah skala besar buat tanaman monokultur seperti perkebunan sawit dan lain-lain yang perlu banyak air.

Selain itu, pengembangan properti dan industri  yang mengeksploitasi air bawah tanah besar-besaran dan pembiaran kerusakan lingkungan sampai rusak sumber air, tangkapan, aliran dan siklus air. “Juga pencemaran sumber air sampai-sampai air justru jadi sumber bencana,” kata Ijeck.

Kondisi ini terjadi, katanya, karena penegakan aturan dan pengelolaan sumberdaya lemah, termasuk kerancuan kewenangan pusat daerah dan kecenderungan dominasi pasar menempatkan negara dalam posisi ambigu.

Negara, katanya, menyerahkan kewenangan ke pihak ketiga yakni sektor bisnis. Air sebagai hak konstitusional sekaligus hak asasi manusia hingga wajib peranan negara.

“Penyerahan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar atau kamu dapat apa yang kamu bayar harus dilawan,” katanya.

Untuk itu, perlu meninjau ulang berbagai perjanjian investasi dan perdagangan buatan pemerintah. Perjanjian investasi dan perdagangan, katanya,  banyak merugikan posisi pemerintah Indonesia, salah satu ruang kebijakan dan regulasi pemerintah menyempit.

Hingga kini, kata Ijeck, pemerintah terus menghamba pada jebakan intervensi kebijakan dan utang dari institusi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia.

Melalui forum pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF, katanya, pemerintah dan lingkaran oligarki Indonesia dipaksa tunduk pada kebijakan desainan institusi keuangan global yang berpotensi meningkatkan kerusakan alam demi kepentingan industri ekstraktif.

 

Keterangan foto utama:     Seruan bersama warga dan aktivis Asia Pasifik,  di Kendeng terhadap Bank Dunia dan IMF yang berkontribusi terhadap perusakan alam dari kebijakan finansial mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Aksi dan dukungan di tapak tambang semen Rembang dari perwakilan aktivis tolak tambang Asia Pasifik. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Mentari sore memerah di barat. Ribuan obor bambu sudah siap untuk upacara sakral lamporan di lapangan Desa Timbrangan. Para korban, pemuka agama, dan aktivis anti tambang dari 10 negara Asia Pasifik. Mereka memegang obor dan berbaur bersama ratusan warga, yang dari rembang, Pati, Blora, dan Grobogan.

Tradisi lamporan ini bagian dari ritual mengusir hama di daerah-daerah pertanian. “Kali ini hama yang ingin diusir masyarakat adalah tambang dan pabrik semen. Mereka hama abad modern,” kata Sukinah, perempuan petani Desa Tegaldowo.

Sukinah senang, dukungan dari Asia Pasifik,  makin menguatkan perjuangan mereka.

Judy, perwakilan dari Philipina,  kagum dengan aksi perempuan Kendeng. Dia salut dan hormat kepada perempuan Kendeng.

“Kami ingin mendukung perjuangan perempuan Kendeng. Menjaga bumi tetap hijau dan ekologi yang baik mendasari perempuan Kendeng berjuang sampai sampai berani semen kaki,” katanya.

Aktivis anti tambang lain, Jaybee Garganera dari Alyansa Tigil Mina, Philipina,  turut beri dukungan. Jaybee bersolidaritas terhadap perlawanan tambang dan parbik semen di Kendeng.

“Kami bersolidaritas untuk mereka dan semua komunitas yang sekarang sedang berjuang melawan kehancuran alam.” katanya.

Ulrich dari Misserior Jerman memberikan dukungan ke masyarakat Kendeng yang berjuang melawan tambang dan yang menghancurkan lingkungan, dan lahan-lahan pertanian, serta sumber air. “Salah satu perusahaan itu dari Jerman yaitu Heidleberg, dari negara kami.”

Dari Papua Nugini, Cressida Kuala juga mendukung perjuangan petani Kendeng. “Saya tersentuh dan kagum dengan perjuangan perempuan menghentikan industri ekstraktif ini. Sungguh perjuangan luar biasa,” katanya.

Perjuangan warga pegunungan Kendeng telah berlangsung lama, berbagai aksi dilakukan, hingga aksi cor kaki di depan Istana Merdeka,  Jakarta.

Di Mahkamah Agung, warga menang atas perkara dengan PT Semen Indonesia, pada 5 Oktober 2016. Bukan menjalankan putusan, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,  malah kembali menerbitkan izin baru 23 Februari 2017.

Presiden Joko Widodo memerintahkan, bikin kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Sayangnya, rekomendasi KLHS ini tidak dijalankan pemerintah sendiri.

Melky bilang, tambang dan pabrik semen masih beroperasi dan menghancurkan Pegunungan Kendeng. “Kami dan warga tak akan diam. Kita akan terus tagih janji presiden.”

Peserta Asia Pacific Gathering on Extractives and Human Rights menyaksikan kegigihan luar biasa ditunjukkan masyarakat pegunungan Kendeng terhimpun dalam JMPPK.

 

Lamporan petani Kendeng dan aktivis anti tambang Asia Pasifik di Desa Timbrangan, Rembang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version