Mongabay.co.id

Tanpa Harus Menebang, Hutan Mangrove dapat Dimanfaatkan, Seperti Apa?

Sejumlah perempuan dari Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) terlihat menata kudapan yang telah rapi dalam bungkusan-bungkusan. Para wanita yang bermukim di sekitar hutan mangrove tersebut sengaja membawa hasil olahan makanan kecil ketika ada pengunjung yang datang ke Ujung Alang. Kebetulan di desa setempat ada arboretum atau tempat pembibitan berbagai macam pepohonan khusus mangrove. Sehingga kerap didatangi tidak saja mereka sekedar main tetapi juga penelitian.

“Kami memang sengaja membawa makanan kecil hasil olahan kami ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Patra Bina Mandiri. Kami membawa kerupuk dan stik yang terbuat dari buah dan daun tanaman mangrove,”ungkap Wiwin, salah seorang perempuan anggota kelompok tersebut pada akhir Agustus lalu.

Ketua Kelompok Patra Bina Mandiri Yufita Reni Windi Astuti mengungkapkan kudapan yang dihasilkan berbagai jenis buah dari tanaman mangrove. “Ada kerupuk jeruju, stik Brugueira dan peyek jeruju. Kalau ada tamu yang datang, kami menawarkan berbagai jenis makanan kecil itu untuk oleh-oleh. Selain itu, kami juga telah memasarkan secara ‘online’ ke berbagai kota,”ungkapnya.

baca : Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan

 

Makanan kecil yang diproduksi oleh para ibu di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap dari pepohonan mangrove. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Manurut Reni, dengan adanya kegiatan pengolahan produk berbahan baku tanaman mangrove, dampaknya nyata dirasakan para perempuan. “Kalau dulu mungkin hanya menganggur dan ibu rumah tangga biasa atau kerja serabutan, kini sudah ada kegiatan yang pasti yakni memproduksi makanan kecil. Hampir setiap hari ada pekerjaan itu. Sejauh ini, dampak yang dirasakan para ibu adalah adanya tambahan penghasilan keluarga. Setiap minggu, kami bisa menghasilkan 100 bungkus makanan kecil yang merupakan makanan khas Kampung Laut,”katanya.

Dalam sebulan, lanjut Reni, kelompoknya mampu menghasilkan pendapatan Rp1,5 juta hingga Rp7 juta. “Tergantung ramai atau sepi. Jika ramai memang bisa sampai Rp7 juta per bulan. Rata-rata, mereka pesan dengan cara daring. Dan kami mengirimkannya melalui jasa paket logistik,”ujar Reni.

Reni mengatakan kelompoknya baru terbentuk pada 2016 lalu, setelah terbentuk kelompok Patra Krida Wana Lestari di Desa Ujung Alang mendorong agar para perempuan di desa setempat memiliki kegiatan positif yang berbasis mangrove. “Kami memang didorong supaya membuat kelompok yang memiliki kegiatan positif yang berbasis hutan mangrove. Secara prinsip sebetulnya menggugah kepada para ibu agar tidak melakukan penebangan. Caranya adalah memanfaatkan hutan mangrove, tetapi bukan batang atau pohonnya melainkan dedaunan dan buahnya,”jelasnya.

Setelah membaca berbagai macam referensi dan adanya pelatihan-pelatihan mengenai pemanfaatan buah dan daun dari berbagai jenis tanaman mangrove, ternyata para ibu mampu mewujudkannya. “Selain mendapat penghasilan dari kegiatan itu, para ibu akhirnya mempunyai rasa memiliki terhadap hutan mangrove. Kami sekarang menyadari, kalau hutan mangrove tidak lestari, maka usaha yang kami rintis ini juga akan mati. Karena itulah, para perempuan di sini juga ikut serta untuk menjaga agar hutan bakau tetap hijau dan tidak ada penebangan,”tandas Reni.

baca juga : Penyelamatan Segara Anakan Segera Dimulai

 

Kawasan pembibitan di arboretum di Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap. Foto : L Darmawan

 

Sementara Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari, Thomas Heri Wahyono, mengatakan pihaknya merupakan salah satu yang mendorong agar terbentuk kelompok perempuan di Ujung Alang. “Intinya sebetulnya supaya masyarakat termasuk para ibu tidak melakukan penebangan mangrove. Nah, ajakan untuk tidak menebang mangrove harus diimbangi dengan kegiatan positif. Yakni memberdayakan para ibu agar dapat memanfaatkan hutan mangrove tetapi bukan kayunya. Maka yang dilakukan agar memperoleh manfaat adalah dengan memproduksi makanan kecil dengan bahan baku daun maupun buah,”jelas Wahyono.

Menurut Wahyono, sebelum para ibu mendirikan kelompok dan menghasilkan kudapan khas mangrove, mereka juga ikut serta dalam kegiatan pembibitan yang dipusatkan di Arboretum Lempong Pucung yang juga kawasan wisata hutan mangrove. “Di arboretum ini, kelompok kami dibantu oleh para ibu membuat bibit mangrove dengan berbagai jenis spesies yang ada di Kawasan Segara Anakan dan Kampung Laut,”katanya.

Dikatakan oleh Wahyono, bibit mangrove yang mampu diproduksi oleh kelompok mencapai 500-600 ribu setiap tahunnya. Bibit-bibit tersebut dijual hampir ke seluruh Indonesia. Ada yang minta dikirim, tetapi ada pula yang datang ke sini. “Kami tidak mematok harga tinggi. Hanya Rp1.300 per batang kalau di tempat. Kalau ke luar, harganya ditambah dengan ongkos pengangkutan,”ujarnya.

Bersama anggota kelompok dan warga, lanjut Wahyono, kegiatan itu dilakukan setiap hari. Bahkan, pembibitan telah berlangsung bertahun-tahun. Dengan mengajak masyarakat di Kampung Laut untuk membuat pembibitan, maka secara otomatis akan membawa dampak positif yakni tidak lagi menebang mangrove. “Justru sebaliknya, warga dan anggota kelompok terus menerus untuk melakukan penanaman. Karena biasanya, hasil pembibitan tidak hanya dijual, melainkan juga ditanam sendiri,”katanya.

baca juga : Berkunjung ke Kawasan Wisata Mangrove Kampung Laut

 

Salah satu lokasi yang dihijaukan dengan tanaman mangrove di Kampung Laut, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Hingga kini, Wahyono bersama kelompoknya terus melakukan penghijauan mangrove dan tercatat telah mencapai 125 hektare (ha). “Karena kami percaya, kalau warga berbaik-baik dengan alam, maka alam juga sebaliknya, memberikan yang terbaik bagi kita. Ya misalnya saja, dengan hutan mangrove yang semakin luas dan hijau, maka ikan dan udang tentu bakal semakin banyak. Karena dengan menanam mangrove, maka ikan dan udang mempunyai lokasi untuk berkembang biak. Itulah yang nantinya menguntungkan bagi warga sekitar hutan mangrove khususnya dan nelayan umumnya.”

Selain itu, daerah yang disebut sebagai arboretum tersebut telah memiliki 53 spesies mangrove di Kampung Laut. Jumlah spesies tersebut, lanjut Wahyono, kemungkinan merupakan yang terbanyak di Indonesia. “Saya telah keliling ke beberapa tempat, seperti di daerah Pantura Jawa atau di Bali, ternyata jumlah spesiesnya tidak sebanyak di sini. Tahun ini, saya bersama Universitas Indonesia (UI) akan menerbitkan buku mengenai jenis-jenis mangrove yang telah kami temukan di sini. Jenis-jenis yang saya temukan sudah ditandai dengan koordinat, sehingga nantinya akan gampang menemukan. Sebab, ada jenis yang lokasinya cukup sulit, agak ke dalam,”ujarnya.

Wahyono juga mengatakan kalau lokasi arboretum tersebut tidak hanya dikembangkan sebagai tempat wisata edukasi, tetapi juga telah menjadi lokasi riset mahasiswa dan dosen dari berbagai macam perguruan tinggi. Bahkan, tidak sedikit yang datang dari negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Singapura.

menarik dibaca : Sukamsi, Pendekar Mangrove dari Kebumen

 

Exit mobile version