Mongabay.co.id

Takut Berseteru dengan Harimau, Masyarakat Desa Ini Pilih Tidak Beternak

 

Tidak seperti umumnya desa transmigran di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, masyarakat di Desa Perumpung Jaya, Kecamatan Lalan ini, memilih tidak beternak sapi maupun kambing. Padahal, lahan di sini cukup luas dan pakan alami untuk ternak memadai. Apa alasannya?

Hampir semua warga di sini suka daging. Setiap Lebaran, sebagian warga juga memasak daging sapi atau kambing. “Namun, andai warga desa ini memelihara sapi atau kambing, harimau sumatera dari hutan Sembilang di belakang wilayah kami ini, jika kelaparan pasti akan menyerang. Harimau pasti akan memburu ternak warga. Hal ini jelas mengancam jiwa kami,” kata Supriyadi (38), warga Dusun 04, Desa Perumpung Jaya, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Rabu (05/9/2018).

Alasan itu membukat warga desa, sejak puluhan tahun, memilih tidak memelihara sapi atau kambing. “Mungkin dulu, orangtua kami pernah beternak sapi atau kambing dan diserang harimau. Ini alasan utamanya,” jelas Supriyadi mengenai desanya yang dibangun para transmigran tahun 1986.

Desa Perumpung Jaya adalah salah satu desa yang berbatasan dengan Sembilang, masuk Taman Nasional Berbak Sembilang, yang beberapa waktu lalu ditetapkan sebagai cagar biosfer. Meskipun tidak ditemukan plang pembatas kawasan TN Berbak Sembilang dengan tanah desa, namun warga memahami batas-batasnya.

Baca: Apa Kabar Harimau Sumatera di Lanskap Sembilang?

 

Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Wilayah desa dan Sembilang dipisahkan sebuah kanal yang dapat dilalui perahu, terutama saat pasang atau musim penghujan. Kanal dijadikan warga untuk mencari daun nipah di dalam Sembilang, yang umumnya warga luar Perumpung Jaya.

Januari 2017 lalu, lima warga luar Perumpung Jaya, yang mengaku tengah mencari daun nipah diserang harimau sumatera di hutan semak tepi kanal tersebut. Seorang dari mereka tewas di lokasi konflik.

“Mereka yang selamat lari ke desa ini. Syukur lah, harimau tidak masuk permukiman kami, mungkin tahu tidak ada ternak yang dijadikan incaran,” kata Supriyadi.

 

Kades Perumpung Jaya Suyono menunjukan lokasi kawasan hutan Sembilang, di seberang kanal, yang setahun lalu ada lima warga pencari daun nipah diserang harimau sumatera. Satu orang tewas. Foto: Nopri Ismi

 

Kuliner

Jika dilihat dari kuliner atau masakan tradisional masyarakat di Sumatera Selatan, tampaknya sejak dahulu masyarakatnya tidak memelihara atau beternak hewan kaki empat. Jika memang masyarakat Sumatera Selatan memelihara sapi atau kambing, dapat dipastikan akan ditemukan masakan khas yang berbahan daging hewan tersebut. Akan tetapi, hampir semua masakan tradisional di Sumatera Selatan berbahan ikan.

Jika pun saat ini ada masakan berbahan daging, sebetulnya menu ini dibawa para pendatang Timur Tengah dan India, seperti kari dan malbi. Sementara masakan rendang dari Minangkabau. Hanya wong Palembang, yang jauh dari kawasan hutan, mengenal pindang tulang sapi, mengembangkan masakan pindang.

 

Ikan merupakan sumber kehidupan utama nelayan tradisional. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Kalaupun makan daging mungkin hasil berburu, seperti rusa. Daging rusa ini pun cara masaknya cukup sederhana hanya dibakar, digoreng, dipindang atau dibuat dendeng. Karena hasil berburu, maka tidak setiap saat masyarakat Sumatera Selatan mengonsumsi daging hewan. Jika ikan, mereka mencarinya setiap hari sehingga melahirkan banyak kuliner, seperti dipindang, dibuat pempek, diasapkan atau dijadikan ikan asin,” kata Dr. Tarech Rasyid, akademisi di Palembang, Minggu (09/9/2018).

“Saya tidak tahu, apakah minimnya kuliner tradisional berbahan daging hewan berkaki empat merupakan penghormatan masyarakat Sumsel terhadap harimau sumatera yang memburu satwa tersebut. Jadi semacam pembagian pakan. Daging hewan untuk harimau, ikan untuk manusia,” katanya.

 

Nelayan di Desa Perumpung Jaya, Kecamatan Lalan, Kabupaten Muba, Sumsel, ini mencari ikan dan udang sebagai sumber makanan atau pendapatan. Mereka mengikuti jejak leluhurnya yang tidak pernah memelihara sapi atau kambing. Foto: Nopri Ismi

 

Soal berbagi makanan dengan harimau sumatera juga dilakukan masyarakat Sumatera Selatan. Misalnya berkebun durian. Pada saat musim durian, buah pertama dan tengah selalu diambil manusia. “Sementara buah akhir, biasanya pemilik kebun membiarkannya. Itu sengaja. Katanya untuk harimau sumatera,” jelasnya.

Jika dilihat dari teks Prasasti Talang Tuwo yang dibuat Raja Sriwijaya abad ke-7, disebutkan aktivitas manusia di Taman Sriksetra yang dibuat, salah satunya adalah beternak. “Namun, saya perkirakan ternak di sini adalah unggas, seperti bebek dan ayam. Buktinya, cukup banyak kuliner masyarakat di Sumatera Selatan yang berbahan bebek atau ayam. Mulai digoreng, dibakar, hingga dimasak dengan beragam bumbu lokal,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version