Mongabay.co.id

Akhirnya, Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Terbit

Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah 'keterlanjuran' ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto:

Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Bagaimana moratorium perkebunan sawit atasi masalah macam ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

Setelah lebih dua tahun berproses, akhirnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Aturan ini jadi pemenuhan janji Jokowi dalam Hari Hutan Internasional di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, 14 April 2016. Moratorium ini bertujuan, memberikan waktu untuk mengevaluasi dan menata kembali izin-izin perkebunan sawit dan meningkatkan produktivitas.

Baca juga:Apa Kabar Kebijakan Moratorium Sawit?

Regulasi ini tercantum dalam Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit, ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018. Pemerintah menegaskan penghentian sementara ini selama masa tiga tahun.

”Dengan Inpres ini diharapkan bisa meningkatkan produktivitas perkebunan sawit rakyat,” kata Prabianto Mukti Wibowo, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian kepada Mongabay, Kamis (20/9/18).

Baca juga: Menanti Moratorium Sawit, Berikut Alasan Mengapa Kebijakan Ini Urgen

Prabianto bicara soal peningkatan produktivitas sawit rakyat dengan menyebutkan melalui pengakuan status lahan-lahan perkebunan sawit dalam kawasan hutan.

Dia menekankan, kalau pengakuan status lahan perkebunan sawit dalam kawasan hutan bukan pemutihan karena didahului evaluasi perizinan yang bersifat ‘keterlanjuran’. Antara lain, katanya, dengan mengkaji dampak lingkungan, sosial dan kesesuaian dengan tata ruang yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Tidak serta merta kebun-kebun dalam kawasan hutan nanti dilepas,” katanya.

Dia berharap, aturan ini mampu meningkatkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca.

Melalui Inpres ini, pemerintah juga hendak memberikan sebuah kepastian hukum, peningkatan pembinaan petani sawit dan peningkatan produktivitas.

 

Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Berharap moratorium perkebunan sawit bisa menjawab konflik-konflik lahan seperti ini. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Kalau melihat dari perspektif reforma agraria, katanya, evaluasi bisa membantu pekebun sawit rakyat mendapatkan pengakuan hak, hingga bisa mendapatkan pemodalan.

Selain itu, katanya, regulasi ini juga menyentuh pada penyelesaian konflik sosial di lapangan. ”Selama ini kan ada konflik dan klaim (lahan oleh) di kelompok masyarakat atau korporasi, ini yang perlu diselesaikan.”

Guna pelaksanaan aturan ini, katanya, akan berbarengan dengan implementasi Peraturan Presiden Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, khusus perkebunan sawit di kawasan hutan. Keduanya, merupakan rangkaian kebijakan di bawah koordinasi Kementerian Perekonomian.

Pelaksanaan perintah presiden tiga tahun moratorium hingga perlu kerja keras lain lintas kementerian seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, para gubernur dan bupati/walikota.

Regulasi ini mengintruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunda izin baru perkebunan sawit, baik permohonan baru, permohonan telah mendapatkan persetujuan prinsip maupun permohonan yang diajukan namun belum melengkapi persyaratan.

Menteri juga bertugas dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi izin perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan.

Menteri Pertanian melakukan penyusunan, verifikasi data dan peta Izin usaha perkebunan sawit sekaligus pendaftaran surat tanda daftar usaha perkebunan sawit. Menteri Agraria dan Tata Ruang bertugas mengevaluasi hak guna usaha kebun-kebun sawit, mencakup nama dan nomor, lokasi, luas, tanggal penerbitan dan peruntukan.

Untuk BKPM, penundaan permohonan penanaman modal baru bagi perkebunan sawit atau perluasaan perkebunan dari pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan. Menteri Dalam Negeri, melakukan pembinaan dan pengawasan kepada gurbernur dan bupati.

Demi kelancaran implementasi, kata Prabianto, hal paling utama peran pemerintah daerah karena banyak izin yang dikeluarkan kepala daerah tumpeng tindih dengan peta kehutanan dan peta lain.

“Kalau pemda tak mendukung berat juga,” katanya, seraya bilang akan sosialisasi dengan pemerintah daerah.

 

 

Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dihubungi Mongabay, mengatakan, inpres moratorium perizinan sawit ini sudah banyak ditunggu. KSP, katanya, memonitor paket kebijakan ini yang juga berhubungan dengan reforma agraria, perbaikan tata kelola di bidang pertanahan.

“Ini proses penting dalam review. Memang banyak tuntutan dari berbagai pihak yang selama ini tidak ada kecukupan data untuk dianalisis bagaimana keterkaitan status perizinan-perizinan dan HGU yang keluar selama ini.”

“ Kita ini kan sudah lama sekali mengeluarkan perizinan tanpa pernah melihat lagi bagaimana sebenarnya keadaaan di lapangan.”

Sebelum ada inpres ini, katanya, di beberapa daerah sudah ada inisiatif pemerintah daerah review perizinan perkebunan sawit, seperti di Kabupaten Aceh Utara dan Sigi.

“Sebelum ada inpres moratorium sawit ini, bupati sudah mengintruksikan penting kajian izin dan HGU di sana. Karena temuan fakta-fakta menunjukkan tanah-tanah di sana tak optimal digunakan, bahkan terlantar, tak jelas siapa yang mengelola,” katanya.

Dengan begitu, katanya, penting melihat hasil dari kaji ulang nanti, terutama lahan-lahan yang dipakai untuk kepentingan-kepentingan tak produktif, tak jelas bahkan terlantar. “Ini kan bisa digunakan oleh masyarakat atau pemda untuk kegiatan-kegiatan produktif.”

Dengan begitu, katanya, pengembangan perkebunan sawit tak lagi harus mengorbankan kawasan hutan.

Selama ini, banyak perizinan dan HGU keluar di dalam kawasan hutan. Pemerintah berupaya melakukan kebijakan korektif melalui inpres ini.

“Inpres moratorium sawit ini juga punya kontribusi ke sana. Selain penataan pertanahan, juga membuka ruang tidak terus mendesak masuk ke kawasan hutan untuk pengembangan-pengembangan yang ada.”

Inpres moratorium sawit ini, katanya, bisa membantu kementerian terkait seperti Kementan untuk penataan perizinan. Beberapa bulan lalu, katanya, Kementan meluncurkan sistem informasi perizinan perkebunan. Inpres ini, bisa berjalan beriringan dengan sistem itu.

“Nanti Kementan akan konsolidasi pengorganisasian data dan informasi. Sisi lain instruksi ini memberikan update situasi izin dan HGU-HGU perkebunan sawit di Indonesia,” katanya.

Abetnego mengaku tak khawatir kalau ada penolakan dari pelaku usaha atas inpres ini. Inpres, katanya, keluar demi perbaikan tata kelola perkebunan sawit lebih baik.

“Seharusnya, kalau para pelaku usaha benar-benar mau berusaha, tidak akan ada penolakan. Selama ini yang kita hadapi, mereka-mereka yang memanfaatkan perizinan dan HGU untuk cadangan lahan atau land banking. Lahan dibuka, tapi tidak dikelola.”

Kemudian, katanya, ada banyak kabupaten mau ada kebijakan moratorium ini karena wilayah mereka sudah dikelilingi izin-izin dan HGU. “Kalau memang mau penyegaran, ya harus mendukung untuk melihat kembali lagi apakah tanah-tanah yang dibebani izin maupun HGU ini dikelola dengan baik atau tidak?”

Pembahasan aturan moratorium sawit ini sudah bergulir sejak April 2016, tetapi baru terealisasi hampir penghujung 2018. Menurut Abetnego, meski memerlukan waktu cukup lama, namun tak ada tarik menarik kepentingan di pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan ini.

“Memang harus dilihat bahwa kita kan tak merombak struktur kebijakan. Hanya menambahkan tugas-tugas untuk review, jangan sampai sistem kerja justru mengacaukan.”

 

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pilkada korup memicu izin-izin konsesi lahan keluar sebagai modal kampanye politik. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

Jawab ketimpangan lahan?

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional menyambut baik penerbitan inpres sebagai langkah awal penataan ulang atas pengelolaan sumber daya alam, terutama perkebunan.

”Instruksi untuk kepala daerah, harus diperkuat dengan langkah-langkah politik oleh presiden, kepemimpinan presiden kunci gubernur dan bupati mereview izin-izin yang sudah keluar,” katanya.

Upaya penegakan hukum, katanya, tak kalah penting bagi pelanggaran hukum oleh korporasi. Walhi mendorong, pemerintah kaji ulang regulasi yang menghampat upaya penegakan hukum dan berpotensi jadikan regulasi ini tak efektif.

Dia contohkan, moratorium ini mengecualikan permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang sudah ditanami. Ia diproses melalui Peraturan Pemerintah Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Dia berharap, inpres ini pun sejalan dengan komitmen pemerintah menjawab peroalan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan agraria. ”Proses evaluasi perizinan tak boleh lepas, harus jadi bagian tak terpisahkan dari kerangka reforma agraria.”

Dengan moratorium ini, kata Alin, panggilan akrabnya, harus menyasar penerbitan HGU di alokasi penggunaan lain (APL), bukan hanya dari pelepasan kawasan hutan. Karena, katanya, konflik sosial di APL sangat tinggi.

Tak hanya itu. Dalam pelaksanaan harus ada keterbukaan proses dan informasi terutama evaluasi perizinan, dan membuka partisipasi aktif publik.

Alin bilang, idealnya moratorium ini dalam waktu 25 tahun karena pemulihan lingkungan memerlukan waktu panjang.

Sawit Watch mendesak inpres ini bersinergi dengan sejumlah kebijakan yang sudah ada. ”Implementasi di tingkat tapak harus terlaksana dan terpantau agar tata kelola perkebunan sawit lebih baik,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch.

Berdasarkan data Sawit Watch, luas perkebunan sawit di Indonesia sudah 22,2 juta hektar. Konflik agraria di perkebunan sawit sepanjang tahun terus meningkat. Hingga kini, ada 750 konflik di perkebunan sawit.

Eddy Martono, Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menyebutkan, ini jadi momentum untuk mengevaluasi perizinan perkebunan sawit. Waktu tiga tahun, baginya sudah cukup dalam mengevaluasi dan penataan perizinan.

”(Dalam evaluasi) mesti dilihat apabila ada kebun masuk kawasan hutan perlu dilihat sejarah perizinan dan kebijakan waktu itu,” katanya.

Dia sebutkan contoh, dulu tata ruang tak mempermasalahkan hingga keluar izin sampai HGU dan tak bisa mengevaluasi dengan aturan tata ruang saat ini.

Dia juga menyoroti soal ketentuan alokasi 20% untuk perkebunan rakyat atas pelepasan kawasan hutan buat kebun sawit. ”Jadi 20% plasma masih membingungkan kita, mana yang akan diikuti. Masing-masing luasan pasti berbeda.”

Ketentuan KLHK, katanya, alokasi 20% untuk perkebunan rakyat atas pelepasan kawasan hutan, Kementerian ATR/BPN 20% dari pelepasan kawasan hutan dan HGU perkebuanan sawit, Kementan 20% dari total luas lahan perusahaan perkebunan.

Jokowi meminta Menteri Koordinator Perekonomian mengkoordinasikan proses evaluasi dan verifikasi perizinan pekebunan sawit lintas kementerian, lembaga dan daerah. Kemenko Perekonomian juga menetapkan standar minimum kompilasi data dan sinkronisasi dengan pelaksanaan kebijakan satu peta.

Menko Perekonomian juga melaporkan pelaksanaan inpres kepada presiden berkala setiap enam bulan atau sewaktu-waktu diperlukan.

Inpres Moratorium Sawit 2018

 

Keterangan foto utama:     Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Bagaimana moratorium perkebunan sawit atasi masalah macam ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Konflik warga dengan perusahaan negara yang menanam sawit. Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version