Mongabay.co.id

Minim Tenaga Kerja, Perempuan dan Anak-Anak di Sikka Diajak Melaut

Menjadi nelayan ternyata bukan hanya dilakoni kaum lelaki, tetapi juga dilakukan para perempuan dan anak-anak sebab tidak pekerjaan lain.

Sebanyak 5.085 nelayan di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebanyak 1.895 orang dikategorikan nelayan penuh, 892 orang nelayan sambilan utama, 406 orang nelayan sambilan tambahan, dan 1.902 orang buruh nelayan.

“Pemilik kapal  purse seine atau Lampara selalu kesulitan mencari pekerja tetap guna membantu kami melaut. Ini membuat kami harus mencari siapa saja yang mau turun ke laut menemani kami,” kata Burhan, Sekretaris kelompok nelayan Bakti Abadi kampung Wuring, Wolomarang, Alok Barat, akhir Agustus.

Nelayan Wuring mengeluhkan permasalahan buruh nelayan tidak tetap dan sering berpindah dari satu kapal ke kapal Lampara lainnya.

“Kalau hasil tangkapan kami hari ini banyak, besok pasti banyak buruh nelayan yang datang menawarkan diri untuk ikut bekerja di kapal kami. Tapi kalau hasil tangkapan sedikit, besoknya mereka semua pindah ke kapal lainnya,” kata Burhan.

baca : Perempuan Nelayan, Mampukah Memperjuangkan Kesetaraan?

 

Para perempuan dan anak-anak yang berada di kapal purse seine usai menjual ikan hasil tangkapan di TPI Alok Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Seorang pemilik lampara, Aco mengatakan sejak dulu sampai sekarang ada sistim kerja harian nelayan di kabupaten Sikka. Padahal di daerah lain gaji buruh nelayan dibayar bulanan.

Kondisi ini membuat Aco dan pemilik lampara tidak bisa mengetahui berapa penghasilan bersih yang mereka peroleh selama sebulan. Meski berulang kali pemilik lampara membuat aturan mengenai buruh, tetapi aturan itu tidak berjalan.

“Buruh nelayan seolah mendapatkan penghasilan lebih banyak dibandingkan pemilik kapal lampara. Sehari digaji Rp20.000 ditambah hasil ikan yang menempel atau tersangkut di pukat yang bisa laku terjual Rp100.000 sampai Rp200.000 sehari. Ini gaji minimal yang diterima buruh nelayan,” beber Aco.

Kondisi tersebut membuat pemilik lampara lainnya, Halim terpaksa membawa isteri dan anak untuk membantu melaut. Bila tidak, maka hampir semua kapal lampara di Sikka tidak bisa melaut setiap hari.

“Tapi anak-anak yang kita bawa yang sudah bisa berenang dan rata-rata anak-anak yang putus sekolah. Kalau tidak dipekerjakan siapa yang memberi makan mereka apalagi rata-rata orang tuanya bercerai sehingga mereka juga harus mencari nafkah sendiri,” jelas Halim.

Ada hubungan menguntungkan, katanya dimana pihaknya mendapatkan tenaga kerja sementara anak-anak dan kaum ibu pun mendapatkan penghasilan. Selain itu, bila sang ibu diajak bekerja maka anak-anak secara otomatis akan diajak ibunya sebab tak ada yang menjaganya di rumah.

baca juga : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Buruh nelayan di kapal purse seine termasuk para perempuan dan anak-anak di perairan Alok Maumere kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Beri Pelatihan

Pada 2016, terdapat 115 unit kapal lampara di kabupaten Sikka, meningkat menjadi 122 unit pada 2017 dengan ukuran 4 sampai 10 Gross Ton  (GT). Tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja.

Jika setiap kapal lampara membutuhkan 4 buruh nelayan maka akan dibutuhkan 458 buruh nelayan. Rata-rata kapal berangkat malam dan subuh melepas pukat, kemudian pulang sekitar jam 6 atau jam 7.

“Saat musim panen ikan bulan Desember sampai Juni satu kapal lampara ukura 5 GT membutuhkan minimal 6 atau 7 tenaga kerja sementara lampara berukuran 10 GT bisa memerlukan 10 tenaga kerja,” papar Munir pemilik lampara ukuran 5 GT.

Terkadang untuk menyiasati bila diperiksa petugas Polairud dan Lanal Maumere, pemilik lampara, jelas Munir, memasukan nama 10 tenaga kerja. Sehingga bila yang ikut melaut hanya 4 orang pihaknya bisa memberi alasan sakit atau ada keperluan lain.

Tetapi kalau di daftar 10 orang tenaga kerja dan saat hendak melaut banyak tenaga kerja berpindah ke kapal lain pasti akan dipersoalkan Polairud dan Lanal Maumere saat ada pemeriksaan rutin.

“Rata-rata kapal lampara memiliki peralatan keselamatan seperti pelampung dan sampan. Kalau ombak besar dan angin kencang kita tidak akan melaut sehingga belum pernah sekalipun terjadi kecelakaan seperti kapal tenggelam,” ucap Munir.

menarik dibaca : Kala Perlindungan Perempuan Nelayan Masih Minim

 

Para perempuan buruh nelayan sedang menjual ikan hasil tangkapan di kapal purse seine atau lampara kepada pembeli di TPI Alok Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) kabupaten Sikka Paulus Hilarius Bangkur kepada Mongabay Indonesia, akhir Agustus mengakui kondisi kapal-kapal nelayan yang kesulitan memperoleh buruh nelayan atau tenaga kerja.

Nelayan penuh hanya ada di beberapa titik yakni Nangahure, Wuring, Nanghalae, Pemana, dan pulau-pulau kecil lainnya di pantai utara. Sementara di kecamatan Bola, Lela, dan sebagian Paga di pantai selatan, merupakan nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan.

“Nelayan penuh seluruh aktifitas produksinya tergantung kepada aktifitas perikanan sementara nelayan sambilan saat musim tertentu mereka berkebun dan saat musim tertentu mereka melaut,” jelas Paul.

DKP Sikka mencoba melatih mereka agar menjadi nelayan sambilan utama dan diberikan bantuan.

Selama ini DKP Sikka memberikan bantuan fasilitas tapi SDM tidak siap. Sekarang polanya dibalik dimana SDM dan kelembagaannya siap baru DKP memberikan bantuan fasilitas penangkapan ikan.

“Tantangan eksternal kami soal mengubah pola pikir masyarakat untuk menjadi nelayan dan mengeksploitasi laut khususnya wilayah pantai selatan dan sebagian wilayah pantai utara,” urainya.

DKP Sikka disebutkan Paul memberikan perbandingan kepada petani apabila berkebun dengan menjadi nelayan secara penuh selama 240 hari, ternyata menjadi nelayan pendapatannya lebih besar.

baca : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

  

Para perempuan buruh nelayan sedang menagngkut ikan dari kapal purse seine untuk dijual di TPI Alok Maumere kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menyalahi Aturan

Rosma seorang nelayan yang ditemui Mongabay Indonesia di TPI Alok Maumere, Sabtu (8/9) mengatakan menjadi buruh nelayan di kapal lampara untuk menghidupi keluarga.

“Banyak perempuan dan anak-anak juga bekerja sebagai buruh nelayan di kapal-kapal lampara. Terkadang kalau mujur kami bisa mendapatkan uang Rp500.000, tapi kalau lagi sepi bisa dapat Rp100.000-Rp.150.000 sehari,” tuturnya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) kabupaten Sikka Germanus Goleng bersama mengatakan ada aturan pekerja harian untuk bekerja pada waktu tertentu. Namun Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan melarang mempekerjakan anak di bawah usia 18 tahun, apalagi bekerja di laut lepas.

“Ini masuk pekerjaan terburuk dan untuk anak dilarang keras. Kami pernah menarik anak-anak nelayan yang putus sekolah untuk masuk ke shelter dan disekolahkan. Namun program dari kementerian tersebut terputus 2015 sehingga hanya berjalan selama 3 tahun sejak 2012,” paparnya.

Soal pekerja perempuan, Kabid Pengawasan Ketenagakerjaan Disnakertrans Sikka Hasan Kadir mengatakan, tidak boleh pekerjakan perempuan di atas jam 23.00 WITA sampai jam 06.00 WITA. dan ada syarat mempekerjakan perempuan termasuk harus ada makanan bergizi, dijamin keselamatannya dan lainnya.

Tapi kenyataannya para perempuan sudah terbiasa ikut melaut, kata Hasan sehingga Disnakertrans tidak bisa total melarang.

“Kalau kondisinya masih seperti ini maka kami pasti akan turun melakukan pengecekan kembali. Permasalahannya kita mau melarang total juga tidak bisa apalagi di Wuring rata-rata perempuan yang bekerja di lampara,” pungkasnya.

 

Exit mobile version