Mongabay.co.id

Produsen Diminta Bertanggungjawab dengan Sampahnya. Kenapa?

Peraturan tentang pengelolaan sampah mewajibkan badan usaha wajib ikut menggunakan, memproduksi bahan yang tidak mencemari alam. Juga melakukan pengolahan kembali atau daur ulang. Apakah sudah dilakukan?

Peraturan Daerah Provinsi Bali No.5/2011 tentang Pengelolaan Sampah menyebutkan hal ini pada pasal 13-15. Pasal 13 mewajibkan produsen menggunakan bahan baku yang mrnghasilkan sampah sedikit mungkin atau bisa didaur ulang. Sementara pasal 14 mewajibkan badan usaha melakukan pemanfaatan dengan menarik sampahnya untuk didaur ulang.

Hal ini diingatkan oleh sejumlah komunitas dan relawan yang terlibat dalam audit sampah memperingati World Clean Up Day pekan lalu di kawasan Dream Beach Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali.

Greenpeace Indonesia bersama WALHI Bali mengajak pungut sampah, memilah, lalu mengidentifikasi jenis sampah dan produsennya. Sampah dikelompokkan dalam food packaging, household, personal care, dan lainnya.

baca : Indonesia Jadi Partisipan Terbanyak Aksi World Clean Up Day. Kok Bisa?

 

Partisipan World Clean Up Day bersama relawan Greenpeace mengumpulkan sampah plastik di Pantai Kuk Cituis, Tangerang Banten pada Jumat (15/9/2018). Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Warga yang terlibat diajak melihat sendiri dampak tumpukan sampah terhadap lingkungan hidup, terutama pencemaran sampah plastik yang disumbangkan oleh produsen-produsen penghasil sampah terutama plastik.

Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Greenpeace Indonesia di Pantai Kuk Cituis, Banten dan Pantai Pandansari, Yogyakarta.

Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi menyebut seluruh hasil pemetaan dengan sejumlah lembaga lingkungan di Indonesia ini akan direkap dan diluncurkan bulan depan. Data base akan muncul di laman koalisi global Break Free From Plastics. “Sejauh ini paling banyak kemasan produk,” katanya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Jumat (21/9/2018).

Amanat UU No.18/2008 juga mewajibkan pengelolaan sampah. Komitmen dari produsen menurutnya mulai muncul tapi bagaimana implementasinya di lapangan? “Belum ada aturan turunan dan sanksi,” sebutnya.

baca juga : Masuknya Sampah Indonesia Dalam Aplikasi Pencatat Sampah Dunia. Untuk Apa?

 

Relawan Greenpeace mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan merk untuk audit sampah dalam rangka acara World Clean Up Day dan International Coastal Clean Up Day di Pantai Kuk Cituis, Tangerang, Banten. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Selain pengguna, produsen juga dinilai harus menunjukkan tanggung jawab pada sampah produknya. Hal ini bisa ditunjukkan dengan menarik kembali, daur ulang, atau menggunakan kemasan yang lebih ramah lingkungan atau berpikir ulang soal kemasan.

Diingatkan kemasan botol tidak semua bisa didaur ulang, misal bagian tutupnya. Juga ada kemasan multilayer seperti sachet karena mengandung campuran material. Misal antara plastik dan aluminium. Nah, ke mana sampah ini menumpuk?

Melihat sampah kita mendorong rasa ingin tahu bagaimana jejak sampah ini? Apa yang dilakukan konsumen jika kemasan produk tak bisa atau sulit didaur ulang?

menarik dibaca : Menelisik Jejak Plastik di Samudera Kini

 

Partisipan World Clean Up Day bersama relawan Greenpeace mengumpulkan sampah plastik di Pantai Pandansari, Bantul, Yogyakarta, pada Jumat (15/9/2018). Sampah itu kemudian dipilah dan diteliti mereknya. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Direktur Eksekutif WALHI Bali, I Made Juli Untung mengingatkan pemerintah bertanggung jawab memaksa setiap produsen atau badan usaha yang menghasilkan sampah wajib menarik sampah yang dihasilkannya. Karena pemerintah sudah diberi kewenangan oleh hukum untuk melakukan itu.

Bali telah memiliki Perda No.5/2011 tentang pengelolaan sampah, dan dalam perda tersebut telah diatur tegas bahwa setiap badan usaha wajib menarik kembali sampah yang mereka hasilkan. “Artinya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memerintahkan setiap badan usaha yang menghasilkan sampah untuk menarik kembali sampahnya,” urai pria muda yang menggantikan Suriadi Darmoko ini.

baca juga : Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?

 

 

Relawan Greenpeace mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan merk untuk audit sampah dalam rangka acara World Clean Up Day dan International Coastal Clean Up Day di pantai Mertasari beach, Sanur, Bali. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Aliansi Bersama

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggandeng pihak swasta membentuk Alliance for Marine Plastic Solutions Forum (AMPS). Aliansi ini diluncurkan di Kuta, Bali pada 2017 lalu.

Dalam peluncuran, dibuat sejumlah sesi diskusi seperti pola kerjasama kemitraan, penanganan sampah di darat oleh sejumlah daerah di Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan APEC High-Level Meeting on Accelerating Waste Management Solutions to Reduce Marine Litter.

Arif Havas Oegroseno, Wakil Menko Kemaritiman menyebut ini kali pertama kerja sama dengan industri dan NGO untuk mengurangi sampah plastik di lautan. “Banyak yang mengerjakan, tapi terpisah-pisah. Kami ingin kerja bersama,” katanya. Forum ini didukung Ocean Conservancy, PRAISE, dan Thrash Free Seas Alliance.

Masalah mikroplastik di laut juga karena kurangnya penegakan hukum dan penganggaran. Namun pihaknya memiliki ekspektasi tinggi target pengurangan sampah plastik di lautan sampai 70% di 2025 bisa tercapai.

baca : Begini Aliansi Pemerintah dengan Swasta untuk Solusi Sampah Plastik di Laut

 

relawan Greenpeace mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan merk untuk audit sampah dalam rangka acara World Clean Up Day dan International Coastal Clean Up Day di Pantai Kuk Cituis, Tangerang, Banten. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Ujang Solihin Sidik dari KLHK menyebut tiap tahun jumlah sampah plastik terus bertambah, walau masih dominan organik sekitar 60% dan kebanyakan sampah berakhir di TPA. Menurutnya ini isu lokal tapi sekarang jadi masalah global.

Ia memaparkan sejumlah potensi sampah yang diproduksi di Indonesia. Paling banyak sampah yang bisa dikompos sekitar 60% atau 38 juta ton, plastik 14% hampir 9 juta ton, kertas 9% sekitar 5,7 juta ton. Lainnya besi 4%, plastik, tekstil, gelas, lainnya. Ini yang bisa diolah jadi energi, listrik, dll.

Ujang merinci tantangan investasi pengelolaan sampah di Indonesia. Misalnya kurangnya proyek besar kapasitas minimum 500 ton/hari. Bisnis ini dianggap tidak bankable atau sulit bantuan keuangan dari perbankan karena risiko tinggi. Lainnya, soal tipping fee, kurangnya lahan tersedia, dan pegiat lingkungan yang tidak mendukung incinerator.

Kemenko Kemaritiman mendukung Danone Aqqua dan H&M Indonesia mengolah botol plastik menjadi produk fashion. Sebagai bentuk komitmen mengurangi sampah di lautan sebesar 70% pada tahun 2025 dengan dukungan berbagai pihak termasuk pihak swasta.

Tirta Investama (Danone AQUA) dan Kantor Produksi H&M Indonesia menandatangani komitmen kerja sama proyek Bottle2Fashion untuk memulai kerja sama mengolah kembali sampah kemasan plastik menjadi produk Fashion oleh pabrik tekstil dan garmen, PT. Kahatex, mitra kerja H&M Indonesia di Hotel Padma, Legian tahun lalu.

 

Exit mobile version