Mongabay.co.id

Membangun Ketahanan Pangan Nasional dari Ikan Patin, Seperti Apa?

Sektor perikanan budidaya terus bekerja keras untuk mengadopsi perikanan yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan di Indonesia. Prinsip itu diterapkan, karena dinilai bisa memberikan manfaatkan dan sekaligus meningkatkan produksi perikanan budidaya. Prinsip seperti itu, kini sudah diterapkan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Pemerintah menilai Kotawaringin Timur (Kotim) layak untuk dijadikan sentra pengembangan ikan patin nasional. Karena Kotim telah menerapkan budidaya perikanan berbasis kawasan yang menjadi wujud dari perikanan budidaya yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan, pengembangan kawasan maupun penerapan teknologi ramah lingkungan dalam perikanan budidaya, memang sedang menjadi fokus Pemerintah saat ini. Dan, fokus itu kemudian diterapkan di Kotim oleh Pemerintah Kabupaten Kotim.

“Sudah ada kebijakan dan program-program pengembangan kawasan di sana. Kebijakan ini tentu sesuai dengan yang telah digariskan KKP,” ucapnya pekan lalu di Jakarta.

baca :  Sentra Ikan Patin Nasional Ada di Jambi?

 

Panen raya ikan patin di Desa Mentawa Baru Bapeang, Ketapang, Kotawaringin Timur, Kalteng, September 2018. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan yang telah diterapkan di Kotim, diharapkan bisa menular ke daerah lain yang juga mengembangkan perikanan budidaya sebagai salah satu andalan meraih pemasukan kas daerah. Menurut Slamet, perikanan budidaya dengan berbasis kawasan, sangat bagus diterapkan karena bisa mendukung pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri.

Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan konsumsi, kata dia, Pemerintah mendorong pengembangan usaha budidaya melalui klasterisasi kawasan berbasis komoditas unggulan daerah. Strategi seperti itu, dinilai sangat cepat untuk mewujudkan pengembangan kawasan, karena dilakukan sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing.

“Setiap komoditas yang dikembangkan, memiliki karakteristik yang khas sesuai kondisi lokal,” tuturnya.

 

Ketahanan Pangan

Melalui penerapan klasterisasi yang disesuaikan dengan daerah, Slamet menyebutkan, target konsumsi ikan sebanyak 53 kilogram/kapita/tahun/orang diharapkan juga bisa ikut terwujud. Mengingat, untuk mencapai target sebanyak itu per orang, maka dibutuhkan suplai ikan yang cukup dan terkendali.

“Itu berarti, butuh ekstra kerja keras lagi, karena ini harus diikuti keseriusan Pemerintah dan pihak terkait untuk bisa meningkatkan produksi ikan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Tahun lalu 40 kg dan 2019 53 kg, itu salah satunya bisa didukung dari pengembangan yang ada di Kotim,” paparnya.

baca juga :  Konsumsi Makan Ikan Per Kapita Didorong Capai 50 Kilogram, Caranya Bagaimana?

 

Panen raya ikan patin di Desa Mentawa Baru Bapeang, Ketapang, Kotawaringin Timur, Kalteng, September 2018. Desa Bapeang merupakan salah satu kawasan pengembangan ikan patin melalui 220 kolam. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Untuk mempercepat pengembangan sentra ikan patin nasional di Kotim, Slamet mengatakan, KKP memberikan bantuan sebanyak 1 juta ekor benih yang terdiri dari patin, nila, jelawat dan lele dan 5 ton pakan mandiri. Sedangkan untuk meningkatkan kemandirian sekaligus keuntungan usaha pembudidaya, mesin pakan mandiri juga diberikan.

Sementara, Slamet melanjutkan, untuk pengelolaan dan penataan kawasan lebih lanjut, KKP pada 2019 mendatang akan memberikan bantuan alat berat seperti eksavator. Alat tersebut, sangat dibutuhkan karena itu bisa membantu para pembudidaya untuk melaksanakan pengelolaan dan penataan kawasan lebih baik lagi.

Agar pengembangan komoditas ikan air tawar bisa semakin baik, Balai Perikanan Air Tawar (BPAT) Mandiangin, Kalimantan Selatan, diminta untuk semakin meningkatkan pengembangan ikan endemik seperti jelawat. Di Mandiangin, ikan tersebut sebelumnya sudah sukses dikembangkan sejak dari pembenihan hingga pembesaran.

”Ikan jelawat ini komoditas yang makin disenangi, diolah dengan berbagai menu, segar maupun olahan. Sehingga kebutuhannya makin meningkat, oleh karena itu tidak bisa lagi terus-terusan bergantung pada alam,” tandasnya.

Di Kotim sendiri, pengembangan ikan patin sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya, terus dilakukan saat ini. Termasuk, di Desa Bapeang, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang. Di sana, Pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi salah satu kawasan pengembangan ikan patin melalui 220 kolam.

baca :  Industri Perbenihan Perikanan Nasional dalam Kejaran Target

 

Ikan patin merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya di Kotawaringin Timur, Kalteng. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Wakil Bupati Kotim M Taufiq Mukri menerangkan, selain patin, di Kotim saat ini dikembangkan juga komoditas lain seperti nila dan jelawat. Ketiga komoditas itu adalah bagian dari pengembangan komoditas perikanan air tawar di Kotim. Sementara, untuk komoditas air payau, Kotim mengembangkan udang dan ikan bandeng.

“Masing-masing komoditas telah ditetapkan kawasan pengembangannya,” tuturnya.

Untuk mengejar angka produksi, Taufiq mengungkapkan, pihaknya menerapkan tiga strategi dalam pengembangan perikanan budidaya di Kotim. Pertama, dengan menata kawasan secara khusus patin, nila dan tambak udang. Kedua, pengembangan dan pelestarian ikan Jelawat yang menjadi ikon Kota Sampit dan ketiga pengembangan ikan introduksi dengan pola budidaya kolam maupun sistem bioflok.

 

Ikan Jelawat

Seperti disebutkan di atas, selain mengembangkan patin, Kotim juga fokus mengembangkan nila dan jelawat. Untuk nama ikan yang disebut terakhir, itu adalah ikan endemik asli Indonesia yang banyak ditemukan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Dengan rasa yang lezat dan tekstur daging yang lembut, ikan tersebut menjadi primadona penikmat kuliner ikan dalam beberapa tahun terakhir.

“Akibatnya, di beberapa daerah ikan ini mulai sulit didapatkan akibat penangkapan di alam yang berlebihan,” ungkap Taufiq.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kotim Heriyanto menjelaskan, mengakui kalau ikan jelawat yang ada di Kotim adalah salah satu jenis ikan yang sangat digemari oleh masyarakat. Kepopulerannya sebagai ikan yang lezat, membuat jelawat sukses menjadi komoditas yang banyak dicari oleh orang dari dalam maupun luar Kotim.

“Bahkan sudah ada permintaan dari luar negeri seperti Thailand. Selain dinikmati dalam bentuk segar juga sudah berhasil diolah menjadi berbagai macam produk olahan,” ucapnya.

Diketahui, pada 2017, produksi perikanan budidaya di Kotim mencapai 8.409,4 ton, dan sebanyak 2.547,98 ton di antaranya adalah produksi ikan patin dan sebanyak 19,28 ton adalah produksi ikan jelawat.

 

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto melakukan penebaran benih ikan patin di Jambi pada akhir Oktober 2017. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Sebelum Kotim, Pemerintah lebih dulu mengembangkan sentra ikan patin di Jambi. Daerah tersebut dipilih, karena dinilai sudah sangat siap dan fokus mengembangkan perikanan budidaya dalam beberapa tahun terakhir. Seperti halnya di Kotim, pengembangan yang dilakukan juga menerapkan sistem klasterirasi berbasis komoditas unggulan daerah.

“Strategi ini sangat ampuh untuk percepatan pengembangan kawasan, karena pada prinsipnya setiap komoditas yang dikembangkan memiliki karakteristik yang khas sesuai kondisi lokasi,” ungkap Slamet Soebjakto di Jambi, tahun lalu.

Slamet mengatakan, pengembangan Provinsi Jambi menjadi sentra produksi patin nasional, akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan patin di dalam negeri. Untuk itu, dia berjanji akan menggenjot produksi di hulu dan sekaligus memperbaiki sistem tata niaga dan hilirisasinya.

“Dengan demikian nilai tambah ekonomi patin dapat dirasakan masyarakat,” sebutnya.

Jika sesuai rencana, Slamet mengungkapkan, produksi patin nasional akan mengalami peningkatan banyak dan itu diprediksi akan menambah jumlah pasokan untuk kebutuhan patin nasional. Dia optimis pasokan dari Jambi tersebut bisa diserap oleh pasar nasional, mengingat saat ini sedang berkembang sentimen negatif terhadap patin impor seperti dari Vietnam.

baca :  Kenapa Ikan Patin dari Vietnam Bisa Beredar Luas, Padahal Mengandung Zat Berbahaya?

 

Olahan kuliner ikan khas. Pindang ikan patin. Masakan khas masyarakat sekitar rawa gambut dan sungai di Sumsel. Foto : Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Menurut Slamet, kasus impor illegal produk ikan patin yang terbukti mengandung tripolyphospate, dimana produk tersebut ternyata berasal dari Vietnam dan dipastikan akan menyebabkan hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produk dari negara tersebut. Kondisi itu, dipastikan akan membuat produk patin Vietnam turun drastis di pasar global.

“Tidak hanya itu, peluang ekspor fillet patin akan sangat terbuka lebar khususnya ke Amerika Serikat, seiring dikeluarkannya kebijakan negara Amerika Serikat untuk menghentikan impor patin dari Vietnam,” tambahnya.

 

Exit mobile version