Mongabay.co.id

Perburuan, Perambahan dan Konsesi Batubara, Akankah Gajah Bengkulu Tinggal Kenangan?

Tak banyak publik yang tahu bahwa gajah sumatera masih ada di Bengkulu. Sama tak tahunya seperti saya, saat dosen saya bertanya apakah saya tahu tentang gajah di Bengkulu, saat beliau mengetahui saya asli dari Rejang, Bengkulu.

Itu kejadian tahun 2001. Pertanyaan itu menjadi awal saya mencari tahu keberadaan mamalia darat terbesar ini di Bengkulu. Fokus saya adalah Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara. Diantara tahun 2004- 2009 saya sering bolak-balik ke lokasi tersebut.

Saat ini PLG telah berubah status menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat (SK Menhut No. 3890/2014) yang luasnya 7.732,80 hektar. Banyak kenangan yang saya jumpai. Beberapa diantaranya, berhari-hari ikut patroli kawasan di dalam hutan, mengamati berbagai jenis satwa liar, memandikan gajah di Sungai Seblat, hingga ikut proses evakuasi gajah jinak Nelson yang diserang gajah liar.

Menyaksikan aktivitas gajah makan adalah kegemaran saya. Satwa cerdas ini pandai mengambil daun dan rerumputan. Rumput yang pendek sekalipun ia bisa ambil. Menggunakan belalai dibantu kaki depannya, ia menendang rumput-rumput agar terlepas dari tanah. Mereka pun pandai menyeberangi sungai atau pun menuruni tebing.

 

***

 

Namun sayangnya, perjalanan hidup gajah di TWA Seblat tidaklah seindah seperti memori yang saya kenang. Kasus-kasus kematian puluhan gajah telah terjadi di Bengkulu dalam tahun-tahun terakhir ini.

Pada tahun 2007, pembunuhan sadis terjadi pada Pratama, gajah jinak pertama yang ditangkap dan dijinakkan di TWA Seblat. Anehnya, lebih dari satu dekade hingga sekarang, kasus ini masih buram, belum tampak kejelasannya.

Tahun 2009 dua ekor gajah jinak, Paula dan Gia di TWA Seblat mati ditembak tepat di kepala hingga tembus ke otaknya. Barang bukti peluru telah dikirim ke laboratorium forensik di Palembang untuk mengetahui jenis senjatanya. Namun kasus ini pun tetap gelap.

Terakhir pada bulan Juli 2018 di Bengkulu, satu ekor gajah betina usia sekitar 20 tahun ditemukan mati dan membusuk di wilayah Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Teramang, Desa Retak Mudik, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Mukomuko.

 

 

Foto citra landsat, tumpang tindih batas antara konsesi batubara PT Inmas Abadi dengan kawasan TWA Seblat. Dok: BKSDA Bengkulu 2018

 

TWA Seblat: Perseteruan antara Habitat Satwa dan Kepentingan Batubara

Selain perburuan liar yang marak, ancaman kepunahan gajah diakibatkan hilangnya tempat hidupnya. Perubahan hutan untuk peruntukkan lain, seperti perkebunan, pertambangan dan permukiman jelas menjadi tantangan utama.

Hilangnya gajah bukannya hal mustahil. Berita Kompas (16 September 1999) menulis punahnya gajah di Sikinjang daerah Solok Selatan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat tahun 1982. Hal serupa pun bukan tak mungkin bakal terjadi di Bengkulu.

Kawasan TWA Seblat, habitat penting tempat hidup gajah dan satwa liar lainnya, saat ini sedang menghadapi masalah dengan adanya upaya tuntutan perubahan kawasan menjadi lokasi tambang batubara. Adalah PT Inmas Abadi yang sejak tahun 1996, mengantongi izin kuasa eksplorasi tambang (SK Dirjen Pertambangan Umum No. 124/1996) yang mencoba mengeruk isi perut bumi di TWA Seblat.

Di tahun berikutnya, PT Inmas Abadi mendapat persetujuan eksplorasi bahan galian batubara di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 2.400 hektar yang berlaku selama 1 tahun (SK Dirjen Intag No. 811/1997).

Pada tahun 1999, Departemen Kehutanan melakukan penunjukkan kawasan hutan di Seblat yaitu hutan produksi tetap dengan fungsi khusus (HPKh) PLG Seblat seluas 6.865 hektar (SK Menhut No. 420/1999).

Pada tahun 2008, PT Inmas Abadi mengajukan permohonan peninjauan kembali permasalahan tumpang tindih lahan konsesi mereka yang berada di area PLG Seblat untuk kepentingan eksploitasi batubara. Permohonan itu lalu ditolak oleh Menteri Kehutanan (SK Menhut No S.320/Menhut-II/2008, 20 April 2008).

 

Bongkahan batubara yand ada di DAS Air Bengkulu, Foto: Dedek Hendry/Mongabay Indonesia

 

Setahun berikutnya, 2009 Tim Conservation Response Unit (CRU) BKSDA Bengkulu dengan koordinasi Polda Bengkulu melakukan penangkapan Tim Eksplorasi PT Inmas Abadi yang dilaporkan sedang melakukan kegiatan eksplorasi di area Hutan PLG seblat.

Pada tahun 2012, Gubernur Bengkulu membuat keputusan untuk pencabutan/pembatalan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi perusahaan PT Inmas Abadi (Keputusan Gubernur No. V.61.XXV/2012), yang sekaligus menganulir keputusan Gubernur (ditandatangani oleh Plt Gubernur Bengkulu) setahun sebelumnya, yang mengeluarkan IUP operasi produksi batubara seluas 5.672,49 hektar di Bengkulu Utara.

Tak berdiam diri, PT Inmas mengajukan banding. Mahkamah Agung menyatakan surat keputusan Gubernur Bengkulu tak sah dan mengeluarkan keputusan MA tentang pembatalan pencabutan IUP PT Inmas Abadi (Keputusan MA No. 222K/2013).

Pada tahun 2017, Dirut PT Inmas Abadi menyampaikan keberatan atas penetapan kawasan TWA Seblat. Dalam suratnya kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pihak perusahaan menyebut sebagian kawasan TWA Seblat, seluas 600 hektar, berada dalam konsesi IUP.

Merespon hal tersebut, pada Agustus 2018 Dirjen Planologi Kehutanan menolak. Disebutkan bahwa penetapan TWA Seblat telah sesuai dengan alasan keberadaan kawasan hutan telah terlebih dahulu dibandingkan Izin Kuasa Pertambangan PT Inmas Abadi. Hingga sekarang urusan ini masih terus berlanjut.

 

***

 

Upaya pertambangan batubara sendiri memang marak terjadi di Bengkulu Utara. Mengutip data tertera di Mongabay Indonesia, 22 Juli 2014, Kabupaten Bengkulu Utara merupakan kabupaten yang paling banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di Bengkulu yaitu seluas 221.371 hektar.

Luas Kabupaten Bengkulu Utara mencapai 554.854 hektar dengan luasan hutannya mencapai 222.116,09 hektar. Hutan konservasi 81.089,57 hektar, hutan lindung 40.298,60 hektar dan hutan produksi 65.420,71 hektar. Lebih dari setengah luas kabupaten ini dipergunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan batubara yang jika ditotal luasnya lebih dari luas kawasan hutannya.

 

Anak gajah yang lahir di CRU Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Akankah generasi berikut masih dapat menjumpai gajah sumatera? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk mempertahan hutan tersisa, -khususnya TWA Seblat dan kawasan hutan lain di Bengkulu Utara, diperlukan dukungan publik agar pihak KLHK dapat tetap konsisten pada keputusan sebelumnya yang telah dikeluarkan pada tahun 2008. Hal ini pun sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mempertahankan kawasan hutan yang tersisa.

Kebijakan yang akan membuka kawasan hutan alam, apalagi ingin merubah status kawasan konservasi dan penyangga kehidupan tentunya harus dihentikan. Telah banyak pembuktian seperti apa dampak yang ditimbulkan akibat merubah bentang alam menjadi konsesi pertambangan batubara.

Kepunahan gajah sumatera di Bengkulu pastinya juga akan terjadi jika memang tidak ada perubahan total upaya-upaya perlindungan terhadap satwa ini. Ini bisa dilihat dari pembiaran terhadap kasus-kasus pembunuhan gajah di Bengkulu yang hampir setiap tahunnya terjadi.

Jika perubahan bentang lahan dan perburuan liar terus dibiarkan, pengalaman yang saya rasakan bersama dengan gajah sumatera di TWA Seblat sepertinya sangat kecil peluangnya untuk diulangi oleh generasi berikutnya.

 

* Een Irawan Putra. Direktur Eksekutif Rekam Nusantara-Indonesia Nature Film Society. Suku Rejang, lahir dan besar di Bengkulu Utara. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

 

Exit mobile version