Mongabay.co.id

Jawa dan Nusa Tenggara Langganan Bencana Kekeringan, Mengapa?

Kekeringan di Jawa dan Nusa Tenggara bak jadi agenda tahunan karena pasokan sumber air sudah defisit sejak 1995. Foto: BNPB

Kekeringan kembali melanda Pulau Jawa dan Nusa Tenggara tahun ini diperkirakan sampai November. Kekeringan di daerah-daerah ini bak jadi agenda tahunan karena pasokan air memang sudah defisit sejak 1995.

Berdasarkan data yang dihimpun Posko BNPB, kekeringan melanda 11 provinsi terdapat di 111 kabupaten dan kota, 888 kecamatan dan 4.052 desa menyebabkan 4,87 juta terdampak.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Indonesia BNPB mengatakan, sebagian besar kekeringan melanda Jawa dan Nusa Tenggara, meski kondisi kemarau ini sebenarnya normal, namun kekeringan meluas antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Lampung. Untuk Bali, kekeringan tak terlalu berdampak luas.

Periode September-Oktober 2018 hingga Februari 2019, BMKG memprediksi ada peluang El-Nino lemah hingga moderate.

El-Nino merupakan kondisi suhu air laut memanas di Samudera Pasifik hingga di atas rata-rata suhu normal. Ia mengakibatkan fenomena alam seperti kekeringan.

Beberapa wilayah diprediksi memiliki curah hujan kurang 50 mm, bagian selatan Sumatera, mulai Riau Selatan hingga Lampung, Bangka Belitung, Jawa Bali, NTB, NTT, Kalimantan Bagian Timur. Juga sebagian besar Sulawesi kecuali Sulawesi Barat dan bagian tengah Sulawesi Tengah dan sekitar Toli-Toli, Pulau Buru (Maluku) dan bagian selatan Papua sekitar Merauke.

Hari tanpa hujan ekstrim tinggi, lebih dari 100 hari, tercatat terjadi di beberapa wilayah, seperti Bali (Buleleng/Gretek, Karangasem/ Tianyar), Yogyakarta (Bantul, Gunung Kidul, Tanjungsari), Jawa Barat (Wanasaba Kidul, Cangkol), Jawa Tengah (Polokerto, Sokowati), Jawa Timur (Sumberejo, Klengen, Kwd Grati), Nusa Tenggara Barat (Batunyala, Madapangga, Sebewe Moyo Utara).

Berdasarkan data BNPB, di Jawa Barat, kekeringan ada di 22 kabupaten dan kota meliputi 165 kecamatan, 761 desa, dan berdampak pada 1,13 juta penduduk kekurangan air bersih.

Di Jawa Tengah, 854.000 penduduk terdampak kekeringan di 28 kabupaten dan kota, 208 kecamatan dan 1.416 desa. Di Yogyakarta, kekeringan di tiga kabupaten dan kota, 21 kecamatan, dan 25 desa menyebabkan sekitar 132.000 penduduk terdampak.

Di Nusa Tenggara Barat, 1.23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan berada di sembilan kabupaten dan kota, 74 kecamatan, dan 346 desa.

Kekeringan menyebabkan pasokan air berkurang, debit air menurun, tinggi muka air danau dan waduk menyusut, sumur kering hingga masyarakat mengalami kekurangan air dan sebagian puso.

 

Kekeringan di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, diperkirakan sampai November 2018. Foto: BNPB

 

Defisit

Menurut Sutopo, daerah yang mengalami kekeringan saat ini hampir setiap tahun terjadi bencana serupa. ”Jawa dan Nusa Tenggara, defisit air sejak 1995,” katanya.

Artinya, ketersediaan air, baik permukaan maupun air tanah sudah tak mampu mencukupi keperluan penduduk. Kondisi ini turut dipengaruhi jumlah penduduk yang terus bertambah, pasokan air relatif sama.

Pada tahun sama, Kementerian Pekerjaan Umum melakukan studi neraca air yang menunjukkan, surplus air hanya pada musim hujan di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan, musim kemarau, daerah-daerah itu kekurangan air selama tujuh bulan.

Pada 2003, penelitian lain menyebutkan total kebutuhan air di Jawa dan Bali mencapai 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya terpenuhi 25,3 miliar meter kubik atau setara 66%.

Studi Bappenas 2007 menunjukkan, ketersediaan air yang ada sudah tak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. ”Sekitar 77% kabupaten dan kota telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.”

Dari studi itu, kata Sutopo, tak aneh jika saat kemarau, akan mengalami kekeringan terutama Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

BNPB pun melakukan upaya jangka pendek mengatasi kekeringan dibantu BPBD dan isntansi terkait, dunia usaha maupun relawan dengan mengirimkan air bersih melalui mobil tangki.

Sedangkan upaya jangka panjang mengatasi kekeringan, katanya, melalui berbagai macam pembangunan, seperti waduk/bendungan, rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai, pembangunan jaringan air bersih.

Lalu, meningkatkan pembangunan embung, konservasi tanah dan air, peningkatan kualitas lingkungan dan lain-lain. “Pembangunan ini diikuti gerakan masyarakat meningkatkan partisipasi dan pelestarian lingkungan.”

 

Kekeringan panjang

Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang memperkirakan, hampir seluruh wilayah NTT mengalami hari tanpa hujan (HTH) kategori sangat panjang, 31-60 hari.

Tini Tadeus, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT mengatakan, kekeringan di NTT sedang puncak dan berakhir pada November. ”Ini merata, hari-hari tanpa hujan hingga tiga bulan ini (Agustus, September, Oktober),” katanya.

Tak hanya pasokan air bersih berkurang, kekeringan juga menyebabkan kebakaran hutan dan padang rumput. ”Ada yang sengaja membakar dan pengaruh tangan jahil agar tumbuh rumput baru,” katanya.

Meski demikian, titik api tak seperti kebakaran di Kalimantan dan Sumatera.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kekeringan NTT ini berdampak pada sekitar 866.000 penduduk tersebar di 22 kabupaten dan kota, 254 kecamatan dan 896 desa.

Hary Tirto Djatmiko, Kepala Humas BMKG kepada Mongabay mengatakan, beberapa daerah alami tak hutan ekstrim seperti Kabupaten Nagekeo (sekitar Rendu), Rote Ndao (sekitar Olafulihaa), Kupang (sekitar Hueknutu dan Kupang) serta Belu (sekitar Weluli).

Prediksi ini, katanya, berasal dari Tim Forecaster Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang dalam monitoring HTH dan analisa curah hujan dasarian pertama (10 hari pertama) September 2018 dan prakiraan probabilistik curah hujan dasarian kedua.

TIni mengharapkan, kabupaten terdampak ada inisiatif segera meminta bantuan dana on call dari pemerintah pusat. Hingga kini, sudah ada empat kabupaten sudah tersalurkan kebutuhan air bersih, dua kabupaten proses mengajukan ke pemerintah pusat.

Sedangkan, keperluan air untuk irigasi pertanian beberapa wilayah masih pasok dari waduk ataupun bendungan. ”Pada musim kemarau ini tidak seluruhnya mengalir (air irigasi), pada titik tertentu saja,” katanya seraya bilang, ada beberapa bendungan masih baru dan pengisian air belum terpenuhi.

BNPB menyiapkan anggaran dana siap pakai Rp50 miliar untuk mengatasi kekeringan di daerah. Bantuan bersifat darurat dengan suplai air, pengadaan tandon air, sewa mobil tangki air, pembangunan bak penampung air, pembangunan sumur bor dan lain-lain bersifat darurat.

“Diperkirakan kekeringan 2018, ini tak banyak berpengaruh pada ketahanan pangan. Tak banyak pertanian puso luas hingga berdampak pada produksi pangan nasional,” kata Sutopo.

Pada dasarian kedua September 2018, kata Hary, hujan curah kategori rendah, peluang 0-20 milimeter sebesar 90-100%. BMKG mengimbau masyarakat NTT menghemat air, baik konsumsi maupun untuk pertanian.

Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, kekeringan di NTT bagian dari kondisi alam, yakni iklim semi arid (gersang).

”Memang dengan berkurangnya tutupan vegetasi, kekeringan bisa makin parah. Upaya dilakukan mencegah pengurangan tutupan vegetasi hutan lindung karena pembalakan liar atau perambahan,” katanya.

 

Kekeringan 2017. Bantuan aiir bersih terus diberikan kepada warga yang alami kekeringan karena kemarau panjang. Foto: BNPB/ Mongabay Indonesia

 

Upaya itu, katanya, perlu dibarengi dengan rehabilitasi hutan-hutan lindung dan konservasi yang terdegradasi. Pada 2019, katanya, sesuai arahan presiden, prioritas rehabilitasi di daerah-daerah tangkapan air waduk.

Kalau ada dana besar, katanya, bisa saja menghijaukan savanna atau gurun jadi hutan atau lahan pertanian. Beberapa negara lakukan itu seperti Israel, Etiopia, dan China di Gurun Gobi.

Berdasarkan dana anggaran KLHK 2018, ada sekitar Rp1,5 triliun untuk rehabilitasi lahan di Indonesia. ”Lahan kritis kita mencapai 14 juta hektar dan dengan dana segitu kita paling bisa rehabilitasi 20.000 hektar,” katanya.

Sedangkan, tahun 2019, dana naik jadi Rp3,8 triliun dengan target rehab 230.000 hektar. ”Selain target makin besar, ini juga lebih fokus sesuai urgensi.”

 

Makin parah

Sutopo bilang, gempabumi beruntun dan merusak Pulau Lombok dan Sumbawa menyebabkan dampak kekeringan lebih meningkat. “Jaringan pipa air bersih rusak hingga menyebabkan pasokan air bersih berkurang,” katanya.

Masyarakat di pengungsian jauh dari sumber air yang sebelum gempa dipenuhi dari PDAM, air sumur, jaringan distribusi air bersih dan lain-lain.

Saat ini, katanya, di pengungsian mengandalkan bantuan distribusi air dari mobil tangki, bak penampungan dan sumur bor yang dibangun pemerintah dan lain-lain.

Wilayah NTB, sesungguhnya sudah mengalami kekeringan dan krisis air sebelum gempabumi. Dengan gempa, dampak kekeringan bagi penduduk lebih meningkat.

BMKG pun memprediksi awal musim hujan akan mulai Oktober 2018. Dari total 342 zona musim (ZOM) di Indonesia, 78 ZOM mulai hujan Oktober, meliputi Sumatera, sebagian besar Jawa, NTT dan Sulawesi.

Sedangkan, 147 ZOM meliputi sebagian Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Papua mulai musim hujan November 2018, dan 85 ZOM lain mulai Desember 2018. Dengan puncak musim hujan diprediksi pada Januari-Februari 2019.

 

Keterangan foto utama: Kekeringan di Jawa dan Nusa Tenggara bak jadi agenda tahunan karena pasokan sumber air sudah defisit sejak 1995. Foto: BNPB

Sumber air yang ada malah terancam. Sumber mata air dari Pegunungan Kendeng, jadi sumber hidup warga dan tanaman pertanian masyarakat sekitar. Apakah penerbitan amdal bermasalah tak jadi kekhawatiran pemerintah yang bisa mengancam hidup rakyat ke depan? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version