Mongabay.co.id

Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta Harus Dikawal Masyarakat Pesisir

Penghentian izin reklamasi untuk 13 pulau yang ada di kawasan Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta, menjadi langkah yang bagus berkaitan dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari mega proyek tersebut. Tetapi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya tak hanya menghentikan 13 pulau saja, tapi juga 17 pulau atau keseluruhan proyek reklamasi yang ada di kawasan tersebut.

Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, akhir pekan lalu menanggapi keputusan penghentian 13 pulau reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Menurut dia, keputusan tersebut akan berdampak positif bagi proses penghentian reklamasi secara keseluruhan.

“Ini tidak boleh bahagia berlebihan. Lebih penting lagi, harus dikawal oleh masyarakat dalam proses berikutnya,” ucapnya.

Tentang keputusan penghentian untuk 13 pulau saja, Susan berpendapat bahwa itu juga masih menjadi ganjalan bagi masyarakat, khususnya nelayan dan pegiat lingkungan di Indonesia. Menurut dia, selain 13 pulau, 4 pulau lainnya juga dinilai sudah terbukti melakukan pelanggaran hukum dan itu menjadi alasan yang sangat kuat untuk menghentikan seluruh pulau yang dibangun melalui reklamasi.

Bukti yang dimaksud Susan itu, adalah karena pelaksanaan reklamasi sudah merusak ekosisten Teluk Jakarta dan mengakibatkan kawasan tersebut mengalami degradasi alam yang sangat parah. Dia mengatakan, kerusakan tersebut bisa terjadi, karena secara alamiah pulau-pulau buatan sudah mengacaukan struktur alam yang sudah ada sejak lama di Teluk Jakarta.

baca :  Inilah Permasalahan di Darat dan Laut dalam Reklamasi Jakarta    

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

 

“Selain itu, reklamasi juga merusak alam karena ada kawasan yang diambil material pasirnya untuk kebutuhan pembuatan pulau. Kemudian, itu juga menghancurkan kehidupan sosial ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir di sana yang tercatat lebih dari 56 ribu jiwa,” paparnya.

Dengan segala dampak negatif yang merugikan itu, Susan merasa lega dengan keberanian Gubernur DKI Jakarta untuk mengeluarkan keputusan penghentian reklamasi di 13 pulau. Untuk itu, dia meminta siapapun yang berwenang untuk tidak lagi melarang nelayan untuk melaksanakan aktivitas penangkapan ataupun mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada di Teluk Jakarta.

 

Pemulihan Ekosistem

Setelah 13 pulau tidak bisa melanjutkan reklamasi, Susan meminta Pemprov DKI Jakarta atau pihak terkait lainnya untuk bisa melaksanakan restorasi atau pemulihan kawasan Teluk Jakarta. Pemulihan harus dilakukan, karena kawasan tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama sudah mengalami pencemaran yang sangat serius.

“Restorasi Teluk Jakarta harus ditempatkan dalam agenda pembangunan jangka panjang karena kawasan ini telah mengalami kerusakan yang sangat serius,” ungkapnya.

baca juga :  Ada Kejanggalan dalam Prosedur Pencabutan Moratorium Reklamasi Teluk Jakarta, Seperti Apa?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Agar pelaksanaan restorasi bisa berjalan dengan benar, Susan meminta seluruh nelayan dan masyarakat pesisir yang ada di Indonesia, khususnya di Teluk Jakarta bisa mengawal dan terlibat langsung dalam prosesnya. Dengan kata lain, dia meminta masyarakat dan nelayan tidak hanya sekedar melihat saja proses pemulihan ekosistem di Teluk Jakarta.

Susan menerangkan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010, nelayan dan seluruh masyarakat pesisir memiliki hak untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan. Dengan pertimbangan tersebut, segala perencanaan dan implementasi restorasi Teluk Jakarta harus menempatkan nelayan sebagai pemain utama dan bukan sebaliknya.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi KIARA pada 2017, Teluk Jakarta terbukti masih mampu memberikan memberikan kontribusi perikanan meskipun dirusak oleh proyek reklamasi. KIARA mencatat, sejak 2010 Teluk Jakarta memproduksi perikanan tangkap sebanyak 172.422 ton. Angka ini terus mengalami kenaikan secara dinamis (tabel 1).

“Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa Teluk Jakarta adalah kawasan perikanan yang produktif. Jika kawasan ini dipulihkan, maka tak menutup kemungkinan akan menjadi produsen utama perikanan tangkap di Indonesia,” ujar Susan.

Tabel 1. Data Produksi Perikanan Tangkap DKI Jakarta 2010-2016

 

Merujuk pada fakta di atas, Susan menyebut, untuk bisa mengembalikan fungsi Teluk Jakarta sebagai kawasan produktif perikanan tangkap yang bisa memberikan suplai perikanan untuk masyarakat di DKI Jakarta dan sekitarnya, maka perlu dilakuan restorasi yang berkesinambungan. Menurut dia, dengan dilaksanakan restorasi secara konsisten, itu akan mengembalikan Teluk Jakarta menjadi kawasan penting perikanan di Indonesia.

“Tetapi, nelayan harus jadi pemain utama. Jika itu terjadi, maka pasokan ikan untuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tidak akan lagi sulit,” tuturnya.

baca :  Soal Reklamasi Jakarta, Berikut Temuan Kementerian Lingkungan Hidup

 

Seorang nelayan sedang menjemur ikan di Muara Angke, Jakarta Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dua Provinsi

Susan mengatakan, dengan pembatalan reklamasi di Teluk Jakarta, maka sudah dua provinsi yang membatalkan mega proyek itu. Selain DKI Jakarta, ada Provinsi Bali yang lebih dulu tidak bisa melaksanakan proyek reklamasi beberapa waktu lalu. Secara keseluruhan, proyek reklamasi yang masih berjalan tercatat ada 35 lokasi dari total 37 lokasi.

“Di NTT, sebenarnya ada proyek serupa juga di Lembata. Jika itu masuk, maka total ada 38 lokasi reklamasi. Ini jadi ironi negara bahari di tengah Poros Martim,” ucapnya.

baca : Benarkah Proyek Reklamasi Pantai Lembata Langgar Hukum?

Menurut Susan, reklamasi menjadi ancaman serius bagi masa depan pesisir dan laut Indonesia. juga, menjadi sebuah ironi bagi Indonesia, negeri yang dianugerahi lebih dari 17 ribu pulau. Sejak lama, kata dia, membangun kehidupan masyarakat pesisir berdaulat beserta wilayah perairannya yang bersih dan sehat, adalah menjadi impian semua warga pesisir.

Akan tetapi, kata Susan, pada kenyataannya justru pembangunan di kawasan pesisir menjadi hancur karena kehadiran proyek reklamasi. Akibat proyek itu, kehidupan masyarakat beserta alam pesisir dan laut di Indonesia ikut rusak karena proyek reklamasi yang dilakukan dengan gencar dan masif oleh pengusaha yang mengatasnamakan pribadi ataupun golongan.

 

Aksi di laut dari Tanjung Benoa, Bali pada Minggu (28/02/2016) Foto : Forbali

 

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta Tubagus Soleh Ismail mengkritik kebijakan penghentian reklamasi yang sudah dilakukan Gubernur DKI Jakarta. Menurut dia, dari 17 pulau yang ada di Teluk Jakarta, Anies Baswedan seharusnya menghentikan selurunya dan bukan hanya 13 pulau saja. Hal itu, karena seluruh pulau buatan itu dari awal sudah cacat secara hukum.

“Selain 13 pulau, empat pulau lainnya juga sudah berdampak sosial yang negatif kepada masyarat sekitarnya, karena mereka sudah kehilangan mata pencaharian,” ucapnya.

Selain mencabut izin dan menghentikan operasional 4 pulau tersisa, Tubagus menyebutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak terkait lainnya harus juga memikirkan bagaimana nasib keempat pulau tersebut yang saat ini sudah selesai pembangunannya. Kata dia, harus dipikirkan bagaimana pemanfaatan yang tepat dengan dilakukan kajian lebih dulu secara mendalam dan komprehensif.

“Swasta juga harus terlibat dalam pengelolaannya nanti, baik jadi ruang publik atau pun ruang terbuka hijau. Yang penting pemanfaatannya harus dirasakan oleh nelayan dan ekosistem sekitar. Itu perlu keberanian dari Pemerintah,” tegasnya.

Diketahui, empat pulau yang belum dicabut izinnya, adalah pulau C, D, G, dan N. Dua pulau pertama dikelola PT Kapuk Naga Indah, pulau G dikelola PT Muara Wisesa Samudra, dan pulau N dikelola PT Pelindo II. Khusus pulau D, Anies Baswedan pernah marah karena selain melanggar hukum, karena mendirikan bangunan yang dijual, padahal belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).

 

Exit mobile version