Mongabay.co.id

Pentingnya Padang Lamun untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Sayangnya..

Pemanfaatan padang lamun sebagai bagian dari mitigasi dampak perubahan iklim, hingga saat ini masih belum dilakukan oleh dunia. Padahal, bersama dengan tanaman bakau (mangrove), potensi tumbuhan di perairan laut itu diketahui sangat besar.

Seperti halnya bakau yang mampu menyerap karbondioksida (CO2), lamun juga ternyata memiliki kemampuan serupa yang tak kalah hebatnya. Menurut Peneliti Laboratorium Biogeokimia Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aan J Wahyudi, padang lamun yang ada di Indonesia saat ini memiliki kemampuan menyerap CO2 sampai 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun.

“Kemampuan menyerap sebanyak itu, berasal dari padang lamun seluas 293.464 hektare,” ungkap dia di Jakarta, Senin (1/10/2018).

Aan mengatakan, seperti halnya bakau, kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan. Dalam setiap hektare padang lamun, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan LIPI, kemampuan menyerap karbon diketahui bisa mencapai 6,59 ton per tahun. Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di darat.

baca :  20 Miliar Ton Karbon, Tersimpan di Padang Lamun Dunia

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Dengan fakta tersebut, Aan menyebutkan, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77 persen lebih banyak dari vegetasi yang ada di darat seperti hutan. Kemampuan menyerap itu, juga dimiliki oleh tanaman bakau yang juga tumbuh di kawasan pesisir.

“Untuk bisa menyerap karbon sebanyak mungkin, maka kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan. Di laut, mangrove dan lamun bisa diandalkan untuk melakukan tugas itu. Vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50 persen penimbunan karbon di sedimen,” jelasnya.

Aan melanjutkan, kemampuan menyerap karbon yang dimiliki padang lamun tersebut, walaupun besar tapi hingga saat ini masih belum dikelola dengan baik. Hal itu, terbukti dengan masih rendahnya riset tentang padang lamun di Indonesia. Padahal, melalui riset, potensi lamun untuk menyerap karbon bisa dipetakan dengan sangat baik.

 

Potensi Luasan

Berdasarkan data terbaru yang dirilis LIPI pada 2018 ini, Aan mengungkapkan, potensi luasan lamun di seluruh Indonesia mencapai 875.967 ha. Namun, dari potensi tersebut, baru seluas 293.464 ha saja yang sudah tervalidasi dan terverifikasi. Kondisi itu, menuntut pihak terkait seperti LIPI dan atau pun lembaga lain untuk bisa memetakan lebih rinci dan valid.

Dengan luasan padang lamun yang ada sekarang, Aan mengatakan, terdapat cadangan penyimpanan karbon sebesar 0,94 ton per ha. Sementara, seperti disebutkan di atas, kemampuan menyerap karbon pada setiap hektare padang lamun, mencapai 6,59 ton per tahun. Sementara, potensi cadangan karbon biomassa lamun Indonesia, besarnya mencapai 275,9 hingga 823,4 kilo ton (kt).

“Saat ini, kita melakukan riset di 13 lokasi untuk data primer dan 23 lokasi monitoring COREMAP CTI (Coral Reef Rehabilitation Management Program – Coral Triangle Initiative) di seluruh provinsi,” jelasnya.

baca juga : Seperti Apa Indeks Kesehatan Mangrove dan Lamun di Indonesia?

 

Sebuah perahu berada di atas padang lamun di perairan Gosong Beras di Desa Teluk Bogam di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Foto : DSCP Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Secara umum, Aan melanjutkan, padang lamun yang memiliki kemampuan untuk menyerap karbon, masih didominasi oleh dua jenis lamun, yakni Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Kedua jenis lamun tersebut menjadi tumpuan karena memiliki nilai cadangan karbon yang besar.

Cadangan karbon pada lamun itu tersimpan pada substrat yang ada di bawah permukaan pasir laut dan menyatu dengan akar lamun. Cadangan tersebut, mampu bertahan dalam kurun waktu lama jika kawasan pesisir tidak mengalami kerusakan karena berbagai hal.

Namun, Aan mengingatkan, walau ada cadangan yang besar, tetap perlu dilakukan pengukuran secara kontinu berapa cadangan biomassa yang tersimpan dan berapa kemampuan serapan karbon dari lamun yang ada. Cara itu harus dilakukan, karena diyakini pemetaan padang lamun untuk menyerap karbondioksida bisa terus terjaga baik kualitas maupun kuantitas.

“Apalagi, saat ini juga masih ada lamun yang belum terdata, tervalidasi dan terverifikasi. Jadi, baik cadangan biomassa, maupun kemampuan daya serap terhadap karbon juga harusnya lebih besar lagi,” tandasnya.

baca juga : Indonesia Terus Berupaya Lestarikan Dugong dan Padang Lamun dari Kepunahan, Bagaimana Caranya?

 

Mangrove di atas air, dan padang lamun di bawahnya, kombinasi kekuatan untuk menyimpan karbon dunia. Foto: Keith Elienbogen@iLCP

 

Di sisi lain, walau lamun memiliki potensi besar untuk menyerap karbon, kondisinya saat ini semakin memprihatinkan. Dari 293.464 ha padang lamun yang sudah tervalidasi, tercatat hanya 15,35 persen saja yang kondisinya bagus atau sehat. Sementara, 53,8 persen dinyatakan kurang sehat dan 30,77 persen dinyatakan miskin.

Fakta itu diungkapkan Peneliti Padang Lamun P2O Dhewani Mirah Sjafrie di tempat yang sama. Menurut dia, merujuk pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.200/2004, padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan minimal 60 persen. Sementara, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

“Itu artinya, secara umum padang lamun di Indonesia masuk kelompok tidak sehat, jika merujuk pada Kepmen LHK itu,” ungkapnya.

Kerusakan padang lamun, biasanya karena ada aktivitas manusia yang sudah merusak lingkungan atau bersifat antropogenik. Aktivitas seperti itu, tak hanya merusak lamun, tapi juga bisa menghilangkan padang lamun secara keseluruhan di kawasan pesisir tertentu.

menarik dibaca :  Padang Lamun di Teluk Bogam, Rumah Makan Kawanan Dugong

 

Padang lamun di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Lamun merupakan makanan dari duyung. Foto : DSCP Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Tidak Sehat

Dhewani menyebutkan, dari hasil penelitian LIPI, dalam tiga tahun terakhir kondisi padang lamun di Indonesia mengalami kenaikan sekaligus penurunan. Pada 2015, tutupan mencapai 46 persen, pada 2016 mencapai 37,68 persen, dan pada 2017 mencapai 42,23 persen. Fakta tersebut, menunjukkan bahwa padang lamun Indonesia dalam tiga tahun terakhir dalam kondisi tidak sehat.

“Dari hasil penelitian yang dilakukan, provinsi atau daerah yang tergolong miskin tutupan padang lamun, ada di Batam, Bangka Belitung, Kendari, dan Lampung,” tuturnya.

Selain miskin, Dhewani menambahkan, daerah yang tergolong kurang sehat kondisi lamunnya adalah Bintan, Makassar, Biak, Nias Utara, Selayar, Wakatobi, dan Buton. Sementara, daerah yang kondisi lamunnya sehat, adalah Maumere/Sikka dan Halmahera/Ternate.

Secara keseluruhan, Dhewani menjelaskan, pada 2018 ini LIPI mencatatkan ada perubahan data untuk padang lamun di Indonesia. Untuk luas padang lamun, tahun ini mencapai 293.464 ha, dan itu bertambah dari luas 150.693 ha pada 2016. Prosentase itu, kata dia, hanya menggambarkan kondisi 16-35 persen dari total luas dan potensi luasan yang ada.

Tak hanya untuk penyerapan karbondioksida, keberadaan lamun juga turut menjaga ekosistem perairan laut dengan kontinu. Bukti itu, bisa diungkap dari manfaat lamun untuk habitat biota laut istimewa seperti Duyung (dugong dugon). Mamalia laut yang menjadikan perairan laut Indonesia sebagai habitat utama di dunia itu, sangat bergantung kepada lamun yang dijadikan makanan utama setiap hari.

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Seorang penyelam mengabadikan momen itu. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Mamalia Laut P2O LIPI Sekar Mira, pada kesempatan yang sama menjelaskan, seekor Duyung bisa menghabiskan antara 21 hingga 36 kilogram lamun setiap kali makan. Biasanya, dalam sehari, Duyung akan menghabiskan waktu hingga 10 jam atau mencapai 41 persen dari aktivitas hariannya, untuk memakan lamun.

Di Indonesia, habitat Duyung bisa ditemukan di daerah seperti Toli-toli (Sulawesi Tengah), Bintan (Kepulauan Riau), Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), dan Alor (Nusa Tenggara Timur). Selain empat daerah tersebut, Duyung juga bisa ditemukan di perairan laut lainnya. Keberadaan Duyung, bisa dipastikan berkat habitat lamun yang masih sehat.

 

Exit mobile version