Indonesia Terus Berupaya Lestarikan Dugong dan Padang Lamun dari Kepunahan, Bagaimana Caranya?

Semakin sedikitnya populasi dugong (dugong dugon) di perairan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, memaksa Pemerintah Indonesia untuk semakin meningkatkan perhatian untuk menyelamatkan mamalia laut tersebut. Untuk itu, Indonesia bergabung dengan Madagaskar, Malaysia, Mozambik, Sri Lanka, Timor Leste, dan Vanuatu dalam proyek Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP).

Sesuai dengan namanya, menurut Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi, proyek tersebut berfokus pada penyelamatan dugong dan habitat padang lamun dari ancaman kepunahan.

Andi menjelaskan, dalam proyek tersebut, DSCP Indonesia menggelar “Pelatihan Metode Survei dan Pemantauan untuk Dugong dan Habitat Lamun” yang akan dilaksanakan dua kali di Jakarta dan Toli-toli, Sulawesi Tengah.

“Di dua tempat tersebut, para akademisi, peneliti, dan praktisi akan mendapatkan materi pelatihan yang berisi tentang penyelamatan dugong dan habitat lamun,” ucap Andi, Kamis (2/2/2017).

Dia menerangkan, DSCP adalah proyek regional Global Environtment Facility (GEF) yang diinisiasi bersama United Nation Environment ProgrammeConvention on the Conservation of Migratory Species (UNEP-CMS) bekerjasama dengan Mohammed bin Zayed Species Conservation Fund (MbZ).

Dengan digelarnya pelatihan tersebut, Andi berharap, semua pihak terlibat bisa meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerahnya dalam upaya konservasi dugong dan habitatnya.

Termasuk, kata Andi, dalam implementasi kegiatan pemantauan berbasis masyarakat dan penanganan mamalia laut terdampar. Selain itu, pelatihan juga diharapkan mampu meningkatkan kapasitas peneliti, akademisi dan praktisi konservasi dugong dan habitatnya dalam hal survei udara (aerial survey), survei akustik serta analisis data GIS maupun manajemen database-nya.

Dengan digelarnya pelatihan, Andi mengatakan, data dan informasi terkait dugong dan padang lamun bisa semakin dilengkapi lebih detil. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan dan perlindungan keduanya bisa dilaksanakan dengan tepat sasaran.

“Kami berharap nantinya pihak-pihak dapat bersama membantu untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Dugong dan Lamun yang telah disusun bersama,” tutur dia.

Dugong yang terpantau di wilayah perairan Kabupaten Alor, NTT. Foto: WWF-Indonesia/Tutus Wijanarko

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dirhamsyah  pada kesempatan yang sama mengatakan, dengan bergabungnya Indonesia dalam DSCP dan menggelar pelatihan, data dugong dan padang lamun bisa terkumpul sebagai basis data nasional.

Sementara, Direktur Coral Triangle WWF-Indonesia, Wawan Ridwan menyebutkan, pelatihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keterlibatan berbagai pihak dan masyarakat dalam pelestarian dugong dan padang lamun.

“Melalui DSCP, masyarakat didorong untuk menjadi pelaku utama dan duta bagi perlindungan dugong dan padang lamun di wilayahnya,” kata dia.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) Luky Adrianto, menyebut, riset dugong dan padang lamun perlu ditingkatkan karena selama ini masih tertinggal bila dibandingkan dengan riset terumbu karang dan mangrove.

Salah satu upaya penyelamatan yang bisa dilakukan, kata Luky, adalah dengan melibatkan masyarakat di dalamnya. Menurut dia, cara tersebut diyakini akan lebih efektif karena sudah terbukti dalam penyelamatan satwa laut ikan hiu dan pari manta.

Seperti diketahui, dugong adalah salah satu dari 35 jenis mamalia laut di Perairan Indonesia yang biasa ditemui di habitat padang lamun. Dugong dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.

Selain itu, dugong sudah masuk dalam Daftar Merah oleh the International Union on Conservation of Nature (IUCN) dunia sebagai satwa yang “rentan terhadap kepunahan”. Tak cukup itu, dugong juga masuk dalam Apendiks I oleh the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),

Dengan perlindungan berlapis tersebut, Dugong dinyatakan sebagai satwa laut yang dilindungi penuh dan tidak dapat diperdagangkan atau dimanfaatkan dalam bentuk apapun.

Dugong yang membutuhkan padang lamun sebagai habitatnya. Foto: WWF-Indonesia/Tutus Wijanarko

Untuk melaksanakan hasil pelatihan, DSCP Indonesia akan memulainya di 4 lokasi, yaitu Bintan-Kepulauan Riau, Alor-Nusa Tenggara Timur, Kotawaringin Barat-Kalimantan Tengah, dan Tolitoli-Sulawesi Tengah.

Dana Hibah Rp11 miliar

Sebelum terlibat dalam proyek DSCP, Indonesia mendapatkan dana hibah sebesar Rp11 miliar pada 2016. Dana tersebut berasal dari GEF dengan UNEP-CMS dan difokuskan untuk program pelestarian dugong dan padang lamun.

Selain Indonesia, Sekretaris Direktorat Jenderal PRL KKP Agus Dermawan mengatakan, negara lain yang mendapatkan dana hibah adalah negara yang tergabung dalam proyek DSCP internasional, yaitu Malaysia, Sri Lanka, Mozambik, Madagaskar, Timur Leste, dan Vanuatu.

“Dana tersebut akan digunakan untuk kegiatan penyelamatan dugong dan padang lamun selama tiga tahun, dari 2016 hingga 2018,” ungkap dia.

Agus Dermawan mengatakan, setelah mendapatkan dana hibah pada 2016 lalu, pihaknya bekerjasama dengan sejumlah pihak untuk menyiapkan dan melaksanakan tiga program kegiatan untuk penyelamatan dugong dan habitat lamun.

Ketiga program tersebut, kata Agus, adalah penguatan kebijakan strategi nasional dan rencana aksi untuk konservasi dugong dan habitatnya, penguatan penyadaran masyarakat dan riset terkait konservasi dugong dan padang lamun, dan manajemen pengelolaan dugong dan habitatnya berbasis masyarakat.

Menurut Agus, meski KKP ikut berperan, namun program tersebut bukanlah program Pemerintah dan melainkan adalah program bersama dengan sejumlah pihak. Untuk proyek tersebut, pihaknya menjadikan Pulau Bintang dan Alor sebagai proyek pertama dan percontohan untuk penyelamatan dugong dan habitat lamun.

“Kita sadar bahwa dugong ini semakin terancam, jadi harus ada upaya penyelamatan secara langsung dan berkelanjutan. Namun, kita tidak punya data dan informasi yang lengkap berkaitan dengan penyebaran Dugong dan habitat lamun ini,” ucap dia.

Sementara, kata Agus, di sisi lain, ada fakta yang tak bisa diabaikan bahwa dugong hingga saat ini masih menjadi objek perburuan oleh masyarakat ataupun pihak tetentu. Atau, kalaupun tidak, Dugong kerap kali terperangkap dalam jaring nelayan dan itu biasanya akan dimanfaatkan untuk dipelihara oleh masyarakat.

Agus menyebutkan, perlunya penyelamatan dugong dan habitat lamun, karena dugong dikategorikan mamalia laut yang siklus hidupnya sangat singkat. Dia memperkirakan, dugong paling lama bertahan hidup mencapai usia 60 tahun.

“Karena itu, jumlahnya sangat terbatas. Harus dijaga dengan baik oleh kita. Dugong ini juga hanya bisa melahirkan satu bayi setiap kali melakukan masa reproduksi yang berlangsung selama tujuh tahun,” jelas dia.

Konsumsi Daging Dugong

Lebih lanjut Agus Dermawan mengatakan, terus terancamnya populasi Dugong saat ini, tidak lain karena di Indonesia, terutama di sejumlah wilayah, ada kebiasaan mengonsumsi daging dugong oleh sekelompok orang atau perseorangan. Konsumsi tersebut, tak lepas dari mitos yang masih melekat kuat di dalam komunitas masyarakat tersebut.

“Masih ada mitos di masyarakat, jika mengambil air mata dugong dan taringnya, bisa dipakai untuk pesugihan. Untuk dagingnya, itu dikonsumsi oleh banyak orang. Jika dapat dugong, itu akan ada pesta yang mewah sekali,” papar dia.

Menurut Agus, jika terus dibiarkan kebiasaan tersebut, maka populasi dugong akan semakin terancam di Indonesia. Karenanya, butuh penanganan lebih jauh untuk menyelamatkan dugong dan habitat lamun dari ancaman kepunahan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,