Mongabay.co.id

Teknologi Informasi untuk Tingkatkan Daya Saing Produk Akuakultur, Seperti Apa?

Produk akuakultur yang ada di Indonesia, dihimbau untuk bisa meningkatkan daya saingnya hingg ke level tertinggi karena saat ini persaingan dunia perdagangan di dunia sangatlah ketat. Tanpa meningkatkan daya saing, maka produk akuakultur mustahil untuk bisa bersaing dengan produk serupa yang berasal dari negara lain.

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, untuk bisa menghasilkan produk berdaya saing yang tinggi, maka diperlukan dukungan yang kuat dari teknologi yang efisien, mutu produk yang terjamin, dan rantai sistem produksi yang efisien dari hulu ke hilir.

“Serta sumber daya manusia (SDM) maupun mesin yang efisien,” ucapnya di Jakarta, pekan lalu.

Slamet menerangkan, dengan kehadiran teknologi digital yang mumpuni, maka itu akan menciptakan efisiensi mata rantai pasok industri perikanan dan juga sekaligus terciptanya pemberdayaan bagi pembudidaya skala kecil. Kehadiran teknologi, juga akan memotong rantai bisnis yang panjang saat distribusi produk perikanan budidaya dilakukan.

Adapun, rantai bisnis yang panjang tersebut, biasanya selalu dimulai dari pembudidaya ikan sampai berakhir di tangan konsumen. Ketergantungan dengan rantai bisnis yang panjang tersebut, mengakibatkan akumulasi margin dalam komponen harga banyak dibebankan kepada konsumen. Kebiasaan itu, harus diubah untuk meningkatkan daya saing produk akuakultur.

baca :  Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?  

 

ikan budidaya. Foto : kkpnews

 

Jika mengadopsi teknologi digital, Slamet menyebutkan, para pembudidaya akan bisa memasarkan produknya langsung ke konsumen tanpa harus melewati rantai pasok yang panjang. Jika itu bisa diwujudkan, maka biaya transaksi juga pada akhirnya menjadi lebih murah dan pada akhirnya biaya margin bisa ditekan seminimal mungkin kepada konsumen.

“Pada akhirnya, pembudidaya ikan akan menikmati harga jual yang lebih baik, sementara konsumen juga mendapatkan harga jauh lebih murah dibandingkan sebelumnya,” tuturnya.

Melihat ada manfaat untuk pembudidaya dan konsumen, Slamet mengatakan, KKP terus mendorong pembudidaya untuk menerapkan akuakultur berbasis teknologi digital untuk e-commerce. Adapun, tujuannya adalah, memperpendek rantai distribusi yang tidak efisien karena mendekatkan produsen ikan dengan pasar ritel (eceran), dan memberikan kepastian harga di pembudidaya ikan dan konsumen.

Kemudian, tujuan berikutnya, adalah meningkatkan konektivitas serta menghilangkan batas jarak, ruang dan waktu untuk menyediakan sarana input dan pasar dalam pengembangan industrisasi akuakultur, dan menghadirkan model bisnis akuakultur yang efisien di tengah-tengah masyarakat.

baca juga : Inovasi dan Teknologi Untuk Tingkatkan Budidaya Perikanan di Indonesia

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Industri 4.0

Pemanfaatan teknologi e-commerce dalam distribusi produk akuakultur, menurut Slamet Soebjakto, juga menjadi peluang yang bagus bagi pembudidaya ikan di Nusantara. Mengingat, saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan seperti persaingan global melaui era revolusi industri ke-4 atau dikenal dengan sebutan Industri 4.0.

“Isu utama yang diangkat dalam era ini yaitu daya saing dan produktivitas,” sebutnya.

Berkaitan dengan industri 4.0 tersebut, Slamet menjelaskan bahwa saat ini sedang terjadi transformasi industrialisasi akuakultur menuju otomatisasi dan digitalisasi. Adapun, perubahan itu meliputi transformasi dari berorientasi pada eksploitasi sumberdaya alam (SDA) menunju efisiensi SDA, jasa dan peningkatan nilai tambah dan produktivitas.

Kemudian, transformasi dari penggunaan unskilled tenaga kerja menuju penciptaan lapangan kerja yang benar-benar diperuntukkan bagi SDM terlatih. Dengan demikian, lapangan kerja untuk unskilled tenaga kerja pada akhirnya dapat berkurang. Terakhir, transformasi dari kondisi akses pasar yang terbatas dan daya saing produk yang rendah menuju akses pasar yang terbuka luas (hyper koneksi), berdaya saing tinggi dan manajemen yang efisien.

Menurut Slamet, kehadiran teknologi informasi akan dirasakan banyak manfaatnya jika memang digunakan dengan benar oleh para pembudidaya ikan. Termasuk, untuk mendapatkan informasi ketersediaan benih unggul, pakan, sarana dan prasarana produksi perikanan budidaya.

“Teknologi informasi dapat mengefisienkan rantai distribusi, sehingga harga jual di tingkat konsumen lebih murah dari pasar tradisional,” ucapnya.

menarik dibaca :  Digitalisasi Industri Akuakultur Mulai Diterapkan di Indonesia. Begini Ceritanya..

 

Tampilan laman minapoli, salah satu inovasi digital untuk hub jaringan informasi dan bisnis perikanan. KKP mendorong inovasi sistem informasi berbasis digital untuk industrialisasi akuakultur di Indonesia untuk menghubungkan rantai sistem bisnis dalam industri budidaya perikanan. Foto : laman minapoli

 

Contoh inovasi digital yang sudah dilakukan dalam industri akuakultur adalah terciptanya Minapoli oleh seorang anak muda bernama Rully Setya Purnama. Inovasi tersebut berperan sebagai hub jaringan informasi dan bisnis perikanan. Menurut Rully, teknologi itu tujuan untuk memperluas dan memperkuat sekaligus sinergi jaringan industri perikanan.

Selain Minapoli, teknologi lain yang ikut meramaikan transformasi industri akuakultur di Indonesia, adalah E-fishery, Iwa-Ke, fisHby, Jala, InFishta dan Growpal. E-fishery adalah teknologi pintar yang berperan sebagai solusi pemberian pakan yang mudah dan efisien dan sekaligus mengintegrasikan pemberian pakan dengan metode continuous feeding untuk memenuhi pola makan udang yang terus menerus.

Kemudian, Iwa-Ke adalah start up aplikasi pemasaran beragam ikan seperti ikan nila merah, patin dan gurami. Adapun, sarana yang dipakai antara lain Go-Jek, Iwa-Ke Depot, dan mitra pembudidaya yang luasnya sudah mencapai lebih dari 60 hektare dan jaringan pembudidaya di berbagai provinsi.

Sementara, FisHby merupakan start up digital akuakultur untuk menggalang dana yang dibutuhkan pembudidaya untuk kemudian menyalurkannya sesuai dengan perjanjian di awal. Kemudian, Jala adalah solusi bertambak udang yang menawarkan sistem manajemen terkini, dengan berbasis data, untuk membantu petambak membuat keputusan manajemen yang tepat berdasarkan informasi aktual yang terjadi di tambak.

baca juga :  Dengan Teknologi Ini, Menelusuri Asal Ikan jadi Lebih Mudah

 

Tampilan laman efishery, salah satu inovasi digital untuk pemberian pakan pada budidaya perikanan. KKP mendorong inovasi sistem informasi berbasis digital untuk industrialisasi akuakultur di Indonesia. Foto : laman efishery/Mongabay Indonesia

 

Pencarian Modal

Dalam hal investasi akuakultur, start up berbasis digital seperti InFishta membantu pencarian modal invertasi perikanan yang dapat berdampak sosial sehingga membantu pembudidaya ikan untuk mendapatkan sumber modal, sekaligus mendapatkan keuntungan. Kemudian, Growpal memberikan peluang untuk membuat perubahan secara sosial melalui penanaman investasi dengan keuntungan yang menjanjikan di sektor perikanan dan kelautan.

Koordinator Manajemen Program Digital Amoeba Telkom Fauzan Feisal mengatakan, untuk mendukung digitalisasi sektor-sektor ekonomi di Indonesia, salah satunya dimulai dari sektor agribisnis, Telkom memulai pembangunan jaringan kerja digitalisasi dengan industri perikanan budidaya. Upaya tersebut, bertujuan untuk mengangkat industri akuakultur menjadi lebih besar dan efisien.

Pemanfaatan teknologi digital sendiri, menurut Slamet Soebjakto, sudah diterapkan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) seperti sistem perizinan daring melalui aplikasi kegiatan usaha bisnis akuakultur (AKUBISA) yang meliputi izin pemasukan ikan hidup (SIAPIH), izin pengangkutan ikan hidup hasil budidaya (SIKPI), serta rekomendasi pembudidayaan ikan penanaman modal (RPIPM).

Kemudian, pemanfaatan teknologi informasi melalui inovasi teknologi untuk mendorong peningkatan produktivitas, efisiensi usaha perikanan budidaya dan meningkatan daya saing produksi melalui aplikasi pemanfaatan autofeeder, penerapan budidaya sistem bioflok, serta budidaya sistem keramba jaring apung (KJA) lepas pantai yang berbasis pada teknologi digital.

baca :  Kenapa Percepatan Industrialiasasi Perikanan Nasional Harus Dievaluasi?

 

Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

“Kita bersyukur, di era digitalisasi saat ini telah lahir banyak sekali startup di kalangan anak-anak muda kreatif termasuk sebagai startup di bidang teknologi digital di bidang akuakultur, dimana mereka mampu menghadirkan model bisnis akuakultur yang efisien di tengah-tengah masyarakat,” ujar dia.

Dengan pengembangan teknologi yang dilakukan start up, Slamet menyebutkan, di masa mendatang bisnis akuakultur akan mampu berdaya saing dan tidak ketinggalan dari sektor-sektor lainnya dalam pemanfaatan teknologi digital. Selain itu, juga mendorong percepatan pemanfaatan potensi ekonomi sumber daya akuakultur bagi kemajuan perekonomian secara nasional.

Ketua Komtap Industri Pengolahan Makanan dan Protein Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Thomas Darmawan mengatakan, konsumsi prosuk ikan per kapita di Indonesia pada 2018 mencapai angka sebesar 43,88 kilogram/kapital/tahun. Dengan jumlah tersebut, dibutuhkan peran teknologi informasi berbasis e-commerce seperti Go-Food, GoBox, Blibli, Tokopedia, dan lain-lain.

“Untuk menjadi eksportir perikanan yang handal serta Feed to The World (penyumbang makanan bagi dunia), sangat diperlukan peran industri digital untuk menciptakan produk masa depan, seperti ditampilkan produk dengan inovasi baru, produk-produk siap saji dan pengolahan dan pengemasan terstandardisasi,” papar dia.

 

Exit mobile version