Mongabay.co.id

Benarkah Perlindungan Pemerintah pada ABK Indonesia Masih Tidak Maksimal?

Banyaknya kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja menjadi anak buah kapal (ABK) di luar negeri, hingga saat ini masih belum bisa diatasi. Walaupun Pemerintah Indonesia terus memberikan perlindungan, tetapi kasus yang menimpa ABK di atas kapal belum bisa diatasi secara langsung.

Hal itu diakui langsung oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, keterbatasan Pemerintah dalam memberikan perlindungan, karena hingga saat ini pihaknya masih terkendala dengan regulasi yang ada dalam melakukan perlindungan secara langsung.

“Yang dapat kami lakukan adalah berkoordinasi dengan kementerian dan atau lembaga terkait seperti BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Ketenagakerjaan,” ucapnya.

Sikap pasrah dan memilih untuk berkoordinasi dengan kementerian dan atau lembaga terkait itu, menurut Zulficar, tetap harus dilakukan oleh KKP, karena pihaknya tidak terlibat secara langsung dalam proses perekrutan tenaga kerja dan penempatan mereka di kapal perikanan di luar negeri. Kondisi itu, mengakibatkan KKP tidak memiliki data pekerjan Indonesia pada kapal perikanan di luar negeri.

Untuk TKI yang bekerja di atas kapal perikanan di luar negeri, Zulficar menerangkan, memang diketahui ada yang memiliki berbagai macam masalah seperti tidak memiliki perjanjian kerja laut (PKL), jam kerja tidak jelas, gaji tidak dibayar sesuai perjanjian, meninggal karena kecelakaan kerja, sakit dan tidak bisa melakukan kerja di atas kapal.

“Kemudian, mendapat kekerasan fisik dan mental dari nakhoda, makanan tidak higienis, sampai terlibat perkelahian sesama ABK. Itu di antara masalah-masalah yang sering muncul,” tuturnya.

baca :  Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di Luar Negeri?

 

Nelayan Bajo Sangkuang saat menarik ikan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Untuk mengatasi semua permasalahan seperti disebut di atas, Zulficar mengatakan, saat ini KKP sedang mengoordinasikan penyusunan peraturan Presiden untuk meratifikasi konvensi International Maritime Organization (IMO). Yaitu, mencakup Standards Of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F). Semua proses itu dibantu oleh kementerian dan atau lembaga terkait.

“Informasi terakhir yang kami terima, Perpres dimaksud sudah masuk ke Sekretariat Negera untuk ditandatangani oleh Bapak Presiden,” sebutnya.

Dengan melakukan ratifikasi konvensi IMO, Zulficar sangat berharap, ke depan akan ada landasan yuridis dan operasional yang kuat bagi KKP dalam melaksanakan terobosan-terobosan penting berkaitan dengan upaya peningkatan kualifikasi dan kompetensi awak kapal perikanan. Proses itu, menjadi sangat penting untuk meningkatkan perlindungan kepada TKI yang bekerja di kapal perikanan luar negeri.

 

Regulasi Baru

Upaya lain yang sedang dilakukan saat ini, menurut Zulficar, adalah menyiapkan rancangan peraturan Pemerintah tentang perlindungan dan penempatan awak kapal perikanan Indonesia di luar negeri. Regulasi tersebut, menjadi sangat penting, untuk mendukung dan memberikan perlindungan kepada para TKI yang bekerja di kapal perikanan luar negeri.

“Rancangan peraturan pemerintah ini diprakarsai oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Ditjen Perikanan Tangkap telah beberapa kali diundang untuk membahas substansi dari Peraturan Pemerintah tersebut. Saat ini, draf rancangan PP tersebut masih disusun kami dan menitikberatkan pada awak kapal perikanan,” ucapnya.

baca juga :  Riset: ASEAN Belum Melindungi ABK di Kapal Penangkap Ikan

 

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

 

Selain perlindungan, Zulficar menambahkan, Pemerintah juga fokus memberi perhatian pada para TKI berkaitan dengan peningkatan kompetensi mereka sebagai awak kapal perikanan. Kompetensi tersebut, menjadi instrumen sangat penting karena bisa memberi jaminan perlindungan hak-hak dasar kepada para TKI yang bekerja di kapal perikanan di dalam dan luar negeri.

Lebih lanjut Zulficar mengatakan, saat ini pihaknya terus mendorong percepatan penyusunan rancangan PP tentang penempatan dan perlindungan awak kapal perikanan yang menjadi turunan dari UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Kemudian, pihaknya juga menerapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan.

“Berikutnya, kita membagi database awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri berkaitan dengan one data, koordinasi lintas sektoral yang terlibat dalam rekrutmen dan penempatan awak kapal perikanan ke luar negeri, dan mendorong ratifikasi konvensi ILO (international labour organization) 188 tentang pekerja sektor perikanan,” tandasnya.

Di sisi lain, keluhan perlindungan kepada ABK juga disuarakan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Dari temuan mereka, perlindungan yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada ABK yang bekerja di kapal perikanan yang berurukuran di atas 10 gros ton (GT), hingga saat ini masih belum berdampak positif.

“Padahal, Pemerintah saat ini sudah berkomitmen untuk melindungi ABK yang bekerja di kapal perikanan, baik di dalam atau luar negeri. Ada tujuh peraturan yang mengikat komitmen Pemerintah untuk memastikan berjalannya perlindungan pekerjaa perikanan sebagai ABK nelayan,” ungkap Ketua Harian DPP KNTI Martin Hadiwinata di Jakarta pekan lalu.

menarik dibaca :  Sedihnya ABK Ini Ketika Kapal Eks Asing Harus Dimusnahkan

 

ABK berdiri di kapal Mitra Mas I, kapal milik PT Ocean Mitra Mas di pelabuhan tambat PT SBM di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Kapal itu bakal dimusnahkan KKP meski telah lolos verifikasi analisa dan evaluasi, Foto : M Ambari /Mongabay Indonesia

 

Temuan Lapangan

Menurut Martin, dari temuan di lapangan, ada empat permasalahan yang hingga kini masih belum bisa dipecahkan. Temuan itu, di antaranya muncul di Provinsi Sulawesi Utara. Dari temuan tersebut, disimpulkan bahwa Pemerintah tidak memberikan perlindungan kepada ABK saat berada dalam kondisi sulit.

Permasalahan tersebut, yaitu:

  1. Pekerja ABK Nelayan masih belum memiliki kontrak kerja atau perjanjian kerja di atas laut. Kondisi itu menyebabkan munculnya ketidakpastian hubungan kerja yang menempatkan pihak ABK Nelayan dalam posisi yang lemah dan tidak dapat mendapatkan kedudukan hukum. Permasalahan itu muncul, karena tidak ada pengawasan lapangan dari Pemerintah terhadap perjanjian kerja laut dan juga tidak ada integrasi dalam perizinan.
  2. Dari sisi pendapatan, bentuk model bagi hasil perikanan dinilai belum sesuai ketentuan bagi hasil perikanan yang telah diatur sejak lama dalam UU No.16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Dalam UU tersebut, diatur pembagian 40 persen hasil bersih pendapatan diperuntukan bagi ABK nelayan. Ketimpangan bagi hasil itu, menunjukkan Pemerintah masih membiarkan lemahnya perlindungan ekonomi dari ABK Nelayan, disamping konteks pengawasan dan syarat perizinan yang tidak ditegakkan.
  3. Minimnya asuransi perikanan bagi ABK Nelayan. Padahal sebagaimana diketahui bersama, usaha perikanan telah dinyatakan bersama sebagai profesi yang tinggi resiko ancaman kecelakaan laut. Tetapi hal tersebut tidak mendorong asuransi perikanan diberikan kepada ABK nelayan.
  4. Pendekatan hak asasi manusia (HAM) yang terus-menerus digaungkan oleh Pemerintah seolah-olah hanya di atas kertas. Di lapangan, perusahaan tidak mengetahui berbagai kebijakan terkait dengan sertifikasi hak asasi manusia untuk usaha perikanan. Perusahaan juga tidak dalam pandangan yang sama untuk menerapkan prinsip HAM dalam melakukan kegiatan usaha perikanan dengan menghormati dan melindungi hak asasi ABK nelayan.

Merujuk pada fakta-fakta di atas, Martin menyimpulkan, kebijakan perikanan yang saat ini sudah ada dan jumlahnya tidak sedikit, ternyata tidak membuat nelayan menjadi lebih baik dan sejahtera. Minimnya implementasi dan pengawasan lapangan dari peraturan, menjadi salah satu masalah yang menunjukkan ketiadaan inovasi implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah di lapangan.

“Juga, belum terintegrasi dalam sistem perizinan perikanan usaha perikanan untuk kebijakan perlindungan ABK nelayan yang substansial dan mendasar seperti kewajiban perjanjian kerja di atas laut dan asuransi perikanan,” jelasnya.

Saat kondisi tersebut terus memuncak, Martin menambahkan, Pemerintah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Surat Keterangan Melaut (SKM) bagi kapal perikanan yang mengajukan perizinan. Akan tetapi, SKM ini diyakini bisa menyebabkan berbagai permasalahan baru, seperti verifikasi berbagai syarat perizinan.

“Ini yang memicu mundulnya mark down ukuran kapal sebagai salah satu masalah umum yang telah lama ditemukan,” pungkasnya.

baca :  Nasib Kru Kapal Nelayan Tradisional dari Langkat Masih Misterius di Malaysia

 

Exit mobile version