Mongabay.co.id

Koalisi: Sistem Baru Perlindungan Lingkungan dan Sosial Bank Dunia Berpotensi Perburuk Kondisi

Waduk Kedung Ombo. Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

 

Pemberlakuan sistem (kerangka kerja) perlindungan lingkungan dan sosial Bank Dunia menggunakan aturan negara peminjam berpotensi menciptakan kondisi lingkungan dan sosial lebih buruk . Koalisi masyarakat sipil mendesak antara lain, penerapan safeguard dengan peninjauan substansial guna menjamin perlindungan dan penegakan hak rakyat atas tanah, penghidupan layak, dan keberlanjutan lingkungan.

Indonesia akan jadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF dan World Bank Group tahun 2018, pada 8-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali.

Andi Muttaqien dari Elsam mengatakan, pertemuan ini sekaligus menandai penerapan kerangka kerja lingkungan hidup dan sosial baru (Enviromental and Social Framework (ESF) terhadap proyek-proyek investasi mulai 1 Oktober 2018.

ESF menggantikan Safeguard Bank Dunia yang selama ini digunakan menilai permohonan utang, syarat-syarat harus dipenuhi negara peminjam dalam proses, pelaksanaan dan evaluasi proyek dengan pembiayaan utang.

Sebelum ada safeguard, Bank Dunia meminjamkan dana dan negara peminjam mengimplementasikan proyek sesuai peraturan perundang-undangan negara bersangkutan.

“Berarti Bank Dunia tak bertanggungjawab terhadap kerusakan sosial, lingkungan serta pelanggaran HAM lain dalam proyek pembangunan yang dibiayainya,” katanya, dalam keterangan kepada media.

Beberapa contoh mega proyek itu menimbulkan dampak dan kerugian ekologis dan sosial bagi masyarakat, antara lain pembangunan infrastruktur Polonoroeste di Brasil, menyebabkan kerusakan hutan terluas di Amazon, menggusur masyarakat adat dan menimbulkan penyakit menular yang mengancam nyawa penduduk.

Lalu, waduk raksasa Sardar Sardovar di India, mengganggu siklus hidrologis dan merusak sumber daya air di lembah sungai, relokasi penduduk, penghancuran hutan alam, penurunan curah hujan lokal turun, dan penimbunan lumpur.

Di Indonesia, selain Waduk Kedung Ombo, ada proyek transmigrasi, demi melanggengkan kekuasaan Soeharto, mengakibatkan hutan tropis hancur, konflik dengan masyarakat adat, dan mengubah demografi kependudukan.

Proyek-proyek raksasa ini, katanya, menimbulkan reaksi dan gerakan perlawanan luas sekali di banyak negara hingga melahirkan safeguards guna menjamin dana Bank Dunia tak akan menyebabkan dampak dan kerugian ekologis maupun sosial bagi masyarakat.

Setelah ada sistem pengamanan sosial dan lingkungan, negara-negara peminjam harus mematuhi ketentuan itu. Safeguard ini, katanya, dapat dipakai menghentikan proyek yang mengancam kehidupan masyarakat, merusak hutan dan mengancam keberlangsungan ekosistem.

Safeguard dan mekanismenya, kata Andi, juga untuk menyesuaikan proyek agar tak merugikan masyarakat dan meminimalisir kerusakan lingkungan.

Dia bilang, sistem pengamanan itu memang banyak kegagalan, tetapi setidaknya masyarakat bisa menuntut Bank Dunia bertanggungjawab jika ada perencanaan dan pelaksanaan proyek merusak lingkungan dan melanggar HAM.

“Ini juga jadikan negara peminjam berhati-hati dalam pengajuan utang dan kewajiban bekerja sesuai standar perlindungan lingkungan dan sosial bank,” katanya.

Kini, kondisi bakal berbalik lagi pada beberapa puluh tahun lalu. Kala muncul gelombang balik multilateral development banks (MDB’s) dan negara-negara peminjam menghindari pemakaian sistem pengamanan. Lahirlah istilah, country safeguards systems, pembiayaan proyek pembangunan seperti tahun 1980an, dengan memakai sistem hukum negara peminjam (country system safeguard), tak lagi sistem perlindungan bank.

Ada 10 standar ESF yang disetujui Agustus 2016, antara lain soal penilaian dan manajemen lingkungan hidup dan risiko sosial beserta dampak, buruh dan kondisi kerja, efisiensi sumberdaya dan pencegahan polusi dan manajemen.

Ada juga soal kesehatan dan keselamatan masyarakat akuisisi tanah, pembatasan atas penggunaan tanah dan pemindahan paksa maupun konservasi keragaman hayati. Juga poin masyarakat adat dan warisan budaya.

 

Sumber: Wikipedia

 

Andi bilang, 10 standar itu dapat gunakan sistem negara peminjam. Kondisi ini sungguh mengkhawatirkan.

Indonesia, katanya, punya aturan memberikan perlindungan lingkungan dan sosial, yaitu UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Kehutanan, UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Sisi lain, katanya, banyak kebijakan atau regulasi baru mengubah peraturan-peraturan terkait dengan percepatan ekonomi, termasuk pembangunan infastruktur.

Perubahan dan pengeluaran aturan dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden hingga keputusan untuk percepatan perizinan, percepatan pengadaan tanah, perubahan tata ruang dan percepatan pembangunan melalui Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Komite ini mendapat mandat mengawal pelaksanaan proyek strategis nasional dan proyek prioritas lain.

“Ini memperlemah, bahkan meniadakan sistem perlindungan lingkungan dan sosial di Indonesia,” katanya.

Kalau selama ini proyek pembangunan infrastruktur lewat utang, kerusakan lingkungan dan sosial dapat dikontrol dengan safeguard, katanya, kalau pakai standar perlindungan sistem hukum Indonesia, bisa jadi lebih buruk. Menurut dia, bisa terjadi gelombang kerusakan lingkungan dan sosial, kriminalisasi serta pelanggaran HAM.

Koalisi masyarakat sipil pun menuntut beberapa hal,. Pertama, menolak penggunaan sistem perlindungan nasional untuk lingkungan dan sosial dalam proyek pembangunan dibiayai Bank Dunia. Kedua, mendesak penerapan safeguard dengan peninjauan substansial untuk menjamin perlindungan dan penegakan hak rakyat atas tanah, penghidupan layak, dan keberlanjutan lingkungan.

Ketiga, mendesak pemerintah Indonesia tak mengajukan utang baru yang berdampak pada perampasan tanah, penggusuran, kriminalisasi, perampasan hak-hak demokratis rakyat, dan kerusakan lingkungan. Keempat, menolak setiap penghilangan atau pelemahan sistem perlindungan lingkungan dan sosial oleh pemerintah atas nama pembangunan berkelanjutan.

Koalisi juga menuntut pemerintah Indonesia memperbaiki sistem perlindungan nasional terhadap lingkungan dan sosial hingga tak lebih rendah dari standar dunia.

“Kami menolak penggunaan sistem perlindungan nasional sebagai acuan dalam proyek-proyek Bank Dunia.”

Hamong Santoso, perwakilan INFID menegaskan, ESF ini bisa berpotensi pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan lebih tinggi.

“Seharusnya ada ruang masyarakat sipil mengkritisi,” katanya, beri masukan, misal lewat memberikan pengaduan terhadap dampak utang yang merugikan masyarakat.

World Bank/IMF, katanya, memiliki sejarah panjang dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Untuk itu, perlu ada audit pembangunan Indonesia yang lahir dari utang World Bank dan IMF.

Apalagi, Indonesia sudah anggota Bank Dunia/IMF sejak 1967, hingga kini belum pernah evaluasi menyeluruh atas kinerja kedua lembaga ini.

Pada 1998, kata Hamong, Indonesia mendapatkan pinjaman US$9,1 miliar untuk keseimbangan keuangan negara. “Meski utang sudah lunas (pada 2006) dampak masih dirasakan sampai sekarang, seperti kasus BLBI,” kata Arimbi Heropoetri dari DebtWATCH Indonesia.

Hamong melanjutkan, perlu ada penelusuran kembali sejarah utang-utang ini hingga penting untuk mengidentifikasi tanggung jawab Bank Dunia/IMF.

”Utang Bank Dunia atau IMF selama ini gagal memberikan dampak baik, malah menekan warga.”

Bank Dunia dan IMF, katanya, tak boleh menutup mata atas permasalahan dampak dari pinjaman mereka. Bukan hanya soal negara perlu dana, tetapi bagaimana utang mampu mensejahterakan rakyat banyak.

 

Sumber: Wikipedia

 

Peran aktif masyarakat

Pada pertemuan tahunan IMF-World Bank nanti, bakal jadi ajang bagi pemerintah Indonesia menawarkan sejumlah proyek infrastruktur, antara lain proyek infrastruktur dan program pariwisata.

Ada juga beberapa potensi investasi akan mendapatkan pembiayaan dalam pertemuan itu seperti program waste to energy (pemanfaatan sampah sebagai sumber energi), pembiayaan pembangkit listrik tenaga bumi (geothermal) dan pembiayaan kereta api ringan (LRT).

Herni Ramdlaningrum, Program Manajer Prakarsa mengatakan, sangat penting bagi masyarakat umum berperan aktif menentukan pola pembangunan seperti apa yang bermanfaat dan berguna bagi mereka.

”Masyarakat perlu tahu cara kerja dan dampak dari kegiatan World Band atau IMF sebelum uang pinjaman digelontorkan dan tanda tangan kontrak, masyarakat perlu ikutserta dalam prosesnya,” katanya dalam konferensi pers People Summit on Alternative Development, di Jakarta, baru-baru ini.

Adapun acara People Summit on Alternative Development melibatkan 15 organisasi masyarakat sipil sebagai ruang respon atas pertemuan tahunan kedua lembaga keuangan itu.

Mereka meminta, pemerintah transparan soal proses mulai isi kontrak, penggelontoran utang, proses pembangunan dan lain-lain.

Herni menilai, mekanisme pengaduan masyarakat masih sulit terjangkau masyarakat, perlu waktu panjang dan biaya tinggi. Padahal, katanya, jadi catatan penting dalam pertemuan ini.

Koalisi masyarakat sipil akan mengadakan lokakarya guna menyuarakan pandangan mereka selama tiga dekade dari pendanaan Bank Dunia dan IMF.

Adapun koalisi masyarakat sipil ini antara lain, Indonesia Legal Resource Center (ILRC), Walhi Nasional Walhi Jawa Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam), Walhi Bali. Juga TuK Indonesia, Institute for National and Democracy Studies (Indies), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), DebtWatch Indonesia, Prakarsa, HuMa, ILRC, Migrant Care, KSBSI, Kiara, Public Service International, PWYP Indonesia, dan Yappika.

 

Keterangan foto utama:   Waduk Kedung Ombo, dengan pendanaan Bank Dunia, yang mendapatkan protes keras kala pembangunannya karena  menggusur dan memindahkan  permukiman warga untuk jadi waduk. Foto: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

 

 

 

 

Exit mobile version