Mongabay.co.id

Pengelolaan Berbasis Masyarakat, Konsep Jitu Perlindungan Gambut

 

Kalimantan Barat, di tahun 2015, menjadi salah satu daerah penyumbang titik api terbanyak di Indonesia. Jumlahnya mencapai 2.712 titik berdasarkan citra satelit NOAA.

“Sejak itu, pola pendekatan paling efektik perlindungan gambut diupayakan. Karena, yang terbakar itu lahan gambut,” terang Edi Rahman, dari Yayasan Palung, kepada Mongabay Indonesia, pekan ini. Kebakaran tak hanya terjadi di Hutan Lindung Gambut Sungai Paduan dan Hutan Sungai Purang, tetapi juga di perkebunan masyarakat. Beberapa desa yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung Palung pun mengalami kebakaran hebat.

Sejak itu, Yayasan Palung menginisiasi beberapa kawasan hutan untuk dijadikan hutan desa dengan melibatkan masyarakat. Peran aktif mereka diakomodir dalam wadah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).

Melalui usaha bersama dan proses cukup panjang, pada 27 Februari 2017 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan kawasan kawasan hutan yang ada sebagai hutan desa, seluas 6.788,21 hektar. Pengelolaannya, diamanatkan ke Desa Padu Banjar, Desa Pulau Kumbang, Desa Pemangkat dan Desa Nipah Kuning.

 

Kebakaran hutan di Kalimantan Barat merupakan persoalan besar yang harus diwaspadai. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Sebelumnya, pertemuan dengan Edi Rahman terjadi di Pontianak. Edi mewakili lembaganya mengikuti Kick Off Meeting dan Ekspose Program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Pontianak, Jumat, 7 September 2018. ICCTF adalah lembaga bentukan Kementerian PPN/Bappenas pada 2009 sebagai alternatif mekanisme pembiayaan perubahan iklim. Sejak 2010, secara total ICCTF telah membiayai 76 kegiatan di 99 lokasi, yang bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, pemerintah daerah, LSM, akademisi, dan pihak swasta yang tersebar di seluruh Indonesia.

Yayasan Palung adalah lembaga yang mendapat pembiayaan untuk pendampingan desa yang terdampak kebakaran lahan. Edi pun memperlihatkan hasil kerajinan warga di sekitar kawasan hutan lindung gambut. Ada tikar purun aneka warna, sebagai sajadah atau jadi hiasan dinding. “Dibuat ibu-ibu di sela cocok tanam, harganya Rp100 ribu. Memang mahal, karena kerajinan tangan,” ujarnya.

Ada juga batok kelapa dicat mengkilat yang dibentuk celengan ayam. Harganya Rp50 ribu. Edi berkisah, program dampingan mereka ada di lima desa, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, yakni Penjalaan, Nipah Kuning, Pemangkat, Pulau Kumbang, dan Padu Banjar. Program dimulai Februari-Juni 2018.

“Sebagai pencegah kebakaran, warga membangun 20 sekat kanal di lima desa. Masyarakat juga diajak merehabilitasi lahan gambut dan menanam bibit karet lokal sebanyak 30 ribu bibit,” kata Edi lagi.

Untuk menambah pendapatan, warga jlima desa ini uga membuat kebun bibit desa (KBD) sebanyak 80 ribu bibit. Jenis tanamannya: pinang, jengkol, petai, durian, dan cempedak. Bibit ini yang dijadikan tanaman rehabilitasi di lahan masyarakat terbakar pada 2015 lalu. “Pengelolaan berbasis masyarakat untuk perlindungan gambut merupakan cara jitu, agar ada keberlanjutan,” jelasnya.

 

Danau yang berada di lahan gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

 

Kopi gambut

Penerima pembiayaan ICCTF lainnya di Kalimantan Barat adalah Sampan Kalimantan. Mereka mengusung program perhutanan sosial, pengelolaan kawasan gambut, serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Catatan Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, sekitar 10 persen capaian luas kawasan perhutanan sosial merupakan kontribusi dari daerah ini.

“Daerah dampingan kami di bentang Pesisir Padang Tikar,” jelas Singlum, dari Sampan Kalimantan. Sampan dan masyarakat desa merehabilitasi lahan gambut pasca-kebakaran dengan penanaman 2 ribu bibit kelapa, kopi, dan pisang di areal 6 hektar. Lokasinya, di Desa Teluk Nibung, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya.

Sampan juga mengembangkan kopi gambut di kawasan tersebut, jenis liberika, yang ditanam warga setempat, peserta transmigrasi 1988, di Kubu Raya. Jenis kopi ini berbeda dengan kopi kebanyakan di Kalimantan Barat, yaitu robusta. Karakternya, tahan pada lahan dengan tingkat kemasaman tinggi, seperti di gambut. “Program ini membawa dampak langsung pada peningkatan ekonomi dan perbaikan kulitas lingkungan,” tambah Siglum. Di sisi lain, program ini sangat membantu mencapai target daerah dalam pengembangan kebijakan.

 

Peta Sebaran dan perkiraan luas lahan gambut di Indonesia. Sumber peta: Pantau Gambut.id

 

Gambut terbesar

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam acara Kick Off Meeting dan Ekspose Program ICCTF sebelumnya menyatakan, 2015 merupakan tahun kebakaran hutan lahan yang cukup parah.

“Tercatat, 115 ribu titik api di seluruh Indonesia. Daerah yang terkena dampak paling besar adalah Sumatera dan Kalimantan dengan total emisi karbon yang dilepaskan 1,74 Gigaton C02 ekuivalen,” katanya.

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2020. Komitmen tersebut diperbaharui pada UNFCCC COP ke-21 di Paris tahun 2015 menjadi 29% dengan usaha sendiri pada tahun 2030, sebagaimana tertuang dalam National Determined Contribution (NDC) Indonesia.

 

Hasil produk masyarakat dari sektor hasil hutan bukan kayu yang dipamerkan saat pameran ICCTF di Pontianak. Foto: Aseanty Pahlevy/Mongabay Indonesia

 

Dalam konteks mitigasi dan pengelolaan Iahan gambut di Kalimantan, ICCTF menjalankan restorasi gambut dengan prinsip 3R, yakni rewetting, revegetasi dan revitalisasi. Rewetting, yaitu pembasahan kembali area gambut melalui pembangunan sekat kanal dan konstruksi sumur bor. “Hingga saat ini telah terbangun 180 sekat kanal, 24 embung, dan 640 sumur bor. Tercatat 43 desa telah menggunakan prosedur ini,” katanya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki lahan gambut terbesar di dunia. Di samping Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, dan Peru. Sekitar 15 juta hektar lahan gambut Indonesia harus dilindungi dan dikelola terintegrasi serta berkelanjutan.

 

 

Exit mobile version