Mongabay.co.id

Bagaimana Indonesia Berkontribusi Tekan Laju Pemanasan Global? Begini Masukan Mereka

Kebakaran hutan dan lahan terlebih di gambut merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), panel ilmiah bentukan PBB terdiri dari para peneliti dunia meluncurkan laporan bahwa pemanasan global dampak aktivitas manusia sudah satu derajat celsius pada 2017. Laporan yang rilis pekan lalu di Korea Selatan menyebutkan, angka bakal terus meningkat sekitar 0,2 derajat celsius setiap 10 tahun. Kalau dibiarkan, pemanasan global bakal melewati batas 1,5 derajat celsius pada 2030 sampai 2052. Bagaimana seharusnya aksi Indonesia?

Baca juga: IPCC: Tersisa 12 Tahun untuk Cegah Bencana Ekstrim Perubahan Iklim

Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (10/10/18) mengatakan, upaya membatasi pemanasan global kurang 1,5 derajat celcius akan berimplikasi dengan strategi nasional dan implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Hasil penelitian itu, katanya, akan jadi dasar perundingan COP24.

Laporan itu mencatat, total emisi CO2 pada 2014 sebesar 1,844 giga ton CO2, setara pertambahan emisi tahunan 13% per tahun periode 2010-2014. Ia lebih tinggi dari perkiraan 5% per tahun untuk business as usual.

Konsekuensinya, periode 2015-2030, Indonesia perlu menjaga laju gas rumah kaca (GRK) tahunan pada tingkat 1% untuk mencapai target skenario tak bersyarat dengan reduksi 29%. Untuk mencapai target reduksi 41%, perlu laju GRK minus 1% dalam skenario bersyarat.

Artinya, puncak emisi GRK nasional perlu tercapai pada periode implementasi NDC 2020-2030 untuk mampu berkontribusi pada upaya membatasi pemanasan global kurang 1,5 derajat celcius. Implikasi kondisi ini, katanya, harus ada upaya lebih.

“Hasil penelitian ini, saat akan dibawa dan diterjemahkan, harus memperhatikan konteks Indonesia. Indonesia dengan daratan berupa ekosistem hutan, punya perbedaan transisi hutan,” katanya.

Dia jelaskan, seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Jawa berbeda di level proses dari transisi ekosistem hutan. Karakteristik ekosistem antarpulau, katanya, juga berbeda, seperti curah hujan di Nusa Tenggara Timur berbeda dengan Kalimantan.

Disparitas ekonomi dan wilayah, katanya, juga punya tingkatan ekonomi berbeda-beda. “Ada yang masih mengandalkan land use, ada sudah sekunder mendorong industri dan tersier yang mengembangkan sektor jasa,” katanya.

Akademisi Universitas Indonesia itu mengatakan, demografi tiap daerah juga harus mendapat perhatian. “Kepadatan penduduk tiap daerah di Indonesia, tak merata. Ini akan berdampak berbeda pada pangan, energi dan air.”

Menurut dia, dalam upaya pengendalian perubahan iklim, Indonesia punya dokumen NDC pertama, berisi proyeksi 2030, emisi gak rumah kaca (GRK) nasional 2,869 giga ton CO2 kalau bisnis seperti biasa (business as usual). Artinya, kata Mahawan, laju pertambahan emisi tahunan 5% dari 2010 sampai 2030. Perkiraan emisi GRK berkurang 29% jadi 2,034 giga ton CO2 untuk skenario mitigasi tak bersyarat. Reduksi 38-41% dari bussines as usual jadi 1,787 giga ton CO2 dalam kondisi skenario mitigasi bersyarat .

NDC Indonesia dari lima sektor, energi, sampah, proses industri dan penggunaan produk(IPPU), pertanian, dan kehutanan. Target total reduksi emisi 2030 yaitu 0,834 giga ton CO2 (29%) skenario mitigasi tak bersyarat, dan 1,081 giga ton CO2 (38-41%) dengan skenario mitigasi bersyarat.

Dalam mengurangi emisi sesuai target NDC pada 2020-2030, memiliki berbagai tantangan baik tingkat nasional dan subnasional.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional mengatakan, laporan IPCC menunjukkan perubahan iklim mencapai kondisi darurat. Perbedaan suhu 0.5 derajat celsius saja bisa berakibat pada keselamatan puluhan juta orang di dunia dan ekosistem musnah.

“Perlu langkah drastis dan cepat dari semua negara termasuk Indonesia untuk menurunkan emisi sektor energi, hutan dan lahan, industri maupun transportasi. Indonesia juga harus segera menghentikan tergantungan energi fosil terutama batubara, mempercepat transisi energi bersih yang berkeadilan serta menghentikan deforestasi dan konversi lahan gambut,” katanya.

 

PLTU. Salah satu sumber emisi. Seorang anak di atas mobil melintas di depan PLTU Karangkandri, Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Sektor kehutanan ke energi

Mahawan mengatakan, sektor yang selama ini jadi “beban” dalam reduksi emisi adalah kehutanan. Namun, katanya, perlu mempertimbangkan geser sebagian upaya penurunan emisi sektor kehutanan ke industri. “Jika tak begitu, akan tidak rasional. Terutama di daerah-daerah yang masih berdasarkan ekonomi primer berbasis land use,” katanya.

Dari target NDC untuk scenario penurunan emisi 41%, adalah satu giga ton CO2, 650 giga ton CO2 dari sektor kehutanan. “Artinya sektor kehutanan harus kurangi 91% emisi.”

Ke depan, katanya, kontribusi emisi GRK energi di indonesia meningkat, hingga ada pergeseran dari kehutanan ke energi. “Mempertimbangkan kita mau tak mau, sudah 50% impor fossil fuel. Jadi cepat atau lambat kita akan bermasalah dengan fossil fuel. Jadi kita bisa berhemat untuk mengurangi impor, sekaligus mengembangkan energi hijau,” katanya.

Dia juga mengatakan, progres capain reduksi emisi sektor energi lebih baik dibandingkan dari sektor kehutanan. Bisa dikatakan, reduksi emisi sektor energi sudah tercapai.

“Bisa jadii ini karena target terlalu ringan target. Jadi low carbon development bisa dibantu dengan switch dari sektor kehutanan ke sektor energi. Tapi tentu dengan jumlah yang rasional.”

Alasan menggeser beban emisi hutan ke sektor energi katanya, karena permasalahan Indonesia itu adalah teknologi. Kalau mau bangun energi terbarukan, harus beli. Untuk riset aja 0,08% dibanding GDP, sangat jauh dibandingkan Thailand dan negara tetangga.

Gusti Z Anshari, akademisi Universitas Tanjungpura mengatakan, sektor kehutanan masih menyumbang emisi sangat besar. Saat ini, masih banyak masyarakat terutama di Sumatera, Kalimantan, Papua yang bergantung pada land use..

Laporan IPCC menyebut, kerentanan peningkatan suhu ini akan berdampak pada ketahanan pangan hingga harus ada lahan yang tetap dipertahankan. “Tidak dikonversi lagi jadi kebun.”

Indonesia, katanya, sangat luas dan kompleks hingga perlu ada kebersamaan dari bawah. “Kita memerlukan collective action dari skala paling kecil, dari tingkat komunitas, kelurahan, kecamatan. Ini yang belum kita bangun. Kalau ini bisa, dengan meningkatkan keragaman sumber mata pencaharian masyarakat di Sumatera dan Kalimantan agar tak hanya bertumpu pada sawit. Barangkali kesejahteraan masyarakat itu akan lebih baik,” katanya.

Yuyun mengatakan, sektor kehutanan, lahan dan energi jadi kontributor utama emisi Indonesia. Ia menyebabkan kurang lebih 80% dari total emisi. Namun, katanya, arah perencanaan dan pembangunan energi masih bertumpu pada batubara, minyak dan gas.

Produksi tambang batubara justru mengalami peningkatan produksi dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, proyek listrik 35. GW juga masih mengandalkan pembangunan PLTU batubara hingga 2027.

“Sektor transportasi belum ada kerangka jalan mengurangi dan mencari altenatif penggunaan sumber energi terbarukan ramah lingkungan dan berkeadilan. Laporan IPCC bisa mendorong perencanaan jangka panjang dan menengah yang sedang disusun pemerintah dengan memperhatikan kondisi perubahan iklim global,” katanya.

Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam NDC, katanya, sangat tidak ambisius dan tak sejalan dengan tujuan menjaga suhu global kurang dari 1.5 derajat celsius.

Dalam Laporan IPCC juga disebutkan target NDC semua negara sesuai Kesepakatan Paris akan tetap menyebabkan pemanasan global lebih 1.5 derajat celsius. Friends of the Earth Internasional memprediksi, target NDC seluruh negara akan mendorong suhu global mencapai 2.9 sampai 3.4 derajat celcius pada 2100.

Untuk menghindari kenaikan suhu global lebih 1.5 derajat celsius, katanya, emisi global harus beranjak turun bahkan sebelum tahun 2030.

“Langkah drastis pengurangan emisi membutuhkan langkah cepat dari pemerintah untuk tak lagi menunggu, segera bertindak.”

Tindakan itu, katanya, dapat diawali dengan pertama, revisi target dan rencana aksi NDC Indonesia agar selaras dengan rekomendasi IPCC dalam menjaga suhu global tidak lebih 1.5 derajat celsius serta tidak memasukkan penerapan teknologi mahal yang masih diragukan seperti carbon capture and storage (CSS) dan bioenergy with carbon capture and storage (BECCS).

Selain itu, dia mendesak pemerintah segera mengintegrasikan pembangunan rendah karbon dalam perencanaan pembangunan baik nasional dan daerah.

“Juga harus memperkuat adaptasi perubahan iklim berbasis ekosistem terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil. Juga masyarakat yang hidup di pedesaan karena dampak perubahan iklim akan berdampak langsung bagi keberlanjutan kehidupan mereka.”

 

Keterangan foto utama:    Kebakaran hutan dan lahan gambut jadi salah satu sumber emisi di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

 

 

Exit mobile version