Mongabay.co.id

ASEAN Butuh Sertifikasi Tuna yang Simpel dan Murah, Seperti Apa?

Potensi ikan tuna yang sudah lama dikenal sebagai komoditas perikanan unggulan di dunia, dinilai harus terus dipertahankan oleh negara di ASEAN. Selain bernilai jual tinggi, tuna juga dinilai bisa menaikkan derajat suatu negara. Hal itu, karena di pasar internasional, penjualan komoditas tuna harus bergantung pada kejelasan dan ketertelusuran produk.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai, semakin baik produk tuna dan memiliki label yang diakui dunia, maka semakin baik nilai negara produsen di mata dunia. Untuk itu, dia mengusulkan agar ASEAN bisa menerbitkan sertifikat untuk produk tuna yang memenuhi syarat untuk dijual di pasar internasional.

Usulan itu, kemudian disampaikan dalam pertemuan ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) ke-40 dan 3 negara di kawasan Asia, yakni Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Pertemuan tersebut dilangsungkan di Hanoi pada 11-12 Oktober lalu. Usulan tersebut, dinilai sangat penting untuk membangun produk tuna berkelanjutan dan ketertelusuran di ASEAN.

“Usulan itu ada dalam proposal resmi yang diajukan Indonesia berkaitan dengan ASEAN Tuna Ecolabeling (ATEL) Policy paper on the Establishment of ASEAN Regional Ecolabelling Scheme,” ujarnya dalam keterangan resmi akhir pekan lalu.

Susi mengatakan, pembentukan ATEL bisa untuk meningkatkan daya saing produk perikanan tuna ASEAN di pasar global. Dengan adanya ecolabel, maka prinsip keberlanjutan dan ketertelusuran produk tuna bisa diterapkan dan itu sangat berharga untuk ikut dijual pada sebuah produk perikanan tuna di pasar dunia.

Dijelaskan Susi, tujuan dibentuk ATEL, adalah untuk memberikan kesempatan kepada negara ASEAN untuk memiliki produk perikanan tuna dengan jaminan keberlanjutan dan ketertelusuran. Jaminan melalui ATEL, diklaim akan lebih simpel dan terjangkau dibandingkan dengan mekanisme sertifikat produk tuna yang sudah ada sebelumnya.

“Tidak terlalu memberatkan para pemangku kepentingan terkait, bersifat sukarela, dan konsisten dengan FAO Guidelines,” tuturnya.

baca : Susi Pudjiastuti Ajak Pengusaha Perikanan Tuna Komitmen pada Keberlanjutan. Ada Apa?

 

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sertifikasi Simpel

Menurut Susi, usulan untuk dibentuk ATEL sudah dimulai sejak 2012 oleh Indonesia yang sejak lama sudah menjadi lead country untuk sektor perikanan di ASEAN. Inisiasi pembentukan itu mulai dilakukan sejak enam tahun silam, tidak lain karena Indonesia menilai bahwa kebutuhan pelaku usaha perikanan tuna terhadap sertifikasi kelestarian tuna yang tidak memberikan beban biaya berlebih, sangat dinantikan.

Tak hanya itu, Susi menambahkan, sertifikasi ATEL dapat membentuk branding bagi produk tuna ASEAN. Kemudian, ATEL bisa juga sekaligus menjadi koreksi bagi sertifikat ekolabel yang telah lebih dulu ada, di mana perkembangan sertifikasi ekolabel mulai mengarah pada hambatan baru untuk memasuki pasar ritel negara-negara maju.

Pernyataan Susi tersebut didukung langsung oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang juga hadir di Hanoi. Menurut dia, Indonesia sejauh ini sudah menjadi negara di ASEAN yang melaksanakan praktik perikanan yang bertanggung jawab, dengan menghindari praktik perikanan ilegal seperti Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) dan juga menjaga kualitas dan mutu setiap produk perikanan yang ada.

“Indonesia juga menerapkan dokumentasi tangkapan dan ketertelusuran hasil pada perikanan tangkap maupun dan budidaya, itu meningkatkan daya saing perikanan dan kualitas produk. Serta promosi pelaksanaan perikanan budidaya secara baik dan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan,” paparnya.

Susi Pudjiastuti menambahkan, dalam bisnis perikanan tuna internasional, nama Indonesia saat ini sudah diperhitungkan. Hal itu, merujuk pada data resmi lembaga pangan dunia PBB (FAO) pada 2016 yang menyebut ada 7,7 juta metrik ton tuna dan spesies sejenisnya sudah ditangkap di seluruh dunia. Di saat yang sama, sebanyak 16 persen pasokan produksi tuna adalah berasal dari Indonesia dan didominasi oleh tuna, cakalang, dan tongkol.

Untuk pasokan produksi dunia, Susi menerangkan, rerata pasokan yang disumbangkan mencapai 1,2 juta ton/tahun. Sementara, untuk volume ekspor tuna Indonesia pada 2017 jumlahnya mencapai 198.131 ton dengan nilai USD659,99 juta.

baca juga :  Ikan Tuna, Mahal dan Primadona Ekspor

 

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar

 

Tak hanya itu, Susi menjelaskan, saat ini Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan konsistensi untuk mendukung konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna melalui Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol. Rencana tersebut telah diluncurkan pada saat Konferensi Bali Tuna ke-1 yang selanjutnya ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.107/2015.

Adapun, Rencana Pengelolaan Tuna Nasional tersebut telah ditetapkan untuk menerapkan aturan dan standar yang diadopsi oleh Organisasi Manajemen Perikanan Daerah (RFMOs), di mana Indonesia sekarang berpartisipasi dalam The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC).

baca juga : Perikanan Tuna Bertanggung jawab dan Berkelanjutan Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Itu?

 

Kesejahteraan Masyarakat

Dalam Kerangka Implementasi Rencana Pengelolaan Perikanan pada Bali Tuna Conference Tahun 2018 ini, Pemerintah telah meluncurkan Framework of Harvest Strategy for tuna in Arcipelagic Water untuk wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 713, 714 dan 715. Rencana pengelolaan tuna nasional dan Framework for Harvest Strategy tersebut bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan perikanan tuna yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat perikanan.

Selain itu, juga untuk mendukung terwujudnya kedaulatan pangan nasional, pasokan protein ikan secara berkelanjutan dan peningkatan pendapatan nelayan serta penyediaan kesempatan kerja di atas kapal perikanan dan unit pengolahan ikan. Termasuk, industri pendukung lainnya yang merupakan cita-cita nasional pemerintah Indonesia sebagai poros maritim dunia dan laut sebagai masa depan bangsa.

baca juga :  Perlukah Indonesia Jadi Pengekspor Tuna Terbesar Dunia?

 

Karyawan di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, memperlihatkan potongan ikan tuna yang sudah diberi label fair trade dari hasil tangkapan nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Zulficar Mochtar mengatakan, bisnis perikanan tuna di dunia sangat menggiurkan karena permintaan dari dunia terhadap komoditas tersebut terhitung sangat tinggi bahkan cenderung sudah melebihi kuota. Kondisi itu, diklaim memicu industri tuna dunia berkembang sangat pesat dari waktu ke waktu.

“Produk tuna yang disukai oleh semua kalangan ini membuat harga jualnya makin melambung. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil tuna terbesar memiliki potensi besar merajai pasar tuna internasional,” jelasnya.

Adapun, jenis ikan tuna yang ada adalah tuna mata besar (bigeye tuna), madidihang (yellowfin tuna), albakora (albacore), cakalang (skipjack tuna), dan tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna). Kata dia, dengan harga yang terjangkau, ikan tuna memiliki kandungan nutrisi tinggi untuk mengatasi permasalahan gizi buruk yang masih banyak terjadi di Indonesia.

“Selain protein yang tinggi, tuna juga mengandung vitamin A, D, B6, B12 dan kaya akan mineral. Ikan tuna juga kaya akan omega 3 lebih tinggi daripada daging ayam dan sapi yang bermanfaat menjaga kolesterol dan jantung,” paparnya.

baca juga : Menelusuri Keberadaan Tuna yang Terancam Punah di Indonesia

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Zulficar menjelaskan, nilai ekonomi dari perdagangan produk perikanan tuna Indonesia sangat besar dan menjadi peluang yang dapat terus dimanfaatkan tetapi dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan agar perikanan tuna terus menerus lestari. Tingginya permintaan pasar global menjadi fokus KKP untuk melakukan pengelolaan tuna dari hulu ke hilir dan menjaga habitat tuna.

“Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan konsistensi untuk mendukung konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna melalui Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol,” tandasnya.

Untuk Rencana pengelolaan tuna nasional sendiri, Zulficar menerangkan, itu bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan perikanan tuna yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat perikanan. Selain itu juga mendukung terwujudnya kedaulatan pangan nasional, pasokan protein ikan secara berkelanjutan dan peningkatan pendapatan nelayan.

“Serta penyediaan kesempatan kerja di atas kapal perikanan dan unit pengolahan ikan termasuk industri pendukung lainnya yang merupakan cita-cita nasional pemerintah Indonesia sebagai poros maritim dunia dan laut sebagai masa depan bangsa,” tambahnya.

 

Exit mobile version