Mongabay.co.id

Menguak Ketangguhan Terumbu Karang Dari Perubahan Iklim

Para ilmuwan iklim terkemuka di dunia yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam pertemuan ke-48 di Incheon, Korea Selatan, Senin (8/10/2018)  memperingatkan bahwa hanya ada 12 tahun tersisa atau sampai tahun 2030 untuk mencegah bencana iklim ekstrim yang terjadi karena pemanasan global dengan maksimum kenaikan suhu 1,5°C.

Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1.5° C (Global Warming of 1.5° C, an IPCC special report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels)  dari IPCC tersebut memprediksi pada tahun 2100, antara lain terjadi kenaikan permukaan laut global akan lebih rendah 10 cm dengan pemanasan global 1,5° C dibandingkan dengan kenaikan suhu global 2° C. Dan terumbu karang akan menurun 70-90 persen dengan pemanasan global 1,5° C, dibandingkan bakal hilang dengan kenaikan suhu global 2° C.

baca : IPCC : Hanya Tersisa 12 Tahun untuk Mencegah Bencana Ekstrim Akibat Perubahan Iklim

***

Terumbu karang dapat ditemukan di seluruh lautan tropis dan sub-tropis dunia sehingga penting secara ekologis maupun ekonomis. Meski cakupannya kurang dari 0,1 persen wilayah dasar laut, terumbu karang menjadi tuan rumah bagi lebih dari seperempat jenis spesies ikan laut global (selain hewan laut lainnya). Oleh karenanya, terumbu karang merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang paling inheren di laut, sebanding dengan hutan hujan di darat.

‘Hutan’ laut tropis ini menyediakan layanan sosial, ekonomi, dan budaya dengan perkiraan nilai lebih dari 1 triliun dollar AS secara global. Struktur tiga dimensi karang yang kompleks tidak hanya menyediakan habitat tetapi juga meredam energi gelombang untuk melindungi garis pantai dari erosi dan kerusakan. Fungsi perlindungan pantai dan pemanfaatan terumbu karang oleh manusia (termasuk pariwisata) memberikan manfaat ekonomi kepada lebih dari setengah miliar orang di seluruh dunia.

Terlepas nilainya, sebagian besar terumbu karang berada di bawah tekanan besar berbagai aktivitas manusia termasuk limpasan pertanian, pembangunan perkotaan, dan penangkapan ikan secara berlebihan. Peningkatan suhu lautpun memicu kematian karang di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Meningkatnya karbon dioksida atmosfer akibat aktivitas manusia menyebabkan pemanasan dan pengasaman laut. Inilah ancaman terbesar terhadap terumbu karang.

baca :  Sembilan Tahun Peringati Hari Terumbu Karang Dunia, Bagaimana Kondisi di Indonesia?

 

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy/Mongabay Indonesia

 

Pemutihan Massal

Karang adalah hewan yang bermitra dengan alga dinoflagellata mikroskopis (disebut zooxanthellae) yang hidup dalam jaringan karang. Fotosintesis alga menghasilkan 90% energi yang dibutuhkan para penghuni karang untuk membangun kerangka batu kapur yang membentuk struktur tiga dimensi. Kerangka ini menjadi habitat bagi lebih dari satu juta spesies laut. Namun, kemitraan yang harusnya menguntungkan ini dapat menjadi racun dalam kondisi lingkungan yang penuh tekanan, seperti perubahan suhu, tingkat cahaya, salinitas dan kualitas air.

Pemutihan karang adalah reaksi di mana hewan karang mengusir zooxanthellae, menyisakan kerangka karang putih yang terlihat melalui jaringan karang transparan. Karang yang memutih masih hidup tapi dapat memicu kerusakan berikutnya, seperti terhambatnya pertumbuhan dan reproduksi.

Stres berkepanjangan selama beberapa minggu dapat menyebabkan kematian pada karang akibat kekurangan makanan atau penyakit. Kematian kerangka karang akan mengurangi struktur kompleksitas dan keanekaragaman hayati dari sistem terumbu. Kebergantungan organisme laut pada ekosistem terumbu pun berkurang sehingga dapat mereduksi fungsi ekosistem sebagai penghasil makanan, sumber pendapatan warga dan perlindungan pantai.

Pemutihan massal terutama dipicu oleh pemanasan laut akibat terjadinya pemanasan global juga diperparah variabilitas iklim seperti nampak dalam peristiwa El Niño dan La Niña. Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi karbondioksida di atmosfer dan gas yang memerangkap panas lainnya secara dramatis meningkatkan suhu permukaan global sekitar 1° Celcius sejak zaman pra-industri.

baca juga :  Terumbu Karang di Nusantara Membaik, Namun..

 

Kondisi terumbu karang yang memutih (coral bleaching) di perairan Pemutaren, Bali Utara, pada 2015. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Naiknya suhu laut akibat peningkatan karbondioksida di atmosfer, telah menaikkan suhu di lautan, menyebabkan pemutihan karang terjadi semakin sering. Suhu air laut bahkan meningkat 1-2 derajat Celcius di atas suhu yang dapat menyebabkan karang memutih.

Toleransi suhu sebetulnya sangat spesifik, karena karang telah beradaptasi dengan kondisi lokal selama periode waktu lama (ratusan bahkan ribuan tahun). Namun, pemanasan global telah meningkatkan suhu sebagian besar lokasi karang secara signifikan sehingga karang memutih sangat cepat dibandingkan rentang historisnya sebelumnya.

Pemutihan karang massal secara luas pertama kali tercatat tahun 1983, ketika El Niño menerjang kuat. Selama terjangan dahsyat El Niño pada tahun 1998-1999, karang juga memutih massal di tiga samudra utama, yaitu Samudera Hindia, Pasifik, dan Atlantik. Pemutihan global kedua, pada 2010 kerap dikaitkan dengan terjangan El Niño yang lebih lemah. Dua peristiwa global ini berlangsung kurang dari satu tahun.

Peristiwa pemutihan karang global ketiga dimulai Juni 2014, hampir setahun sebelum El Niño pada 2015 – 2016, yang berakhir pada Mei 2017. Selama El Niño, terjadi pemanasan suhu laut dan pemutihan karang yang menyebar di lautan tropis secara intensif, kemudian berlanjut selama La Niña berikutnya.

Tahun 2014, 2015, dan 2016 tercatat sebagai periode terpanas dunia. Suhu rerata global pada tahun 2017 juga tak berbeda jauh dengan tiga tahun sebelumnya. Kondisi ekstrem ini menyebabkan pemutihan karang yang sangat parah. Frekuensi, intensitas dan durasi tekanan panas memburuk akibat pemanasan global, sehingga sangat berdampak pada terumbu karang dan sistem kelautan seluruh dunia.

baca :  Seperti Apa Upaya Penyelamatan Terumbu Karang di Wilayah Segitiga Karang Indonesia?

 

Karang Acropora sp (kiri) dalam hamparan luas dan Porites sp (kanan) sedang megalami pemutihan karang (coral bleaching). Foto: Ofri Johan/Mongabay Indonesia

 

Sekitar 30% karbondioksida yang dihasilkan manusia diserap permukaan laut dan juga menyebabkan pengasaman laut. Pengasaman laut mengurangi kemampuan karang membangun kerangka kapur sekaligus meningkatkan penggerusan atau kerontokan karang. Tingginya kadar karbondioksida dan terjangan badai yang makin kuat juga menyebabkan terkikisnya terumbu karang. Diprediksi pada 2100, kerugian akibat lenyapnya jasa ekosistem karang diperkirakan mencapai 500 miliar dollar AS per tahun.

Tekanan lokal dapat menurunkan ketahanan terumbu karang dalam mempertahankan fungsi ekosistem. Penangkapan ikan berlebihan dan polusi yang menyebabkan turunnya kualitas air dapat merusak kemampuan karang untuk memulihkan diri dari tekanan panas serta dapat menghambat pertumbuhan karang baru. Hasil studi The Nature Conservacy dan United Nation Environment Programme (UNEP) memperkirakan 90 persen terumbu karang dunia akan lenyap pada 2050.

 

Diambang Batas 1,5° Celcius

 Bermodalkan proyeksi paparan panas berdasarkan skenario kenaikan suhu dalam Laporan Berkala ke-5 (AR5) IPCC tahun 2013, UNESCO memetakan kaitan antara pemutihan karang dan tekanan panas di 29 lokasi terumbu karang warisan dunia termasuk Indonesia. Skenarionya adalah proyeksi kenaikan suhu rerata global pada 2100 adalah 4,3° Celcius dan 2,4° Celcius. Peningkatan suhu ini melampaui ambang batas pemanasan 1,5 derajat Celcius dengan konsekuensi terjadinya degradasi parah pada sebagian besar terumbu karang.

Berdasarkan perkiraan terkini, emisi cenderung meningkatkan suhu rerata global sekitar 3,6° Celcius pada 2100, sementara janji negara-negara penanda tangan Paris Agreement kemungkinan masih akan menghasilkan kenaikan suhu sekitar 3° Celcius secara global. Setidaknya ada tiga dampak yang muncul akibat perubahan skenario diatas.

Pertama, menurunnya jumlah (persentase) lokasi yang mungkin mengalami pemutihan dua kali per dekade (atau lebih buruk) sampai 2040 dari 25 lokasi (68%) menjadi 14 lokasi (48%). Kedua berkurangnya lokasi yang mungkin mengalami pemutihan tahunan sampai tahun 2040 dari 12 lokasi (41%) menjadi 2 lokasi (7%); dengan demikian rata-rata terjadinya pemutihan karang dua kali per dekade mungkin akan tertunda dari 2032 hingga setidaknya 2044.

baca juga :  Mungkinkah Terumbu Karang Diasuransikan?

 

Peningkatan keasaman laut lebih mempengaruhi terumbu karang dibanding ikan, namun harus diingat, bahwa terumbu karang adalah sumber pangan dan kehidupan ikan yang saling mempengaruhi. Foto: The Nature Conservancy Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Dalam skenario yang lebih ambisius yakni puncak emisi selama dekade ini, 2010-2020, akan menurun. Akibatnya proyeksi suhu global pada 2100 sebesar 1,6° Celcius dan kembali ke 1,5° Celcius atau di bawahnya. Laporan IPCC terbaru menilai konsekuensi dari kenaikan suhu 1,5° Celcius maka resiko frekuensi pemutihan dan kematian yang parah secara dramatis berkurang, dibandingkan dengan skenario kenaikan suhu yang lebih tinggi.

 Sedangkan Laporan Khusus 1,5°C tahun 2018 dari IPCC, memperingatkan bahwa ambang batas pemanasan 1,5° Celcius merupakan kenaikan suhu maksimum bagi terumbu karang untuk bertahan hidup dalam jangka panjang. Beberapa penelitian mendukung kesimpulan bahwa karang tidak akan berkembang hingga karbondioksida di atmosfer berkurang menjadi 320-350 ppm. Saat ini, rata-rata konsentrasi karbondioksida atmosfer global melebihi 400 ppm.

Jika Paris Agreement tidak dipatuhi, emisi karbondioksida tidak akan kembali di bawah 350 ppm hingga pertengahan abad ke-22. Dan ilmuwan mulai mempertimbangkan perubahan komposisi dan dinamika terumbu karang, jauh dari didominasi karang, bahkan dengan berkurangnya karbondioksida drastis.

 

Kondisi terumbu karang yang rusak, tertutupi pasir dan ditumbuhi algae banyak ditemukan di daerah yang diteliti di tiga pulau di pesisir Kota Makassar, Sulsel. Foto : Hardin/MSDC/Mongabay Indonesia

 

Terumbu Karang Indonesia

Terletak di jantung Coral Triangle dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, Indonesia memiliki 27,79 persen dari total terumbu karang di dunia dengan lebih dari 569 jenis karang. Banyaknya jenis karang di Indonesia menjadi daya tarik bagi para ilmuwan untuk menguak ketahanan berbagai karang tersebut. Melalui teknologi pencitraan 360-derajat dan Artificial Intelligence (AI), para ilmuwan mengumpulkan dan menganalisa lebih dari 56.000 peta citra terumbu karang, 1,5 mil karang per penyelaman yang mencakup 1.487 mil persegi.

Hasilnya sangat menakjubkan. Penelitian yang dilakukan University of Queensland, Australia pada Juni 2018 di lepas pantai Pulau Sulawesi misalnya – menemukan fakta bahwa sejumlah terumbu karang di perairan dangkal ternyata lebih tangguh terhadap pemanasan global dibanding perkiraan sebelumnya. Penemuan ini mendorong para ilmuwan tanah air menggalakkan sejumlah penelitian untuk menggali terumbu karang Indonesia.

Lewat Coral Reef Rehabilitation Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP CTI), Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI terus berupaya mengumpulkan data historis dan memperluas pemantauan kondisi terumbu karang. P2O LIPI terus berusaha menganalisis peristiwa pemutihan dan stres akibat tekanan panas di masa lalu yang dapat mengubah ketangguhan karang. Analisis proyeksi beresolusi tinggi (downscaled) perlu dilakukan untuk memahami dampak jangka panjang kenaikan suhu 1,5°C sesuai target Kesepakatan Paris dan Laporan Khusus (SP1,5°C IPCC) 2018 terhadap kondisi terumbu karang dan ekosistem pesisir.

menarik dibaca :  Benarkah Kehadiran CTI Belum Maksimal dalam Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia?

 

Seorang penyelam diatas gugusan terumbu karang otak besar (great brain coral) di perairan Teluk Buyat, Kabupaten Mongondow Timur, Sulawesi Utara pada tahun 2012. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pada akhirnya, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi modal awal dalam meningkatkan kapasitas deteksi dini terjadinya pemutihan pada terumbu karang sekaligus mencari solusi untuk mengatasinya melaui mekanisme fisik dan mekanisme lainnya. Artinya, para peneliti juga perlu mempertimbangkan isu di luar terumbu karang alias turut memperhatikan dampak ekosistem yang lebih luas seperti pengasaman laut, menurunnya kandungan oksigen serta kepentingan social-ekonomi.

Panduan untuk mendukung pengelolaan terumbu karang menjadi hal yang sangat krusial seiring dampak perubahan ikim yang semakin nyata. Dengan demikian, penelitian-penelitian yang dikakukan tak hanya meningkatkan ketangguhan karang tapi juga dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam beradapasi menghadapi perubahan iklim dan ancaman yang menyertainya.

***

*Agus Supangat, Senior Scientist di Pusat Perubahan Iklim, ITB. Research Associate di P2O LIPI. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version