Mongabay.co.id

KLHK Galau Bikin Aturan Perlindungan Satwa, Pegiat Konservasi Burung Kecewa

Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus). Kredit foto: Burung Indonesia/Willy Rombang

 

Pada 29 Juni 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menandatangani Peraturan Menteri No 20/2018, soal jenis satwa dan tumbuhan dilindungi. Dalam lampiran menyebutkan ada 921 satwa dan tumbuhan dilindungi, 564 jenis burung. Kalangan konservasionis maupun peneliti mengapreasiasi walau ada jenis keluar masuk daftar, namun jenis satwa dan tumbuhan dilindungi, termasuk burung, lebih banyak dalam aturan ini.

Baca juga: Tiga Jenis Burung Hendak Dikeluarkan dari Satwa Dilindungi, Ini Penjelasan Kementerian

Kenaikan daftar satwa dan tumbuhan dilindungi lebih tiga kali lipat. Untuk jenis burung dilindungi naik hampir dua kali lipat  dari aturan PP No 7/1999 soal pemanfaatan tumbuhan dan satwa.

Para penangkar dan pebisnis burung protes. Tak lama, revisi aturan muncul lewat Permen No 92 Tahun 2018, dengan mengeluarkan beberapa jenis burung, seperti murai batu, cucak rowo dan jalak suren, anis bentet kecil dan anis bentet Sangihe. Tuai kritik pun muncul dari berbagai kalangan terutama konservasionis dan peneliti.

Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI), terdiri dari 150 organisasi (lembaga) dan 44 perorangan di seluruh Indonesia kecewa, prihatin, keberatan dan memprotes revisi ini.

Rosek Nursahid dari Profauna Indonesia mengecam dan menolak P92/2018 yang mencabut lampiran P20/2018 tanpa kajian komprehensif, dan ilmiah. Juga tak memperhatikan aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan jenis-jenis satwa dilindungi

Dia juga menyesalkan, Menteri LHK menetapkan P92 yang menentukan norma-norma hukum baru di luar kewenangan dan tanpa landasan peraturan perundang-undangan berlaku.

Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), selaku otoritas keilmuan dimandatkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, telah mengirimkan usulan daftar tumbuhan dan satwa dilindungi tertanggal 5 September 2018. LIPI memberikan data tambahan.

Pada surat terakhir itu, LIPI menampilkan sebaran penelitian antara 2001-2014, bahwa cucak rawa dan jalak suren tak ditemukan di habitat alami. Kucica hutan atau murai batu hanya di empat lokasi.

“Atas dasar itulah, LIPI merekomendasikan tiga jenis burung berkicau itu status satwa dilindungi karena besar risiko kepunahan di habitat alami,” kata Rosek.

 

Aksi masyarakat peduli satwa di Jogja, menolak penangkaran burung. Mereka meminta burung dilepaskan di habitatnya. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

LIPI, katanya, tak pernah memberikan rekomendasi KLHK untuk mengeluarkan lima jenis burung dari status perlindungan. Bahkan catatan Burungnesia antara 2016-2018, dari 1.300 relawan pengamat burung mengunjungi 1.772 di Jawa, 260 di Kalimantan, dan 277 di Sumatera. Dari lokasi-lokasi itu, hanya ditemukan 15 kucica hutan di 11 lokasi, empat jalak-suren Jawa di tiga lokasi, dan tak menemukan cucak rawa.

“Catatan ini memperkuat temuan dan rekomendasi LIPI terhadap ketiga jenis burung berkicau itu yang makin sulit di habitat alami.”

Data dari aliansi, dua jenis burung anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha) dan anis-bentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), bukanlah jenis yang dilombakan dan belum ditangkarkan. Anis-bentet kecil memiliki beberapa anak-jenis dengan sebaran terbatas dan endemis di pulau-pulau kecil di Papua dan Papua Barat. Sedangkan anis-bentet Sangihe jenis endemis hanya ditemukan di Pegunungan Sahendaruman Pulau Sangihe dengan populasi 92-255 (2009), hingga berstatus sangat terancam.

“Dikeluarkannya kedua jenis burung ini dari status perlindungan merupakan tindakan semena-mena Menteri LHK tanpa dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Suer Suryadi dari Conservation and Legal Assistant Network (CLaN) mengatakan, Permen 92 terbit tendensius mengakomodasi permintaan pebisnis dan pihak tertentu tanpa dasar ilmiah. Juga mengesampingkan fakta penurunan populasi, dan kepunahan di alam.

Klaim para penangkar yang berhasil mengembangbiakkan tiga jenis burung berkicau itu, katanya, masih memerlukan verifikasi guna memastikan tak ada pasokan dari alam. “Atau hasil persilangan antaranak-jenis atau sub-spesies yang mengakibatkan penurunan kualitas genetis atau polusi genetik hingga tak layak dilepaskan di alam,” katanya.

Fakta yang ada, katanya, mengindikasikan masih ada jenis-jenis burung berkicau ditangkap dari alam.

Pada 27 Agustus dan 8 September 2018, terjadi penyelundupan satwa liar dari Kumai, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur digagalkan Balai Besar Karantina Pertanian dan Polair Polda Jawa Timur.

Satwa sitaan 451, terdiri dari kucica hutan (murai batu) 109, cucak hijau 278, 26 cucak jenggot, dan 17 tledean (sikatan) 17.

Indikasi kekhawatiran para penyelenggara lomba burung berkicau, penangkar, penghobi, terhadap proses perizinan penangkaran, kepemilikan, dan kerumitan birokrasi perlu dijawab KLHK. “Lewat debirokratisi, deregulasi, pengawasan ketat, dan tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang merugikan masyarakat,” katanya.

 

Suwarjono, dengan burung cucak hijau dan jalak suren yang dijual. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kekhawatiran para pebisnis, burung berkicau dilindungi ganggu bisnis, tak cukup beralasan mengingat burung curik Bali (jalak Bali) yang dilindungi juga tetap memungkinkan ditangkarkan tanpa mengganggu populasi alam.

“Kami mendukung sikap LIPI selaku otoritas keilmuan yang telah memberikan referensi, peta sebaran, dan rekomendasi perlindungan terhadap jenis-jenis burung berkicau yang justru dikeluarkan dari status dilindungi,” kata Suer.

Mereka mendukung, pemerintah membuat peraturan peralihan P20 yang mengatur prosedur registrasi dan penandaan tumbuhan dan satwa dilindungi. Juga memperkuat pelaksanaan peraturan penangkaran untuk mendukung pelestarian tumbuhan dan satwa in-situ.

“Sekaligus mendorong peningkatan ekonomi penangkar dengan menegakkan birokrasi yang tak berbelit-belit dan bebas pungutan liar.”

Pemerintah harus melakukan penegakan hukum terkait maraknya peredaran jenis-jenis satwa liar dilindungi dan yang tidak dilindungi yang diperdagangkan secara terbuka tanpa kuota di pasar-pasar burung di Indonesia.

“Kami (aliansi) terbuka berdialog mencari solusi terbaik demi pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam hayati Indonesia,” katanya.

Muhammad Ali Imron, pakar dari Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, menyayangkan, permen revisi itu.

Alasan pencabutan dari daftar satwa dilindungi demi memperhatikan kondisi banyak penangkaran, pemeliharaan kepentingan hobi dan dukungan kehidupan masyarakat, serta lomba atau kontes, katanya, sangat reaktif, tanpa pertimbangan kajian ilmiah.

“Pegiat konservasi menunggu hampir 20 tahun muncul Permen 20 sejak Permen 7 Tahun 1999. Berjalan hitungan minggu tiba-tiba saja revisi dengan Permen baru 92 Tahun 2018, mengeluarkan lima spesies burung dari daftar dilindungi,” katanya.

Dia bilang, pemerintah terlalu reaktif mengeluarkan kebijakan baru mencabut beberapa jenis burung dari daftar dilindungi karena tekanan kelompok bisnis burung dan penghobi.

Penetapan kebijakan baru ini, katanya, tak perimbangan seimbang. Dalam konservasi, katanya, pemerintah semestinya membuat kebijakan berdasarkan kajian ilmiah, yang terjadi condong ke arah bisnis.

Dia mengusulkan, pemerintah mengadopsi sistem daftar merah International Union for the Conservation of the Nature (IUCN) dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dalam menetapkan daftar spesies dilindungi.

Kalau keduanya bergabung, bisa mengakomodir kepentingan perlindungan dan pemanfaatan lestari dengan mempertimbangkan populasi di alam, penangkaran dan perdagangan. “Bukan seperti saat ini agak berat sebelah.”

Ada permen pelindungan satwa dan tumbuhan, kata Imron, untuk memberikan perlindungan jenis-jenis itu di alam. Dengan kebijakan baru yang mencabut status perlindungan, katanya, khawatir memicu perdagangan dan perburuan kelima jenis burung itu maupun burung liar jenis lain di alam.

Kekhawatiran penangkar maupun penghobi burung atas status perlindungan, katanya, tak akan terjadi kalau pemerintah memberikan sosialisasi jelas.

Perlindungan ini, katanya, bagi satwa dan tumbuhan di alam. Untuk penangkaran dan pemilik burung kicau dalam surat edaran Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem, menyebutkan, penangkaran dapat didaftarkan dan diperlakukan khusus.

Hanom Bashari, peneliti burung dari Burung Indonesia, menyatakan, merevisi Permen 20 jadi preseden buruk bagi konservasi satwa.

“Saya tak tahu persis apakah itu karena demo atau gunakan data-data lebih baik atau bagaimana. Menurut saya bagaimanapun ini bisa jadi preseden buruk,” katanya, seraya bilang, sebenarnya sudah 10 tahun lalu mengusulkan perubahan beberapa jenis, dan penambahan.

“Tiba-tiba dalam hitungan bulan ketika sudah ditandatangani berubah kembali. Ini tak baik menurut saya,” katanya saat dihubungi Mongabay, pertengahan September.

Sebagaimana perubahan dari lampiran PP 7/1999 menjadi P20/2018 yang berdasarkan rekomendasi LIPI, katanya, seharusnya begitu kalau mau revisi.

“Secara umum suatu jenis dilindungi tak hanya karena kelangkaan di alam, juga fungsi penting untuk ekosistem, tingkat ancaman, sebaran, dan lain-lain. Kalau akan perubahan kembali sudah seharusnya berdasarkan keadaan-keadaan itu.”

Hanom setuju, perlu ada masa transisi sampai aturan efektif, termasuk sosialisasi, dan penjelasan lebih lengkap mengenai permen itu.

Menurut rencana, katanya, akan ada registrasi burung, pembentukan posko pendaftaran, dan pendataan penangkar. Kewajiban pelepasliaran 10% hasil penangkaran juga perlu diawasi.

“Saya pikir kita ada kisah sukses dari jalak Bali, ikan arwana. Mereka bisa melakukan itu dengan baik. Mereka (penangkar) berkomitmen, pasar juga tetap bagus,” katanya, beri contoh satwa langka dilindungi dan penangkaran tetap jalan.

Hanom ikut terlibat dalam penyusunan awal P20, namun tak sampai akhir. Dia mengatakan, semangat P20 melindungi satwa alam, bukan mengganggu penangkar.

“Semangatnya melindungi yang di alam, bukan mengacak-acak penangkaran. Tak sama sekali.”

 

Ada indikasi burung-burung tangkaran atau peliharaan ambil di alam liar. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, memulihkan populasi burung dilindungibisa lakukan beberapa cara. Pertama, harus mempertahankan habitat tersisa. Sayangnya, informasi hutan mana untuk pelepasliaran belum sampai dengan baik ke penangkar.

“Kebanyakan penangkar mengeluh, kalau saya mau lepaskan, dilepaskan di mana? Di Jawa, kita masih punya taman nasional lumayan banyak. Di luar Jawa, apalagi masih lebih baik.”

Kedua, melindungi burung dari perburuan. Ketika beberapa jenis satwa dicabut dari status dilindungi usaha perlindungan hilang.

“Ketika orang berburu dan menangkap tak ada justifikasi dari aparat penegak hukum untuk menindak.”

Permen20, katanya, harus disikapi positif oleh penangkar guna memastikan tak terlibat dalam perburuan di alam.

 

 

 

***

Sebelum aturan berubah, Warsono, penangkar dari Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, mengeluh. Sejak permen terbit banyak penggemar burung enggan membeli. Dia bersama penangkar lain aksi penolakan di alun-alun Klaten.

Ketua Paguyuban Kukilo Arto ini mengatakan, permen memukul bisnis penangkaran burung.

“Permen keluar burung jadi tidak laku, tak cuma harga turun. Pedagang tak mau menerima lagi. Terutama bakul yang di Solo. Di (pasar) Pramuka sudah menolak semua,” katanya.

Di desanya, ada sekitar 5.000-an penangkar burung. Kampung itu dikenal sebagai kampung jalak. Sebagian besar warga memang menggantungkan hidup pada usaha penangkaran jalak.

Warsono melakoni usaha penangkaran sejak 1998 kini memiliki 75 jalak suren, burung masuk daftar dilindungi.

“Sebelum muncul permen ini kalau sudah punya 10 hingga 15 pasang bisa hasilkan Rp5-Rp7 juta per bulan. Dengan ada permen semua bakul, pengepul, sudah menolak karena takut.”

Sepasang jalak suren usia dua bulan dibanderol Rp500.000 dari tangan penangkar. Kini jatuh di harga Rp200.000.

Suwarjono, Ketua Paguyuban Pedagang Taman Pasar Burung dan Ikan Hias Depok, Surakarta, menjelaskan, permen berdampak terhadap penurunan omzet penjualan burung.

Pasar Depok Surakarta jadi pusat jual beli burung terbesar di Jawa Tengah. Banyak burung dari sini dikirim ke beberapa daerah di Jawa, bahkan sampai luar pulau.

“Di sini itu sentralnya. Dari Surabaya saja kulakan di sini. Jakarta, Bandung, Jogja, Pantura, kulakan di Depok. Banyak grosir yang menjual burung, tengkulak banyak yang datang,” katanya.

Di grosir, katanya, pengiriman jalak uren, sewaktu normal bisa Rp25 juta-Rp30 juta per hari. “Setelah ada permen jadi Rp5 juta-Rp6 juta. Turun drastis.”

Dia berharap, revisi permen tak hanya jalak suren, cucak rowo, murai batu seperti kabar beredar di kalangan penghobi burung. Termasuk cucak hijau dan pleci yang banyak diperjualbelikan di Pasar Depok.

Penangkar pun senang ada revisi. Agus Sihnugroho, Ketua Asosiasi Penangkar Burung Nusantara (APBN), mengatakan, kebijakan pemerintah merevisi Pemen 20 sebagai bukti pemerintah mendengar keluhan masyarakat.

Setelah revisi, katanya, kelesuan pasar burung berkicau Yogyakarta diharapkan kembali.

“Kami juga masih berjuang agar pleci, cucak ijo juga bisa keluar dari permen…”

Bagaimana nasib burung-burung langka di negeri ini ke depan?

 

Keterangan foto utama: Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus). Kredit foto: Burung Indonesia/Willy Rombang

 

Jalak Bali, walau dilindungi tetapi masih ada peluang untuk ditangkarkan. Jadi, alasan desakan keluarkan status dilindungi karena ketakutan penangkar, sebenarnya tak beralasan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version