Mongabay.co.id

Kepungan Konsesi dalam Semangat Konservasi di Tanah Papua

Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara--secara adat itu hak ulayat--, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Sejak 2015, Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi. Ini mengingat, kekayaan flora dan fauna endemik di Tanah Papua menyumbang setengah dari total jumlah keanekaragaman hayati Indonesia. Seiring berjalan waktu, Papua Barat pun beralih dari Provinsi Konservasi menjadi Provinsi Pembangunan Berkelanjutan, dengan tetap mengedepankan prinsip konservasi. 

Pada International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE), 7-10 Oktober 2018, Pemerintah Papua Barat memasang target 70 persen wilayahnya menjadi kawasan konservasi dan lindung. Namun, kritikan tetap datang. Sebab disaat bersamaan, izin-izin investasi berbasis hutan dan lahan bertabur di Papua.

***

 

“Wilayah adat kami belum resmi mendapat pengakuan pemerintah.”

Kalimat itu diucapkan Simon Sremere, usai keluar dari Ruang Mambruk, perkantoran Gubernur Papua Barat, Manokwari, Senin, 8 Oktober 2018. Simon ikut diskusi pengakuan hak masyarakat adat dan kontribusi pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

“Saya dari masyarakat adat Knasaimos, Kabupaten Sorong Selatan. Kami dibantu beberapa lembaga, sudah menyiapkan draf peraturan pengakuan dan perlindungan masyarakat ada,” ucapnya kepada Mongabay Indonesia.

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sangat penting bagi Simon dan masyarakat adat lainnya. Legalitas ini memberi rasa aman, membebaskan mereka dari intimidasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan hutan adat.

“Perdasus sebagai dasar kami beraktivitas,” ungkapnya.

Baca: ICBE 2018: Semangat Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi

 

Hutan Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), punya pandangan lain tentang provinsi berkelanjutan ini. “Harusnya, targetnya menetapkan seluruh masyarakat adat di Papua diakui dan dilindungi dulu.”

Menurut Rukka, Papua saat ini berada di persimpangan jalan. Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat semesti cepat dilakukan, karena Papua daerah otonomi khusus. Apalagi, tidak ada wilayah di Papua yang dasarnya bukan dari wilayah adat. “Terkait target 70 persen, harusnya berbagai izin yang ada harus berhenti operasi. Dievaluasi lagi dan jangan ada izin baru. Ketika masyarakat adat dilindungi, berapapun target pemerintah untuk konservasi akan jalan,” jelasnya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, Charlie Heatubun, menjelaskan bila melihat nomenklatur memakai provinsi konservasi, kewenangan berada di pemerintah pusat, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Ini membuat Pemerintah Provinsi Papua Barat memilih menjadi Provinsi Pembangunan Berkelanjutan dengan tetap memakai prinsip konservasi. Hutan tetap lestari, bermanfaat bagi pembangunan dan masyarakatnya.

Lain lagi menurut Max Ahoren, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat. Ia menyebutkan, prinsip konservasi sudah diterapkan masyarakat adat dalam kearifan lokal. Namun hal itu bertolak belakang ketika hadirnya perusahaan-perusahaan dan program pembangunan. “Bagi masyarakat adat, pembangunan kerap dianggap merusak lingkungan dan tatanan kehidupan mereka.”

Andi Saragih dari Koalisi Peduli Ruang Hidup Papua Barat (KPRHPB) dan Yoseph Watopa dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP), memaparkan temuan mereka yang bertentangan dengan prinsip konservasi di Papua.

“Luas hutan Papua dan Papua Barat mencapai 37.522.132,52 hektar atau 87,38 persen dari luas total daratan Tanah Papua. Pulau ini mengalami deforestasi serius dalam dua dekade terakhir. Hasil kajian Forest Watch Indonesia, dalam 7 tahun terakhir, 2009-2016, deforestasi di Papua mencapai 170.484,32 hektar per tahun,” ungkap keduanya.

Baca juga: Alex Waisimon, Pahlawan Keragaman Hayati dari Papua

 

 

Orang Asli Papua (OAP), yang senantiasa tersisihkan dari pembangunan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Izin bertabur

Hasil investigasi Greenpeace Internasional menemukan, 25 industri sawit telah menggunduli lebih dari 130.000 hektar hutan, sejak akhir 2015. Dari luasan itu, 40 persennya (51.600 hektar) berada di Papua. Pasokan sawit masih digunakan untuk merek-merek terbesar di dunia seperti Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive dan Mondelez.

Andi Saragih dan Yoseph Watopa, menyebutkan pendorong utama deforestasi di Papua adalah ekspansi industri berbasis lahan. Sebut saja, perkebunan sawit, pertambangan, kehutanan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam/IUPHHK-HA dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri/IUPHHK-HTI).

Dalam catatan mereka, hingga 2017, ada 338 izin industri berbasis lahan yang terdiri 171 Izin Usaha Pertambangan, 114 Izin Usaha Perkebunan Sawit, dan 43 IUPHHK-HA serta 10 IUPHHK-HTI. Luas total konsesi izin sebesar 14.853.646,60 hektar. Atau 34,77 persen dari luas total Tanah Papua.

“Temuan kami menunjukkan, banyak izin pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan bermasalah, tidak clear and clean. Tumpang tindih dengan kawasan lindung dan antar- konsesi, tidak memenuhi kewajiban kepada negara, juga konflik.”

Menurut keduanya, tumpang tindih izin merupakan pelanggaran UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang dalam Pasal 24 dan 26 menyebutkan, “Pemanfaatan hutan lindung hanya dapat berupa pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan hasil hutan bukan kayu (HHBK)”.

Tumpang tindih izin di kawasan konservasi juga pelanggaran UU Nomor 5 tahun 1990, khususnya Pasal 19 dan Pasal 33 yaitu, “Setiap individu/kelompok dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan KSA/KPA”.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 23/2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Papua dan Perda Nomor 14/2013 tentang RTRWP Papua Barat, luas kawasan lindungnya (hutan lindung dan kawasan konservasi) sebesar 22.982.050,02 hektar atau 53,80 persen dari total luas Tanah Papua.

 

Kanguru pohon, salah satu satwa endemik di Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dugaan pelanggaran 

Andi Saragih dan Yoseph Watopa juga menyebut, sebanyak 139 izin usaha pertambangan statusnya Non-Clear and Clean/Non-CnC (Kementerian ESDM, September 2018). “Artinya, tidak memenuhi persyaratan administrasi, kewilayahan, teknis, lingkungan dan finansial, sesuai pasal 6 Permen ESDM Nomor 43/2015 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” jelas mereka.

Selain itu, hasil penelurusan mereka, ada usaha pertambangan yang tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Dari 171 izin usaha pertambangan, yang terdiri dari 156 izin eksplorasi dan 15 izin produksi, ada 121 izin dengan status eksplorasi yang tidak memiliki IPPKH dan sebanyak 9 izin pertambangan dengan status produksi yang tidak memiliki IPPKH.

“Tidak dimilikinya IPPKH ini merupakan potensi kerugian negara dan pelanggaran Permen LHK No. P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.”

Di perkebunan sawit, juga ditemukan ketidakpatuhan pemegang konsesi terhadap peraturan perundang-undangan. Sebanyak 59 pemegang izin tidak mengantongi Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH).

Menurut mereka, proses penerbitan izin seperti pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan sering diputusakan tanpa persetujuan atau penolakan tanpa paksaan. Atau yang dikenal dengan sebutan “Padiatapa”, serta istilah lainnya adalah: Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).

“Terutama bagi masyarakat adat di lokasi industri itu beroperasi. Hal ini mengakibatkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat atau lokal sering terjadi.”

 

Wilayah indah nan alami di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Upaya pemerintah

Untuk menjawab semua kritikan, Pemerintah Provinsi Papua Barat merancang Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Perdasus ini juga dianggap sebagai landasan merevisi atau mengkaji ulang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat.

Menurut Dominggus Mandacan, Gubernur Papua Barat, pihaknya memiliki niat baik menyelamatkan hutan Papua dan juga menolong masyarakat adat melalui Perdasus. Hal itu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Otonomi Khusus.

“Ini tidak mudah. Tapi belum telat untuk memulai. Kita berharap pemerintah pusat bisa menerima dan mendukung,” ungkap Dominggus Mandacan saat konfrensi pers di acara ICBE, di kantor Gubernur Papua Barat, Manokwari.

Mandacan menjelaskan, revisi RTRW butuh dukungan semua pihak dan harus disepakati bersama sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Jika ada yang melanggar, ada sanksi, secara hukum maupun adat.

Pada penutupan ICBE 2018 dibacakan “Deklarasi Manokwari” dengan visi: Tanah Papua Damai, Berkelanjutan, Lestari, dan Bermartabat. Deklarasi tersebut menghasilkan 14 poin yang merupakan kesepakatan bersama.

Beberapa poin yang dituangkan adalah komitmen menjunjung penegakan hukum dan peraturan sumber daya alam dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan. Berikutnya, menerapkan moratorium izin baru perkebunan skala besar, pertambangan dan industri berbasis lahan, serta meninjau ulang izin-izin yang telah terbit dengan membentuk tim kerja khusus. Poin lainnya adalah komitmen melindungi hak dan memperkuat peran masyarakat adat melalui Perdasus Provinsi dan Perda Kabupaten.

Mandacan menegaskan, hasil konferensi tersebut merupakan awal pekerjaan besar di Tanah Papua yaitu, menyelesaikan perdasus pembangunan berkelanjutan di Papua Barat. Juga, perdasus pengakuan hak masyarakat hukum adat, revisi RTRW, serta revisi perizinan konversi lahan.

“Kalau dianggap perlu, kami menyusun perdasus izin konversi lahan yang melibatkan masyarakat pemilik lahan,” ungkapnya.

 

Hutan dataran rendah yang ada di Papua. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Agus Sumule, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Papua (Unipa), mengatakan target pemerintah untuk membuat kawasan konservasi seluas 70 persen dapat dilakukan. Namun pertanyaan besarnya, apa yang akan diberikan pemerintah lewat program besar konservasi ini kepada masyarakat adat.

“Kalau regulasi sudah ada, kita harus turun memastikan aturan berjalan baik.”

Rukka Sombolinggi menambahkan, Provinsi Papua dan Papua Barat bisa menjadi contoh pemerintah di tempat lain. Otonomi khusus memberi keleluasaan mengelola kawasan secara lestari, masyarakat adat tidak dikorbankan demi pembangunan. “Selama ini banyak sekali kekuatan ekonomi dan konservasi, tapi yang bertahan yang berbasis lokal,” jelasnya.

Bagi Simon Sremere, adanya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, membuat mereka bisa berkontribusi untuk pembangunan berkelanjutan. “Semoga pemerintah segera memproses peraturan daerah khusus tentang pengakuan dan perlindungan kami, masyarakat adat,” harapnya.

 

 

Exit mobile version