Mongabay.co.id

Gugatan Walhi: Pengadilan Tolak Kasus Tambang di Meratus, dari Aceh BKPM Tergugat soal Izin Produksi Emas

Sungai di Desa Nateh untuk irigasi dan kehidupan warga desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

PTUN Jakarta Timur, memutuskan gugatan Walhi Kalimantan Selatan kepada Menteri ESDM atas izin operasi produksi tambang PT MCM di Pengunungan Meratus, tak dapat diterima. Sebelum itu, Walhi Aceh, juga mengajukan gugatan kepada Kepala BKPM atas izin operasi produksi tambang emas, PT EMM, di PTUN Jakarta.

 

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta timur memutuskan gugatan Walhi Kalimantan Selatan kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) soal izin pertambangan PT Mantimin Coal Mining (MCM), tak dapat diterima, atau niet ontvankelijke verklaard (NO). Putusan tak dapat diterima dengan alasan gugatan mengandung cacat formil. Gugatan yang sudah masuk lebih tujuh bulan itupun tak ditindaklanjuti hakim untuk diperiksa dan diadili.

“Berdasarkan pertimbangan dari bukti-bukti yang dipaparkan baik oleh penggugat maupun tergugat, perkara ini termasuk perdata karena kontrak karya. Kami nyatakan NO. Gugatan tak dapat diterima,” kata Sutiyono, Ketua Majelis Hakim di PTUN Jakarta timur, Senin (22/10/18). Dalam persidangan itu, didampingi dua hakim lain, Joko Setiono dan Nasrifal. Mulyati bertindak sebagai panitera.

Baca juga: Daerah Bulat Tolak Tambang Batubara MCM, Walhi Gugat Menteri Karena Keluarkan Izin Produksi

Sebelumnya, pada 28 Februari lalu, Walhi mengajukan gugatan kepada Menteri ESDM dan MCM atas SK Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang penyesuaian tahap kegiatan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara MCM jadi tahap operasi produksi. SK yang keluar 4 Desember 2017 mencakup tiga kabupaten , yakni, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Balangan dan Tabalong.

Selama ini, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, satu-satunya daerah yang tak terdapat perizinan pertambangan maupun perkebunan sawit.

Luasan izin tambang batubara itu seluas 1.398,78 hektar merupakan hutan sekunder, pemukiman 51,60 hektar, sawah 147,40 hektar, dan sungai 63,12 hektar. Ia berada di hamparan Pegunungan Meratus. Di Kalsel sendiri, MCM menguasai lahan seluas 5.900 hektar.

Sebelum majelis hakim memutuskan perkara, pada Juli lalu, ada pemeriksaan lapangan. Sidang bergulir sejak 4 April.

Andi Muttaqien, kuasa hukum warga mengatakan, soal kompetensi absolut itu harusnya diputus dalam putusan sela karena hakim menyatakan dalam proses persidangan ada keperluan memeriksa pembuktian dari tergugat dan tergugat intervensi maka dilakukan di akhir persidangan.

“Majelis hakim menyatakan, ini satu kesatuan dengan kontrak karya sebelum keluar putusan ini. Jadi hakim menganggap, tak bisa memutus di awal. Setelah proses panjang, baru kompetensi absolut itu diputus di belakang. Wilayah abu-abu. Itu yang jadi permasalahannya,” katanya.

 

Keindahan alam di Lembah Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, yang terancam tambang batubara PT.MCM. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Andi, hakim mengakui ada perubahan rezim dari kontrak karya dan keluar UU pertambangan baru tetapi tak utuh mengatakan semua perizinan harus mengikuti ketentuan rezim baru.

“Dia bilang, rezim perizinan harus tunduk pada hukum publik tetapi dia masih membuka kemungkinan kontrak karya adalah perdata. Itu yang menurut saya tidak konsisten.”

Dalam UU Tata Usaha Negara, ada ketentuan yang dikecualikan yakni keputusan, SK atau perbuatan perdata. Jadi gugatan seharusnya di Pengadilan Negeri.

“Langkah selanjutnya tergantung masyarakat, Walhi dan pemerintah daerah. Menurut saya pribadi, pilihan menggugat di pengadilan negeri bisa diambil. Kita juga banding putusan ini.”

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional menyayangkan, putusan majelis hakim. Sejak awal, gugatan Walhi SK Menteri ESDM. Dengan begitu, kata Alin, panggilan akrabnya, kewenangan ada di PTUN.

“Hanya kemudian mereka menarik ini ke kontrak karya. Meskipun menurut kami rezim kontrak karya memang sudah diakhiri dengan IUPK (izin usaha pertambangan khusus-red). Ini yang kami sesalkan.”

Seharusnya, kata Alin, karena pemeriksaan lapangan sudah jalan dan majelis hakim telah mengetahui permasalahan lapangan, mestinya bisa jadi pertimbangan jernih. “Dalam rezim perizinan apapun, konstituen terbesar adalah suara masyarakat harus jadi pertimbangan. Praktiknya, suara masyarakat diabaikan.”

Dalam kasus MCM, katanya, masyarakat bahkan pemerintah daerah juga menolak perusahaan. Kabupaten ini, merupakan garda terakhir dari perlindungan ekosistem dan fungsi ekologis di Kalsel.

“Jadi ini memang pertahanan terakhir dari Kalsel. Ini yang selalu kami sesalkan bahwa rezim perizinan selalu mengabaikan suara dan kepentingan masyarakat. Kami juga tak melihat majelis hakim mengacu pada persidangan setempat. Apalagi dalam persidangan setempat, tergugat tidak hadir.”

 

Warga dan pemerintah daerah menolak

Dwi Sawung, Pengkampanye Urban dan Energi Walhi Nasional mengatakan, penolakan warga atas tambang batubara ini sudah sejak lama. Ia jadi alasan mengapa hingga kini perusahaan belum beroperasi.

“Ketika ada pergantianUU dan ada penyesuaian perizinan beberapa kontrak karya itu bertransformasi menjadi IUPK. Ada batas waktu. Ini salah satu yang keluar di akhir-akhir perpanjangan lagi IUPK. Masyarakat di sana akhirnya menggugat.”

Pemerintah Hulu Sungai Tengah dan Kalsel sendiri, katanya, juga menolak analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) MCM. Pemerintah daerah menyatakan tak ingin ada pertambangan di daerah mereka tetapi izin keluar dari menteri.

“Izin amdal ditolak. Masyarakat menolak juga. Di Hulu Sungai Tengah itu tak ada pertambangan batubara. Baik berizin maupun yang tidak. Akhirnya keluar izin produksi ini.”

Sawung pun jadi bertanya-tanya, kala mengeluarkan izin operasi produksi itu didahului amdal atau tidak. “Atau amdal belakangan? Ini mana yang mau kita ikutin? UU Lingkungan Hidup atau UU Minerba? Ini agak aneh. Masa’ izin operasi keluar, tetapi amdal dan izin lingkungan gak keluar?”

Romli, Ketua Gerakan penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) Hulu Sungai Tengah kecewa dengan putusan majelis hakim.

“Itu sangat kami sesalkan. Kemana lagi hukum ini mau dibawa? Kami mencari pengadilan kemana? Di Jakarta saja keputusan seperti ini,” katanya.

Dia menyayangkan, keputusan Menteri ESDM menaikkan status izin eksplorasi ke operasi produksi pertambangan padahal tahapan-tahapan terhadap masyarakat di Kalsel terutama di Hulu Sungai Tengah, tidak pernah terlibat. “Mengabaikan hak-hak kami selaku masyarakat. Ini jelas hak kami dirampas oleh Jakarta, MCM dan ESDM,” katanya.

Warga, katanya, akan berkoordinasi dengan kuasa hukum untuk banding. Dia tak ingin daerahnya rusak seperti kabupaten lain kala ada pertambangan batubara dan perkebunan sawit.

“Kami sejahtera dalam ekonomi tanpa pertambangan dan perkebunan sawit. Itu termuat dalam rencana daerah kami. Inilah yang membuat kami sangat kecewa. Mereka mengabaikan ini. Ada perda yang melindungi kami. Tahu-tahunya, KESDM dengan sewenang-wenang menerbitkan SK izin itu tanpa memperdulikan harkat dan martabat kami. Hak kami diobok-obok!”

Romli bilang, lokasi pertambangan batubara ini berdekatan dengan proyek Bendungan Batang Alai Timur. Ia salah satu program pemerintah pusat. Pertambangan ini bakal mengancam bendungan.

“Selain mengancam ekologis, juga merusak sosial masyarakat. Kearifan lokal jika ada tambang dan sawit, akan hilang. Di Hulu Sungai Tengah, tanpa tambang dan perkebunan sawit, tiap tahun sudah banjir. Apalagi jika ada tambang. Lingkungan atas rusak, kami tak bisa bayangkan. Kami akan terus berjuang menolak tambang ini.”

 

Kampung Batutangga yang berada di lemban Pegunungan Karst Meratus, yang terancam hilang dan tergusur jika aktivitas pertambangan dilakukan PT Mantimin Coal Mining. Foto :Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Walhi Aceh gugat BKPM

Sementara itu, Walhi Aceh juga menggugat Kepala BKPM Thomas Lembong ke PTUN Jakarta. Gugatan ini dilayangkan karena dia telah mengeluarkan IUP operasi produksi Nomor 66 Tahun 2017 kepada perusahaan tambang emas PT Emas Mineral Murni (EMM) pada 19 Desember 2017.

Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, pertengahan Oktober lalu di Jakarta, mengatakan, masyarakat menolak tambang emas ini. Lokasi bakal pertambangan merupakan daerah rawan bencana banjir bandang dan longsor.

Hal ini sesuai Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh 2013-2033, juga Pasal 26 Qanun Nagan Raya tentang RTRW Nagan Raya 2015-2035.

Lokasi itu, katanya, juga ada beberapa situs bersejarah, seperti makam para ulama dan tokoh lain. Kawasan bakal tambang, tutupan hutan sangat bagus dan harus dilindungi.

Tempat pertambangan emas itu, katanya, merupakan koridor harimau dan gajah Sumatera. Kalau pertambangan tetap beroperasi, akan mengganggu habitat satwa dilindungi.

Kalau ada pertambangan, katanya, khawatir mencemari sumber air masyarakat. “Tambang beroperasi, otomatis limbah dibuang ke sungai dan mencemari air.”

Selain itu, kata Nur, terlalu banyak aturan dilanggar Kepala BKPM atas keluarnya izin operasi produksi ini.

Berdasarkan penelusuran Walhi Aceh, ada dua pihak yang memegang saham EMM. Pertama, perusahaan asal Singapura Beutong Resources Pte. Ltd sebesar 80%, kedua, perusahaan Indonesia PT Media Mining Resources. Merujuk pada UU Penanaman Modal Asing, juga melanggar. Berdasarkan ketentuan, perusahaan asing hanya boleh menguasai saham maksimal 75%.

Izin prinsip penaman modal EMM keluar pada 11 Juni 2011, IUP eksplorasi 15 April 2013. Lalu IUP operasi produksi melalui SK Kepala BKPM pada 19 Desember 2017. Izin diberikan selama 20 tahun.

Total area izin EMM 10.000 hektar terletak di Nagan Raya dan Aceh Tengah. Ini setara dua kali luas Kota Banda Aceh yang hanya 6.136 hektar (61,36 Km2). Lokasi izin berada di APL 3.620 hektar serta hutan lindung dan KEL (Kawasan Ekosistem Leuser) 6.380 hektar.

“Tambang ini berada di dua kabupaten, Nagan Raya dan Aceh Tengah. Jika sesuai peraturan, harusnya amdal diterbitkan Pemprov Aceh karena lokasi lintas Kabupaten. Kami sudah cek ke Dinas Lingkungan Hidup Aceh, dokumen amdal tidak ditemukan. Amdal hanya di Nagan Raya. Di Aceh Utara pun tidak ada,” katanya.

Sejak awal warga sudah menyatakan menolak. Mereka membuat petisi ditandatangani 150.000 orang lebih. Mereka mengatakan. tak mengizinkan pertambangan dalam bentuk apapun.

Dalam surat keputusan musyawarah tokoh masyarakat yang ditandatangani para keuchik dan tuha peut empat gampong dalam Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, disebutkan seluruh elemen masyarakat sudah menggelar musyawarah, dan menyepakati sejumlah hal berkaitan dengan kehadiran EMM.

Pertama, mereka menolak EMM membuka tambang di Beutong Ateuh Banggalang. Kedua, menolak kelanjutan izin eksplorasi EMM. Ketiga, apabila EMM bersikeras mendirikan tambang ataupun kegiatan lain berkaitan dengan pertambangan, masyarakat akan menghentikan paksa

“Pada sosialisasi EMM juga tak meneyertakan dokumen resmi dalam bentuk amdal, rencana pertambangan dan lain. Ada cacat prosedur dalam kegiatan ini. Sejak pengurusan administrasi, hingga akan membangun ada proses dilewati. Kita menduga ada sarat korupsi.”

Dalam Qanun Kehutanan Nomor 7 Tahun 2016 disebutkan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan strategis bagi publik yang tak dapat terelakkan.

Izin penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan melalui izin pinjam kawasan hutan dikeluarkan gubernur setelah mendapat rekomendasi dinas dan dilaporkan kepada DPRA.

“Harus ada rekomendasi DPRA, padahal DPRA juga tak setuju. DPRA tak pernah mengetahui EMM.“

Alin, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional mengatakan, sebagai organisasi lingkungan, mempunyai legal standing untuk gugatan ini.

“Argumentasinya, bagaimana kami memastikan lingkungan akan terancam operasi tambang emas. Kita tahu kerentanan bencana di Aceh cukup tinggi. Kami menggugat demi kepentingan keselamatan rakyat.”

Indonesia, katanya, beruntun bencana. Dia berharap, serentetan peristiwa ini bisa membuka mata hati hakim untuk mencabut izin pertambangan EMM.

“Ada situsi dimana, Aceh memiliki sejarah konflik politik panjang. Jika pemerintah pusat tak mendengarkan aspirasi ini, masyarakat Aceh yang akan jadi korban. Akan memicu konflik. Prinsip kehati-hatian pemerintah pusat penting.”

Dengan gugatan ini, katanya, Walhi sebenarnya sedang berusaha memitigasi konflik antarmasyarakat yang menolak perusahaan tambang.

Reza Maulana, ketua tim pengacara gugatan ini mengatakan, gugatan dilayangkan karena ada dugaan pemalsuan dokumen amdal. Juga ada dugaan pelanggaran perizinan, maupun tak ada keterlibatan masyarakat.

“Juga dugaan pidana. Jadi ada persoalan administratif dan pidana yang harus diselesaikan. Ketentuan-ketentuan hukum terlalu banyak dilanggar baik kabupaten, provinsi maupun pusat. Kepala BKPM harusnya tidak memberikan izin kepada EMM.”

Soal sosialisasi saja, baru pada 6 September 2018. Seharusnya, sosialisasi paling lambat 21 hari setelah izin terbit. “Ini berarti sosialisasi lebih dari 200 hari setalah IUP terbit oleh BKPM.”

Selain gugatan ke PTUN Jakarta, Walhi juga akan melaporkan ke berbagai lembaga terkait, seperti KPK, KSP, KLHK dan KESDM.

 

Keterangan foto utama:     Sungai di Desa Nateh untuk irigasi dan kehidupan warga desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version